Siapkah Indonesia jika Krisis Mengetuk Pintu Ekonomi Lagi?
Presiden RI Prabowo Subianto memimpin Sidang Kabinet Paripurna yang digelar di Istana Negara, Jakarta, Rabu (6/8/2025). (Dok. Humas Kementerian PANRB)
06:48
5 November 2025

Siapkah Indonesia jika Krisis Mengetuk Pintu Ekonomi Lagi?

SEBAGAI wartawan yang pernah meliput langsung di halaman Istana Kepresidenan Republik Indonesia pada 1998, saya masih mengingat wajah pucat para menteri ketika rupiah terjun bebas ke angka 15.000 per dolar AS.

Bagi kami, krisis itu jelas tragedi ekonomi dan sosial secara bersamaan, bahkan menyentuh seluruh dimensi.

Dua puluh sembilan tahun berlalu, bayang-bayang kelam itu seolah kembali menampakkan diri di cakrawala tahun-tahun mendatang. Akankah krisis terulang? Sudahkah kita siap jika itu terjadi lagi?

Ekonom makro asal Denmark, Henrik Zeberg, baru-baru ini memperingatkan bahwa dunia tengah berada di ambang krisis global yang berpotensi lebih parah dari krisis keuangan 2008.

Dalam wawancaranya dengan analis Michael Farris pada Oktober 2025, Zeberg menilai perekonomian dunia sudah mencapai puncak siklus tenaga kerja (peak employment)(Finbold.com, 2025).

Fase di mana lapangan kerja berada di titik tertinggi sebelum perlambatan besar terjadi.

Setelah periode panjang ekspansi, katanya, dunia sedang bergerak menuju stagflasi, yakni kombinasi inflasi tinggi, daya beli merosot, dan pertumbuhan ekonomi stagnan.

Zeberg menilai kondisi ini bukan muncul tiba-tiba. Sejak krisis 2008, bank sentral di berbagai negara menempuh kebijakan moneter ultra-longgar dengan suku bunga mendekati nol dan program quantitative easing besar-besaran.

Langkah ini memang berhasil menahan gejolak saat itu, tetapi juga menanam benih masalah baru, terciptanya false sense of wealth, kekayaan semu yang tumbuh bukan dari produktivitas riil, melainkan dari likuiditas murah dan kenaikan harga aset.

Saat suku bunga akhirnya dinaikkan untuk menahan inflasi, fondasi semu itu pun mulai retak.

Kini, menurut Zeberg, gelembung ekonomi global sedang “mengempis secara alami”. Inflasi struktural yang didorong oleh krisis energi, perang dagang, serta ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan Eropa Timur menambah tekanan.

Arus perdagangan melambat, harga komoditas pangan dan energi kembali naik, sementara beban utang publik dan swasta di negara maju telah mencapai rekor tertinggi dalam sejarah modern.

Dalam situasi seperti itu, satu guncangan finansial saja, seperti lonjakan harga minyak atau kejatuhan pasar obligasi bisa memicu gelombang penyesuaian tajam yang menular ke seluruh dunia, termasuk ke negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Bagi negara yang belum memiliki basis kemandirian ekonomi yang cukup, baik dalam industri, energi, maupun pangan, dampaknya akan bisa berlipat.

Ketergantungan pada impor bahan baku, bahan pangan, dan energi membuat tekanan eksternal cepat menjalar ke inflasi domestik.

Cadangan devisa mungkin mampu menahan serangan awal, tetapi tanpa kemampuan produksi dalam negeri yang tangguh, guncangan global akan segera berubah menjadi tekanan sosial di tingkat rumah tangga.

Dalam konteks ini, kemandirian menjadi komponen strategis mutlak untuk keamanan ekonomi nasional. Negara yang masih bergantung pada arus modal jangka pendek dan ekspor komoditas mentah akan selalu berada di sisi paling rapuh dari rantai ekonomi dunia.

Bila pandangan Zeberg terbukti benar, krisis mendatang tidak akan berbentuk kehancuran tiba-tiba seperti 2008, melainkan proses peluruhan perlahan, di mana inflasi ‘membandel’ bertahan tinggi, sementara konsumsi dan investasi melemah.

Fenomena ini sudah tampak di beberapa negara Barat, suku bunga tinggi menekan sektor properti dan manufaktur, sementara daya beli masyarakat tidak pulih.

Dengan latar seperti itu, bayangan 1998 di sini bukan sekadar kekhawatiran lokal, melainkan gema dari siklus global yang kembali berulang.

Jika analisis Henrik Zeberg menggambarkan gejolak global yang tengah mengintai, maka Indonesia berada di persimpangan antara ketahanan struktural dan kerentanan baru.

Secara makro, fondasi ekonomi nasional masih terlihat relatif kuat. Namun, bila guncangan global datang sebagaimana yang diperingatkan Zeberg, fondasi itu bisa berguncang lebih keras daripada yang dibayangkan.

Pemerintah saat ini mencatat rasio utang terhadap PDB sekitar 38,8 persen pada akhir 2024, angka yang masih di bawah ambang batas aman menurut Undang-Undang Keuangan Negara (60 persen).

Namun di balik stabilitas itu, utang luar negeri Indonesia sudah mencapai sekitar 30,4 persen dari PDB, sementara utang rumah tangga menembus 135 miliar dollar AS pada awal 2025.

Di tengah suku bunga global yang tinggi, beban pembayaran utang, baik publik maupun privat, bisa menjadi sumber tekanan tersendiri bila rupiah melemah lebih jauh.

Sementara itu, defisit transaksi berjalan yang sempat positif pada masa pandemi kembali melebar.

Data Bank Indonesia menunjukkan defisit sekitar 8,86 miliar dollar AS (0,6 persen PDB) pada 2024, dan sekitar 3 miliar dollar AS pada kuartal II-2025. Artinya, Indonesia kini kembali bergantung pada aliran modal asing untuk menutup selisih ekspor-impor.

Jika volatilitas pasar keuangan global meningkat atau investor menarik dana dari negara berkembang, tekanan pada rupiah dan cadangan devisa bisa terjadi, sebuah pola yang mengingatkan apa yang terjadi pada awal krisis 1997.

Dari sisi fiskal, defisit APBN diproyeksikan meningkat ke 2,8 persen PDB pada 2025, mendekati batas disiplin fiskal 3 persen. Di saat bersamaan, subsidi energi yang membengkak untuk menjaga harga BBM dan listrik, berpotensi mempersempit ruang manuver anggaran.

Pertumbuhan ekonomi riil yang diperkirakan hanya 4,7 persen pada 2025 juga menunjukkan sinyal moderasi, menandakan mesin konsumsi domestik mulai kehilangan tenaga setelah beberapa tahun menanggung inflasi tinggi dan kenaikan harga pangan.

Namun, tidak semua merupakan kabar buruk. Indonesia kini memiliki cadangan devisa di atas 130 miliar dollar AS, sistem perbankan yang jauh lebih sehat, serta mekanisme pengawasan fiskal yang lebih disiplin dibanding 1998.

Pemerintah juga masih menjaga inflasi di bawah 4 persen dan memperkuat jaring pengaman sosial. Dengan kata lain, kondisi saat ini lebih siap dibanding dua dekade lalu, meski bukan berarti kebal terhadap gejolak.

Jika Zeberg berbicara tentang “unwinding of the artificial boom”, yaitu proses pelepasan atau pengempisan bertahap dari ledakan ekonomi semu (the gradual deflation of a liquidity-driven, non-productive economic expansion), maka Indonesia perlu belajar dari sejarahnya sendiri, jangan sampai terlalu jumawa dan terlalu optimistis akan stabilitas yang justru bisa melahirkan kelengahan baru.

Kewaspadaan bukan berarti pesimisme, melainkan bentuk tanggung jawab untuk membaca tanda-tanda ekonomi global dan menyiapkan bantalan kebijakan sebelum badai benar-benar tiba.

Krisis besar selalu lahir ‘combo’ dari faktor ekonomi, kerapuhan tata kelola dan komunikasi kebijakan.

Dalam setiap periode guncangan, kemampuan pemerintah membaca situasi dan menyampaikan sinyal yang tepat kepada publik sering kali menentukan seberapa dalam krisis itu akan menembus dinding pertahanan ekonomi kita.

Indonesia mungkin telah memperkuat fondasi makronya, tetapi masih memiliki satu pekerjaan rumah mendasar, menata efektivitas koordinasi dan kejujuran informasi di dalam tubuh pemerintah sendiri.

Dalam menghadapi gejolak global yang semakin cepat, maka pemerintah Indonesia harus selesai dengan dirinya sendiri dulu.

Artinya, arus informasi antar-lembaga harus bersih dari distorsi, birokrasi harus bergerak dengan kecepatan data, bukan kecepatan politik. Keputusan fiskal dan moneter harus diambil secara terkoordinasi, bukan saling menunggu atau bersilang narasi.

Sebab begitu komunikasi internal macet, ketika angka ekonomi hanya dipilih yang ‘indah-indah’ saja untuk dilaporkan ke atas, negara akan kehilangan refleksnya terhadap realitas.

Dan kehilangan refleks, dalam dunia ekonomi global yang dinamis, sama berbahayanya dengan kehilangan kendali.

Pemerintahan yang sehat bukan yang hanya piawai menampilkan optimisme, tetapi yang berani menatap risiko dengan kepala dingin dan berbicara jujur kepada publik.

Saat informasi yang mengalir ke pemimpin telah tersaring oleh lapisan kepentingan, kebijakan menjadi lamban, dan kepercayaan publik perlahan terkikis.

Dalam situasi demikian, krisis yang semula hanya berupa tekanan global dapat berubah menjadi krisis domestik kepercayaan, yang akan jauh lebih berbahaya.

Karena itu, sebelum memperbanyak stimulus atau menyiapkan cadangan fiskal, langkah pertama yang paling strategis justru memastikan sistem pemerintahan berfungsi sebagaimana mestinya, dari kualitas data ekonomi, transparansi kebijakan, hingga kemampuan membaca aspirasi publik secara real time.

Negara yang selesai dengan dirinya sendiri akan lebih siap menghadapi badai apa pun yang datang dari luar.

Saya tentu tidak sedang menakut-nakuti. Saya hanya percaya, bangsa yang pernah jatuh dalam krisis besar mestinya memiliki memori kolektif yang berfungsi sebagai sistem peringatan dini.

Kita pernah terlalu yakin bahwa pertumbuhan akan berlangsung abadi, seolah kebijakan moneter dan fiskal mampu meniadakan siklus ekonomi. Padahal sejarah selalu mengajarkan hal sebaliknya, krisis lahir justru dari keyakinan bahwa krisis tak akan datang lagi.

Dalam teori ekonomi kelembagaan (institutional economics), ketahanan negara terhadap guncangan tidak hanya diukur dari indikator makro, melainkan dari kualitas tata kelola dan kejelasan sinyal kebijakan.

Pemerintah yang mampu berbicara satu bahasa, mengelola ekspektasi dengan jujur, dan menegakkan disiplin fiskal, akan selalu memiliki ruang untuk bermanuver bahkan di tengah tekanan global.

Sebaliknya, bila kebijakan ekonomi dikendalikan oleh persepsi politik semata, ruang rasionalitas makin menyempit, dan risiko makro berubah menjadi krisis kepercayaan.

Maka, bila dunia benar memasuki fase koreksi besar sebagaimana diingatkan Zeberg, langkah antisipatif yang paling bijak bukanlah menambah euforia proyek atau memperluas utang, melainkan memperkuat ketahanan struktural dan sosial ekonomi.

Pemerintah harus menjaga agar harga pangan stabil, diversifikasi ekspor berjalan, dan daya beli rakyat kecil terlindungi. 

Namun di atas semua itu, integritas data dan transparansi kebijakan harus menjadi prioritas, karena kepercayaan publik adalah modal yang tidak bisa dicetak oleh bank sentral mana pun.

Krisis, dalam arti terdalamnya, adalah cermin kedewasaan bangsa. Ia menyingkap apakah kita benar-benar belajar dari masa lalu, atau sekadar melupakannya karena nyaman dengan stabilitas semu.

Selama pemerintah mampu bercermin pada dirinya sendiri, mengoreksi bias internal, dan berbicara dengan kejujuran ilmiah kepada rakyatnya, maka badai yang datang tidak akan mengguncang fondasi, melainkan justru menguatkannya.

Kita tidak perlu takut pada krisis, tetapi patut cemas bila pemerintah berhenti bercermin kepada dirinya sendiri.

Tag:  #siapkah #indonesia #jika #krisis #mengetuk #pintu #ekonomi #lagi

KOMENTAR