



1 Tahun Prabowo-Gibran: Efisiensi Anggaran Incar Penghematan Rp 306 Triliun yang Tuai Pro Kontra
- Satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menandai babak baru arah kebijakan fiskal Indonesia.
Di tengah situasi ekonomi global yang masih diliputi ketidakpastian, program prioritas yang membutuhkan anggaran jumbo, penambahan jumlah kementerian dan lembaga, serta tekanan defisit anggaran, efisiensi anggaran menjadi kebijakan kontroversial Kabinet Merah Putih.
Payung hukum yang melandasi kebijakan ini ialah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang dikeluarkan pada 22 Januari 2025 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2025 yang diundangkan pada 5 Agustus 2025.
Dalam PMK 56 Tahun 2025 dirincikan mengenai 15 pos belanja pemerintah yang akan menjadi sasaran efisiensi anggaran.
Mulai dari belanja alat tulis kantor, perjalanan dinas, infrastruktur, hingga kegiatan seremonial dan rapat menjadi sasaran efisiensi anggaran.
Melalui kebijakan ini, pemerintah menargetkan dapat menghemat anggaran negara sebesar Rp 306,69 triliun, terdiri dari Rp 256,10 triliun anggaran belanja kementerian dan lembaga serta Rp 50,59 triliun transfer ke daerah (TKD).
Pengamat Kebijakan Publik dari The PRAKARSA, Ah Maftuchan, menilai kebijakan ini sangat dibutuhkan mengingat penggunaan APBN dan APBD selama ini memang boros, tidak efektif dan efisien, serta kurang transparan.
Sekitar 15-18 persen total APBN digunakan untuk belanja gaji pegawai.
Bahkan, rata-rata Pemda membelanjakan APBD-nya untuk belanja gaji pegawai masih tinggi, antara 25-40 persen.
Inefisiensi pengelolaan APBN dan APBD juga terjadi pada pembelanjaan barang/jasa untuk kegiatan-kegiatan K/L dan Dinas yang tidak penting. "Tidak jarang belanja kegiatan sangat tinggi ongkosnya sementara dampaknya sangat rendah," ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (16/10/2025).
Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga menimbulkan kontroversi.
Efisiensi di Kala Postur Kabinet Gemuk
Efisiensi di Kala Postur Kabinet Gemuk Pemerintah mencanangkan efisiensi anggaran sementara postur kabinet Merah Putih semakin menggemuk.
Selama satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, setidaknya terdapat 49 kementerian.
Belum lagi dibentuknya badan-badan baru seperti Badan Gizi Nasional (BGN) hingga Badan Pengelola Tanggul Laut Pantura Jawa.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai gemuknya postur kabinet bertolak belakang dengan komitmen efisiensi anggaran.
Pasalnya, pembentukan badan dan kementerian baru bakal berdampak pada bertambahnya beban anggaran belanja negara karena para pejabat dan pegawai yang mengisi badan dan kementerian baru itu perlu digaji.
Belum lagi ada biaya sewa kantor, rapat, hingga kendaraan dinas.
Sementara output yang dihasilkan dari badan dan kementerian baru ini belum tentu sesuai dengan target yang ditetapkan.
"Penambahan badan baru bertentangan dengan semangat efisiensi. Yang terjadi, defisit anggaran bisa melebar, utang akan bertambah," ucapnya kepada Kompas.com, dikutip Jumat (17/10/2025).
Efisiensi Anggaran Menekan Pemerintah Daerah
Efisiensi Anggaran Menekan Pemerintah Daerah Sementara itu, efisiensi anggaran justru membuat pemerintah daerah (pemda) menjadi tercekat lantaran anggaran transfer ke daerah (TKD) menjadi terpangkas.
Akibat kebijakan ini, banyak pemda yang harus putar otak mencari sumber penerimaan lain selain dari TKD.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengatakan, masih banyak pemda yang menggantungkan pembiayaan daerahnya dari TKD.
Alhasil, beberapa bulan sejak efisiensi anggaran ini diterapkan, sejumlah pemda mendongkrak kinerja pendapatan asli daerah (PAD), salah satunya dengan menaikkan tarif pajak bumi dan bangunan (PBB) secara signifikan.
Contohnya seperti di Pati, Jawa Tengah, yang pemdanya sempat berencana menaikkan tarif PBB-P2 hingga 250 persen.
Kenaikan ini untuk memastikan pemda memiliki anggaran untuk program pembangunan, infrastruktur, dan pelayanan publik.
"Kenaikan pajak seperti PBB dan pajak kendaraan bermotor bisa menjadi jalan pintas yang kontraproduktif karena menambah beban masyarakat dan pelaku usaha lokal," ucap Achmad dalam keterangannya, dikutip Jumat.
"Artinya, pemangkasan TKD bukan sekadar soal efisiensi, tetapi juga soal keadilan sosial dan daya beli rakyat," tambahnya.
Realokasi Anggaran yang Tidak Diserap
Kementerian dan Lembaga Jika di masa kepemimpinan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati efisiensi anggaran diimplementasikan dalam bentuk penghematan dan pemangkasan anggaran, berbeda dengan efisiensi anggaran di tangan Menteri Keuangan baru Purbaya Yudhi Sadewa yang lebih menekankan pada penggunaan anggaran seefektif mungkin.
Purbaya mengartikan efisiensi anggaran sebagai upaya memastikan uang negara benar-benar bekerja tepat waktu, tepat sasaran, dan tidak mengendap di kas tanpa manfaat ekonomi.
Menurutnya, penghematan atau pemotongan anggaran bukanlah bentuk efisiensi yang sebenarnya.
"Kalau efisiensi adalah (anggaran) yang ada dipastikan dibelanjakan sesuai dengan peruntukannya, tepat waktu, dan enggak dikorup. Kira-kira itu," ujarnya kepada media di kantornya, Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Dalam pandangannya, efisiensi berarti memastikan setiap rupiah uang negara benar-benar bekerja untuk rakyat.
Bila ada program yang tidak berjalan, dananya harus segera dialihkan ke sektor lain yang lebih siap mengeksekusi. "Kalau besar-besar nganggur, saya ambil," ujar Purbaya tegas.
Purbaya juga menegaskan tidak akan memblokir anggaran K/L maupun pemda dalam melaksanakan efisiensi anggaran.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, anggaran belanja pemerintah yang masih belum dibelanjakan hingga akhir September 2025 mencapai Rp 474,7 triliun.
Itu artinya, realisasi belanja K/L masih rendah, yakni baru mencapai Rp 800,9 triliun atau 62,8 persen dari outlook belanja 2025 sebesar Rp 1.275,6 triliun.
Oleh karenanya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara meminta seluruh K/L untuk segera mengakselerasi belanja yang telah dialokasikan dalam APBN 2025.
"Realisasi belanja K/L sampai September mencapai 62,8 persen dari outlook. Beberapa K/L dengan anggaran besar, kita (ingatkan) penyerapannya masih di bawah 50 persen," kata Suahasil dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Selasa (14/10/2025).
Sebagai informasi, K/L yang realisasi belanjanya paling rendah ialah Badan Gizi Nasional (BGN) sebesar Rp 19,7 triliun atau 16,9 persen dari outlook Rp 116,6 triliun.
Kemudian, Kementerian Pekerjaan Umum realisasi anggarannya baru Rp 41,3 triliun atau 48,2 persen dari outlook Rp 85,7 triliun, dan Kementerian Pertanian sebesar Rp 9 triliun atau 32,8 persen dari outlook Rp 27,3 triliun.
Tag: #tahun #prabowo #gibran #efisiensi #anggaran #incar #penghematan #triliun #yang #tuai #kontra