



Menyelesaikan Sengketa e-Commerce Dalam Bingkai MEA
TRANSFORMASI digital telah mendisrupsi lanskap perdagangan global, termasuk di kawasan Asia Tenggara. E-commerce kini bukan lagi pilihan, tetapi realitas yang mengikat produsen, distributor, dan konsumen lintas batas.
Dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), digitalisasi menjadi salah satu penggerak utama integrasi pasar.
Seiring dengan masifnya transaksi elektronik lintas negara, muncul pula persoalan krusial: bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa e-commerce antarnegara anggota ASEAN diatur dan dijalankan?
Pertanyaan ini bukan sekadar teknis yuridis, tetapi menyentuh keadilan konsumen, kepercayaan pelaku usaha, serta keandalan sistem hukum kawasan.
Jika MEA ingin tumbuh sebagai pasar tunggal dan basis produksi yang tangguh, maka penyelesaian sengketa perdagangan elektronik lintas negara mesti diatur secara efektif dan harmonis.
ASEAN Agreement on Electronic Commerce
MEA pada dasarnya memiliki tujuan utama menciptakan pasar dan basis produksi tunggal, kawasan ekonomi berdaya saing tinggi, serta integrasi ekonomi yang inklusif.
Di atas kertas, hal ini mencakup kebebasan arus barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, dan aliran modal.
Namun, di ranah e-commerce, harmonisasi hukum antarnegara anggota masih jauh dari ideal. Masing-masing negara memiliki pendekatan regulasi yang beragam, baik dari sisi perlindungan konsumen, validitas kontrak elektronik, hingga yurisdiksi pengadilan.
Indonesia, misalnya, memiliki UU ITE dan UU Perlindungan Konsumen yang mengatur transaksi elektronik.
Di sisi lain, Singapura menggunakan pendekatan pro-bisnis dengan kejelasan prosedural yang kuat. Sedangkan Thailand dan Vietnam mulai merumuskan sistem perlindungan data yang lebih ketat.
Tanpa kerangka penyelesaian sengketa yang terintegrasi dan diakui lintas negara, pelaku e-commerce dan konsumen yang menghadapi konflik berisiko terjebak dalam labirin hukum domestik masing-masing negara.
Keadilan menjadi mahal dan kepercayaan terhadap pasar digital ASEAN bisa menurun.
ASEAN Agreement on Electronic Commerce (AAEC) yang ditandatangani pada 2019, memang menjadi milestone penting dalam tata kelola e-commerce kawasan.
Dokumen ini mengatur prinsip-prinsip umum, termasuk pengakuan hukum atas kontrak elektronik, penyederhanaan prosedur bea cukai, dan pentingnya kerja sama antarnegara dalam pengembangan digital.
Namun, dalam soal penyelesaian sengketa, AAEC hanya memberikan prinsip umum tanpa skema implementatif yang mengikat.
AAEC mendorong penyelesaian sengketa melalui prinsip-prinsip kerja sama dan mekanisme penyelesaian sengketa ASEAN yang sudah ada, termasuk melalui ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism (EDSM).
Sayangnya, EDSM lebih berorientasi pada sengketa antarnegara (state-to-state dispute), bukan sengketa bisnis-ke-bisnis (B2B) atau bisnis-ke-konsumen (B2C) dalam konteks e-commerce. Inilah yang menjadi celah besar.
Sengketa perdagangan elektronik yang melibatkan konsumen atau pelaku usaha lintas negara ASEAN sejauh ini belum memiliki jalur khusus yang efisien, cepat, dan terintegrasi.
Jalan tengah
Dalam menghadapi kebuntuan tersebut, beberapa negara anggota ASEAN mulai mendorong mekanisme alternatif penyelesaian sengketa (ADR) seperti mediasi online, negosiasi digital, hingga Online Dispute Resolution (ODR).
Uni Eropa, misalnya, telah lama mengembangkan EU Online Dispute Resolution Platform untuk sengketa e-commerce lintas negara.
ASEAN bisa belajar dari praktik ini. Pendirian ASEAN ODR Center atau platform regional yang menangani sengketa e-commerce secara daring, cepat, dan lintas yurisdiksi akan menjadi terobosan besar.
ODR mampu memangkas biaya dan waktu proses sengketa dibanding pengadilan konvensional, serta lebih ramah bagi UMKM digital yang menjadi tulang punggung MEA.
Dalam desain ideal, ODR dikelola bersama oleh negara-negara ASEAN melalui badan khusus atau kolaborasi antarotoritas perlindungan konsumen.
Model hybrid antara pendekatan hukum nasional dan prinsip-prinsip regional akan memperkuat legitimasi putusan serta mempercepat implementasi di lapangan.
Penyelesaian sengketa e-commerce dalam MEA tidak bisa dilepaskan dari prinsip keadilan bagi konsumen. Transaksi lintas negara menyulitkan konsumen untuk menggugat pelaku usaha asing, terutama jika tidak tersedia jalur hukum yang mudah diakses dan adil.
Dalam kasus tertentu, konsumen bahkan tidak mengetahui di mana yurisdiksi pelaku usaha berada, apalagi bagaimana menyelesaikan sengketa yang muncul.
Oleh karena itu, ASEAN perlu menempatkan konsumen sebagai aktor utama dalam pembangunan hukum digital.
Skema penyelesaian sengketa yang dirancang harus menyesuaikan karakter transaksi digital: instan, lintas batas, dan terdokumentasi.
Penyedia platform e-commerce juga harus diwajibkan menyediakan kanal penyelesaian sengketa yang transparan, serta bertanggung jawab dalam mediasi awal.
Pemerintah negara-negara anggota dapat menerapkan kebijakan berbasis prinsip “negara asal” yang mengharuskan pelaku usaha tunduk pada mekanisme sengketa dari negara konsumen jika menyasar pasar negara tersebut.
Ketiadaan sistem penyelesaian sengketa e-commerce yang efisien dan menyeluruh di ASEAN mencerminkan keterbatasan integrasi hukum dalam komunitas ini.
ASEAN, sejak awal, dibangun di atas prinsip non-interference dan konsensus yang membuat harmonisasi hukum menjadi lamban.
Tidak seperti Uni Eropa yang memiliki pengadilan regional dan instrumen hukum yang mengikat, ASEAN lebih mengandalkan kesepakatan longgar dan goodwill antarnegara.
Namun zaman telah berubah. Dalam era ekonomi digital, kelemahan struktural semacam ini bisa menjadi hambatan besar.
Tanpa keberanian politik hukum untuk membentuk mekanisme penyelesaian sengketa lintas negara yang inovatif, maka cita-cita MEA sebagai kawasan perdagangan bebas yang adil dan inklusif akan stagnan di level deklarasi.
Sebagai penutup, MEA bukan hanya proyek ekonomi, tetapi juga proyek hukum dan keadaban. E-commerce yang inklusif dan berkelanjutan membutuhkan sistem penyelesaian sengketa yang kredibel, murah, dan lintas batas.
Inilah tantangan utama ASEAN ke depan: menciptakan rule of law digital ASEAN yang mampu merangkul semua negara anggota tanpa meninggalkan konsumen dan pelaku usaha kecil.
Indonesia sebagai salah satu negara terbesar di ASEAN memiliki peran strategis untuk mendorong pembentukan mekanisme regional penyelesaian sengketa e-commerce.
Ini bukan hanya kepentingan kawasan, tetapi juga bentuk keberpihakan pada konsumen Indonesia yang semakin aktif dalam ekonomi digital.
Tanpa kejelasan penyelesaian sengketa, e-commerce hanya akan menjadi pasar tanpa perlindungan. Dan pasar tanpa perlindungan adalah pasar yang kehilangan kepercayaan.