Tantangan dan Peluang Kebijakan Fleksibilitas Kerja ASN
Ilustrasi ASN. (Shutterstock)
06:12
20 Juni 2025

Tantangan dan Peluang Kebijakan Fleksibilitas Kerja ASN

KEBIJAKAN fleksibilitas kerja bagi ASN menuai berbagai reaksi negatif di jagat maya. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa ASN akan bertindak semaunya dan melalaikan tugasnya.

Menilai perilaku kerja ASN secara pukul rata seperti itu merupakan bentuk ketidakadilan berpikir sejak dalam pikiran.

Stigma buruk yang terlanjur melekat pada profesi ASN semestinya tidak menihilkan keberadaan para ASN berkinerja tinggi.

Meskipun belum sempurna, reformasi birokrasi secara perlahan telah memberikan perubahan positif bagi penyelenggaraan tata kelola pemerintahan kita.

Sistem rekrutmen pegawai pemerintah yang dahulu sarat dengan kolusi dan nepotisme telah bersalin rupa menjadi seleksi berbasis kompetensi yang bisa dipertanggungjawabkan aspek keadilan dan akuntabilitasnya.

Demikian pula dengan transformasi digital dalam birokrasi yang telah mempermudah akses masyarakat terhadap layanan dan mendorong peningkatan mutu pelayanan publik.

Penghakiman berlebihan dari publik, terlebih didasarkan oleh pelabelan semata berpotensi memicu terjadinya demotivasi bagi pegawai dengan performa membanggakan.

Fleksibilitas dalam bekerja sebetulnya bukan hal yang baru dalam manajemen kinerja sektor publik. Bencana pandemi covid-19 menjadi blessing in disguise dari proses percepatan transformasi digital dan teknologi yang terjadi dalam birokrasi.

Perubahan tatanan kehidupan selama masa pandemi memaksa ASN menyesuaikan perubahan perilaku kerja, seperti integrasi metode kerja daring dan luring yang sampai hari ini menjadi standar pola kerja baru.

Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2023 kemudian diikuti oleh peraturan turunannya, yaitu Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 5 Tahun 2024 akhirnya memberikan landasan hukum yang kuat terhadap kebijakan fleksibilitas kerja ASN.

Lahirnya peraturan tersebut merupakan langkah progresif pemerintah yang patut diapresiasi karena bertujuan mendorong peningkatan produktivitas kerja sekaligus memastikan peningkatan kualitas hidup pegawai di tengah dinamika dunia yang terus berubah.

Kekhawatiran dan skeptisme masyarakat terhadap kebijakan fleksibilitas kerja ASN harus direspons dengan eksekusi serta sosialisasi kebijakan yang tepat dan mudah dipahami.

Setidaknya ada empat aspek krusial yang perlu diperhatikan.

Pertama, yang paling penting, masyarakat terutama ASN itu sendiri perlu diberikan pemahaman mendalam bahwa tidak seluruh ASN dapat bekerja secara fleksibel.

Hal ini secara tegas diatur dalam ayat 1 pasal 8 Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 5 Tahun 2025, bahwa “fleksibilitas kerja dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik tugas kedinasan dan/atau keadaan khusus pegawai ASN.”

ASN yang lebih lekat dengan fungsi administratif dan tidak berkaitan langsung dengan pelayanan masyarakat tentu memiliki dasar kuat untuk bisa bekerja secara fleksibel.

Dengan memahami prinsip ini, persepsi publik yang berkembang mengenai kebijakan fleksibilitas kerja ASN semestinya menjadi lebih proporsional dan tidak menyamaratakan seluruh bentuk pekerjaan ASN.

Kedua, diperlukan mekanisme pemantauan dan penilaian kinerja yang ajeg selama bekerja secara fleksibel.

Tanpa adanya sistem pemantauan kinerja yang terukur dan transparan, kebijakan fleksibilitas kerja berisiko disalahgunakan sebagai celah ASN untuk menghindari tanggung jawab.

Strategi penguatan kinerja dapat dilakukan melalui penyusunan indikator kerja yang terperinci, pembagian tugas dan fungsi yang proporsional antarpegawai, penetapan tenggat waktu harian, serta optimalisasi pemanfaatan teknologi pemantauan kinerja.

Ketiga, pentingnya evaluasi berkala terhadap implementasi kebijakan. Setiap instansi wajib merumuskan tolok ukur keberhasilan berdasarkan data dan temuan yang objektif.

Evaluasi ini idealnya dilakukan secara rutin setiap bulan, dengan fokus utama memperhatikan peningkatan produktivitas kinerja pegawai.

Apabila ditemukan tren penurunan kinerja atau munculnya sikap abai terhadap tanggung jawab, maka kebijakan kerja fleksibel perlu ditinjau ulang secara menyeluruh, bahkan dihentikan sementara hingga mekanisme pengawasannya diperbaiki.

Keempat, komitmen dan peran aktif pimpinan lembaga. Meskipun kebijakan ini telah memiliki payung hukum yang kuat, perubahan perilaku dan budaya kerja secara tiba-tiba seringkali menimbulkan resistensi terutama bagi pejabat publik yang terbiasa mempertahankan status quo.

Dalam persepsi mereka, sistem kerja fleksibel merupakan sarana pegawai untuk mangkir dari tugas. Penilaian kinerja pegawai seringkali berpusat pada kepatuhan dan kehadiran fisik, bukan berdasarkan capaian kinerja objektif.

Padahal, perubahan budaya kerja menuntut kepemimpinan yang adaptif terhadap karakteristik generasi kerja yang kian dinamis dan mengutamakan keseimbangan hidup.

Tanpa dukungan nyata dari pimpinan lembaga, kebijakan ini justru berpotensi menciptakan masalah baru yang kompleks dalam manajemen kinerja.

Jika kebijakan fleksibilitas kerja dirancang serta dijalankan dengan tepat dan cermat, maka kebijakan ini dapat menjadi terobosan positif dalam reformasi birokrasi.

Beban kerja pegawai dapat diselesaikan lebih cepat, pola kerja menjadi lebih efisien, dan waktu yang sebelumnya habis untuk perjalanan ke kantor dapat dialihkan pada aktivitas yang lebih produktif.

Surplus waktu luang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kebugaran fisik pegawai, sekaligus menjadi kesempatan untuk mengembangkan kapasitas diri melalui berbagai pelatihan dan ruang pembelajaran yang tersedia.

Selain mendukung peningkatan kinerja, sistem kerja fleksibel yang tidak mewajibkan pegawai hadir secara fisik di kantor akan turut mengurangi biaya operasional, seperti penggunaan listrik, air, dan fasilitas gedung lainnya.

Kondisi ini berkontribusi pada peningkatan efektivitas penggunaan sumber daya dan mencegah pemborosan anggaran.

Fleksibilitas dalam bekerja diharapkan dapat memperbaiki keseimbangan kerja dan kehidupan para ASN, terutama bagi mereka yang bekerja di kota-kota besar dengan tingkat kemacetan serta tekanan psikologis yang tinggi.

Hal ini diperkuat dengan rilis Studi Global Hybrid Work 2022 oleh Cisco yang memaparkan bahwa sistem kerja hybrid memberikan dampak positif di hampir seluruh aspek kinerja pegawai—mulai dari produktivitas, keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi, hingga budaya organisasi.

Temuan studi tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar pegawai merasa lebih bahagia, lebih sehat, lebih sejahtera secara finansial, serta memiliki hubungan keluarga yang lebih kuat berkat terciptanya keseimbangan hidup yang lebih baik.

Berkurangnya tingkat stres pegawai, semakin bertambahnya waktu berkualitas dengan keluarga di rumah, penurunan biaya transportasi dan konsumsi harian akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan kualitas hidup pegawai.

Pada akhirnya, seluruh aspek positif ini akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan produktivitas kinerja ASN secara berkelanjutan.

Tag:  #tantangan #peluang #kebijakan #fleksibilitas #kerja

KOMENTAR