Film Horor Ternyata Bisa Jadi Terapi untuk Mengatasi Kecemasan
Ilustrasi menonton film horor (Pexels)
22:16
27 Oktober 2025

Film Horor Ternyata Bisa Jadi Terapi untuk Mengatasi Kecemasan

Menjelang Halloween, banyak orang sengaja menonton film horor untuk memacu adrenalin. Namun, siapa sangka di balik adegan menegangkan dan suara menjerit, film seram justru bisa membantu meredakan kecemasan.

Para peneliti mengungkap bahwa menonton film horor dapat menjadi bentuk “terapi” bagi sebagian orang. Para ilmuwan menyebut fenomena ini sebagai “paradoks horor”, keanehan bahwa manusia justru menikmati hal-hal yang menakutkan, menjijikkan, atau membahayakan.

Secara alami, rasa takut berfungsi untuk melindungi manusia dari bahaya. Otak kita memicu respons “lawan atau lari” saat menghadapi ancaman.

Namun, menurut Mark Miller, peneliti di Monash University dan University of Toronto, otak manusia ternyata juga memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap hal-hal berbahaya.

Bahkan sejak zaman Aristoteles, manusia telah bertanya-tanya mengapa kita tertarik pada hal-hal yang seharusnya kita hindari,” ujar Miller dikutip dari BBC (26/10/2025).

Kita dibuat untuk menjauh dari bahaya, tapi tetap penasaran ingin melihatnya dari dekat,” lanjutnya.

Fenomena inilah yang menjelaskan mengapa film bergenre horor menjadi salah satu genre paling menguntungkan dalam dunia perfilman, dari kisah zombie, hantu, hingga pembunuhan berdarah.

Dalam sepuluh tahun terakhir, psikolog menemukan bahwa kisah horor mampu membantu otak menghadapi ketidakpastian.

Mengutip BBC (26/10/2025), riset menunjukkan bahwa menonton film seram bisa melatih otak untuk mengelola stres dan kecemasan dalam kehidupan nyata.

Coltan Scrivner, psikolog dari Arizona State University dan penulis buku Morbidly Curious: A Scientist Explains Why We Can’t Look Away, menjelaskan bahwa kisah menakutkan telah menjadi bagian dari budaya manusia sejak ribuan tahun lalu.

Tablet kuno dari Babilonia yang berusia 4.000 tahun sudah berisi cerita tentang iblis dan makhluk mengerikan, kisah horor sudah ada sejak manusia mengenal bahasa,” ujarnya.

Menurut Scrivner, cerita-cerita seperti itu berfungsi sebagai cara aman untuk memahami bahaya, mirip dengan hewan yang mengamati predator dari kejauhan sebelum melarikan diri.

Dalam salah satu penelitiannya, Scrivner mewawancarai 400 orang penggemar film horor dan menemukan bahwa motivasi mereka terbagi dalam tiga kelompok utama.

  • Adrenaline Junkies: Mereka menikmati sensasi fisik yang muncul saat menonton film menegangkan. Jantung berdebar, napas cepat, dan perasaan “lebih hidup” justru membuat mereka ketagihan.
  • White Knucklers: Penonton tipe ini tidak suka rasa takutnya, tetapi mereka menikmati kepuasan setelah berhasil menaklukkan rasa takut. Menurut Scrivner, kelompok ini menganggap pengalaman tersebut membantu mereka mengenal diri sendiri dan memperkuat mental.
  • Dark Copers: Kelompok ini menonton film horor untuk menghadapi kenyataan hidup. Mereka melihat kekerasan dan bahaya dalam film sebagai pembanding yang membuat kehidupan nyata terasa lebih aman. Beberapa bahkan mengaku film horor membantu mereka mengatasi kecemasan dan depresi.

Ketiga motivasi ini, kata Scrivner, menjelaskan mengapa rasa takut bisa menjadi sumber kenyamanan.

Untuk menguji teorinya, Scrivner bekerja sama dengan peneliti di Denmark, meneliti pengunjung rumah hantu interaktif Dystopia Haunted House di kota Vejle.

Hasilnya mengejutkan, pola motivasi yang sama juga muncul di sana, meskipun peserta berasal dari budaya dan bahasa yang berbeda.

Tak hanya itu, studi lain menunjukkan bahwa penggemar film horor lebih tangguh secara mental selama pandemi Covid-19. Mereka lebih mampu menyesuaikan diri, menghadapi berita buruk dengan tenang, dan percaya diri bahwa mereka bisa melewati masa sulit.

Miller menjelaskan bahwa otak manusia bekerja seperti mesin simulasi yang terus memprediksi kemungkinan di masa depan. Saat menonton film horor, otak kita “bermain” dengan skenario berbahaya tanpa benar-benar menghadapi risiko nyata.

Menonton horor membuat otak berlatih menghadapi ketidakpastian, kita belajar mengendalikan reaksi terhadap stres dan memperkuat kemampuan berpikir di bawah tekanan,” katanya.

Dengan kata lain, film horor adalah latihan mental, kesempatan untuk menghadapi rasa takut dalam lingkungan yang aman.

Scrivner percaya konsep ini bisa diterapkan dalam dunia psikologi. Ia mencontohkan sebuah video game terapi bernama MindLight yang digunakan untuk membantu anak-anak mengatasi kecemasan.

Dalam game ini, anak bermain di rumah berhantu sambil memakai alat EEG yang memantau gelombang otak.

Semakin tenang pikiran mereka, semakin terang cahaya di kepala karakter game. Jika tetap tenang meski dikejar monster, makhluk itu akan berubah menjadi anak kucing lucu.

Hasilnya, anak-anak yang rutin bermain MindLight menunjukkan penurunan signifikan dalam tingkat kecemasan, setara dengan terapi perilaku kognitif tradisional.

Scrivner menilai bahwa kisah horor, baik dalam film, buku, atau game — memberikan ruang aman untuk melatih keberanian dan pengendalian emosi.

Hiburan horor memungkinkan orang berlatih menghadapi rasa takut di lingkungan yang bisa mereka kendalikan,” ujarnya.

Bagi yang belum terbiasa, Scrivner menyarankan memulai dari cerita atau buku ringan agar bisa mengontrol imajinasi sendiri.

Genre horor itu luas, jadi pasti ada tema yang bisa disesuaikan dengan minatmu,” katanya.

Jadi, lain kali kamu menonton film menyeramkan seperti The Conjuring atau The Exorcist, mungkin kamu sebenarnya sedang melakukan terapi stres versi menyenangkan, sambil bersembunyi di balik bantal dan popcorn.

Kontributor : Gradciano Madomi Jawa

Editor: Agung Pratnyawan

Tag:  #film #horor #ternyata #bisa #jadi #terapi #untuk #mengatasi #kecemasan

KOMENTAR