Legitimasi dalam Cerita Rakyat Nusantara
Di buku '100 Cerita Rakyat Nusantara' ini anak-anak dapat merasakan keberagaman dan kekayaan cerita rakyat di Indonesia, mulai Sumatera, Sulawesi, hingga Papua. (Dok BHUANA ILMU POPULER)
13:54
16 Januari 2024

Legitimasi dalam Cerita Rakyat Nusantara

Oleh: Edi Setiyanto

SEJARAH yang panjang

Hirogami dan legitimasi merupakan sejarah yang krusial pada tatanan kekuasaan. Hal itu sesuai dengan pengertian legitimasi, yaitu penerimaan dan pengakuan atas kewenangan yang diberikan oleh masyarakat kepada pimpinan yang telah diberi kekuasaan (Surbakti, 2010).

Tanpa legitimasi sebuah kekuasaan tidak akan diterima dengan baik. Sementara, dimaksudkan hirogami (hiero gamos atau hierogami) adalah perkawinan ilahi antara manusia dan dewa yang dipercaya akan mendatangkan kemakmuran, kesuburan kosmik, dan keabsahan raja (Pongratz-Leisten, 2003 dan Sudibyo, 1994).

Kisah hirogami dan legitimasi tergolong kisah yang tua di dunia.

Misalnya, kisah pernikahan Oshihomimi dan putri dewa Takami-musubi dengan cucu yang kemudian dilegitimasi sebagai kaisar perdana Jepang (Kirkland, 1997) atau cerita pernikahan raja dengan Inana (dewi cinta dan perang) untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya di Mesopotamia (Jones, 2003).
Hirogami dan Beberapa Legitimasi di Nusantara

Di Indonesia, tepatnya Nusantara sesuai masa penciptaannya, ditemukan banyak kisah hirogami dalam berbagai cerita rakyat yang tersebar di berbagai wilayah. Namun, terkait sebagai sebuah legitimasi, berdasarkan penelusuran Setiyanto et al. (2023), ditemukan tujuh cerita.

Tujuh cerita itu tersebar di Indonesia bagian barat, tengah, hingga timur.

Tujuh cerita itu ialah “Sidang Belawan” dari Lampung, “Bujang Bekorong” dari Sumatra Selatan, “Pego dan Putri Petong” dari Kalimantan Timur, “Putri Tujuh” dari Ternate, “Putri Tujuh” dari Maluku, “Rajapala” dari Bali, dan “Jaka Tarub” dari Jawa Tengah.

Tujuh kisah hirogami itu menggambarkan pola legitimasi kekuasaan di tujuh wilayah Nusantara.

Dalam pengisahannya, tujuh kisah hirogami itu memperlihatkan persamaan dan perbedaan.

Persamaan, secara umum, terlihat pada cerita yang diawali dengan pengenalan tokoh manusia pelaku hirogami, pertemuan dengan bidadari, keinginan untuk menikah dengan bidadari, pencurian alat/baju terbang bidadari, syarat/pantangan pernikahan, lahirnya anak hirogami (kecuali pada kisah “Putri Tujuh” dari Maluku), dan kembalinya bidadari ke kayangan.

Perbedaan terdapat pada lanjutan kisah hingga terjadinya legitimasi.

Pada “Sidang Belawan” (Lampung), “Bujang Bekorong” (Sumatra Selatan), “Pego dan Putri Petong” (Kalimantan Timur), serta “Putri Tujuh” (Ternate); cerita mengisahkan perjuangan tokoh manusia untuk menemukan dan membawa kembali bidadari ke bumi hingga proses terjadinya legitimasi.

Pada “Putri Tujuh” (Maluku), cerita mengisahkan kehidupan tokoh manusia sesudah dijemput ke Kayangan, tetapi kemudian meminta restu untuk membawa bidadari dan anak kembali ke bumi.

Pada “Rajapala” (Bali) dan “Jaka Tarub” (Jawa Tengah), cerita mengisahkan perjuangan anak atau keturunan hirogami dalam membantu penguasa (raja) mengalahkan musuhnya hingga diperolehnya legitimasi.

Berdasarkan tujuh cerita tersebut, diketahui bahwa legitimasi terwujud melalui transformasi status sosial tokoh manusia pelaku hirogami atau keturunannya yang semula merupakan pemuda biasa, pemuka agama, atau putra raja kemudian menjadi raja atau pejabat adat.

Transformasi pada tokoh atau keturunan tokoh yang kemudian menjadi raja terlihat pada cerita “Bujang Bekorong”, “Pego dan Putri Petong”, “Putri Tujuh” (Ternate), “Sidang Belawan”, “Rajapala”, dan “Taka Tarub”.

Transformasi status yang kemudian menjadi pejabat adat terlihat pada cerita “Putri Tujuh” (Maluku).

Pada tujuh kisah tersebut, legitimasi selalu diawali dengan terjadinya hirogami. Pada “Sidang Belawan” antara Sidang Belawan dan Dewi Bungsu; pada “Bujang Bekurong” antara Sidang Belawan dan bidadari yang tidak disebutkan namanya; pada “Pego dan Putri Petong” antara Pego dan Kejora; pada “Putri Tujuh” (Ternate) antara Jafar Shadik (penyiar Islam dari Arab) dan Nur Sifa; pada “Putri Tujuh” (Maluku) antara Laweri Hulan dan Putri Bungso; pada “Rajapala” antara Rajapala dan Ken Sulasih; pada Jaka Tarub antara Jaka Tarub dan Nawangwulan.

Sebagai pernikahan suci, hirogami dipercaya memunculkan kekuatan ilahi pada tokoh maupun keturunannya (Hasyim, 2017). Menurut Jung (2014), kekuatan itu diperoleh karena adanya proses alkimia pada pernikahan hirogami.

Berdasarkan anggapan itu, keturunan hirogami dipercaya memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk memimpin dan memakmurkan masyarakatnya.

Legitimasi melalui kisah hirogami tidak selalu terwujud pada manusia pelaku hirogami, tetapi dapat juga pada keturunannya.

Legitimasi yang terwujud pada pelaku hirogami terjadi pada tokoh Bujang Bekurong dalam cerita “Bujang Bekurong” dan Sidang Belawan dalam cerita “Sidang Belawan”.

Legitimasi yang terwujud pada anak pelaku hirogami terjadi pada I Durma anak Rajapala dalam cerita “Rajapala” dan empat anak dari Jafar Shadik dalam cerita “Putri Tujuh” (Ternate).

Legitimasi yang terwujud pada cucu pelaku hirogami terjadi pada Putri Petong selaku cucu dari Pego dalam cerita “Pego dan Putri Petong”.

Legitimasi yang terwujud pada keturunan-jauh pelaku hirogami terjadi pada Danang Sutawijaya selaku keturunan ke-6 Jaka Tarub dalam cerita “Jaka Tarub” dan Babad Tanah Jawa serta marga Tehupelasury selaku keturunan dari Laweri Hulan dalam cerita “Putri Tujuh” (Maluku).

Dalam tujuh cerita tersebut, pemberian legitimasi tidak semata karena penerima merupakan pelaku atau keturunan hirogami. Legitimasi dilengkapi dengan ujian-ujian susulan sebagai pengukuh.

Ujian digambarkan dengan adanya peristiwa atau Perjuangan berat yang harus dijalani calon penerima legitimasi. Selain pada “Rajapala”, “Jaka Tarub”, dan “Putri Tujuh” (Maluku), ujian berupa perjuangan untuk dapat menemukan dan membawa kembali bidadari ke bumi.

Perjuangan itu berkenaan dengan upaya untuk menemukan kayangan dan menuntaskan ujian dari raja kayangan sebagai syarat untuk dapat membawa kembali bidadari ke bumi.

Perjuangan dapat diselesaikan karena adanya bantuan tokoh lain atau binatang tertentu. Pada cerita “Rajapala” dan “Jaka Tarub”, ujian digambarkan melalui perjuangan tokoh penerima legitimasi dalam mengalahkan musuh raja saat itu.

Sebagai penghargaan, tokoh diangkat sebagai anak angkat raja dan dilegitimasi sebagai penguasa selanjutnya (“Rajapala”) atau diberi hadiah berupa wilayah tertentu dan kemudian memperjuangkannya menjadi sebuah kerajaan (“Jaka Tarub”).

Pada “Putri Tujuh” (Maluku) inisiasi diwujudkan dengan keberhasilan tokoh menebak Putri Bungso di antara tujuh bidadari bersaudara yang sama cantiknya. Inisiasi dilengkapkan dengan pemberian restu dari raja kayangan kepada tokoh untuk membawa bidadari kembali ke bumi.

Dulu dan sekarang

Berdasarkan tujuh cerita tadi, dapat diketahui mosaik cerita legitimasi di Nusantara. Sebagai pengabsahan kekuasaan, legitimasi bukanlah sebuah “barang jadi” yang dapat diterimakan kepada sembarang orang.

Pada tujuh cerita tadi legitimasi diawali dengan hirogami untuk mengejawantahkan nilai-nilai keilahian.

Meskipun demikian, legitimasi bukan semata karena hirogami. Ada hal lain yang disyaratkan untuk mengukuhkannya, yaitu militansi, kecakapan, dan kemampuan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi.

Sebagai warisan peradaban Nusantara memang tak semua proses legitimasi tadi cocok dengan dengan kondisi saat ini. Namun, tuntutan akan adanya sifat militansi, cakap, dan mampu untuk mengatasi persoalan sebagai pengukuh tetaplah relevan.

Edi Setiyanto
Peneliti BRIN OR Arkeologi, Bahasa, dan Sastra

Tag:  #legitimasi #dalam #cerita #rakyat #nusantara

KOMENTAR