Ketimpangan Relasi Ojol-Aplikator dan Potensi Pelanggaran HAM
Ilustrasi Ojek Online(Shutterstock)
10:40
2 Juli 2025

Ketimpangan Relasi Ojol-Aplikator dan Potensi Pelanggaran HAM

- Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) berpendapat, model kemitraan antara pengemudi ojek online (ojol) dengan aplikator tidak boleh diteruskan.

Pasalnya, model kemitraan saat ini tidaklah seimbang, karena pihak aplikator selalu membuat skema kebijakan yang mau tidak mau harus diikuti oleh pengemudi ojol.

"Apabila masih diteruskan atau dipertahankan, maka itu menjadi wujud itikad buruk perusahaan aplikator untuk sengaja melanggar HAM terhadap para pengemudi ojol," ujar Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Munafrizal Manan menyampaikan Kesimpulan Laporan Tindak Lanjut Pengaduan HAM Atas Pengemudi Ojol, Selasa (1/7/2025).

Ia menyebut hubungan mitra antara pengemudi ojol dan aplikator sebagai imbalance power atau ketidakseimbangan kekuatan.

Pihak aplikator lebih dominan dalam perumusan kebijakan transportasi online, sehingga pengemudi ojol terpaksa dan sukarela menerima kebijakan itu.

Munafrizal melanjutkan, hubungan antara keduanya tidak murni (ingenuine) berbentuk kemitraan, melainkan berbentuk subordinasi di mana aplikator dalam posisi superior sedangkan pengemudi ojol dalam posisi inferior.

"Aplikasi online telah mengubah tatanan sistem transportasi umum di mana aplikator berperan penuh dalam membuat sistem layanan online dari awal sampai akhir, sehingga fungsi regulator terhadap aplikator dan mitra pengemudi mengakibatkan pemerintah tidak dapat mengintervensi sistem tersebut," ujar Munafrizal.

Potongan Penghasilan Ojol

Salah satu pengaduan pengemudi ojol ke Kementerian HAM adalah terkait penghasilan mereka yang kini dipotong pihak aplikator.

Pihak aplikasi transportasi online setidaknya memberikan potongan penghasilan berkisar dari 20 sampai 30 persen untuk setiap perjalanan yang telah diselesaikan.

Artinya, pengemudi ojol hanya akan mendapatkan Rp 14.000 sampai Rp 16.000 ribu jika telah menyelesaikan perjalanan senilai Rp 20.000.

"Di sisi lain, biaya operasional seperti bensin, perawatan kendaraan, dan kuota internet sepenuhnya ditanggung sendiri oleh pengemudi ojol," ujar Munafrizal.

Masalah ini semakin bertambah setelah adanya kebijakan program insentif tertentu yang bersifat sukarela.

Ia mencontohkan program bernama "Bike Hemat" yang harga layanan perjalanannya lebih murah dari "Bike Standar" dari salah satu aplikator.

Kedua program itu diletakkan berdampingan, sehingga secara logis pelanggan akan lebih cenderung memilih layanan yang lebih murah,

Di samping itu, hanya pengemudi ojol yang terdaftar dalam program tersebut yang dapat menerima pesanan dari layanan "Bike Hemat".

"Dengan demikian, pengemudi ojol yang tidak ikut serta, meskipun berada di lokasi terdekat, tidak akan mendapatkan pesanan, yang secara tidak langsung membatasi akses penghasilan mereka," ujar Munafrizal.

Ia pun mendorong kementerian terkait untuk membuat regulasi yang lebih kuat untuk mengatur tata kelola transportasi online yang lebih adil dan humanis.

"Dan melakukan pembaruan dalam pemberian izin usaha yang memberikan kejelasan status perusahaan aplikator sebagai penyelenggara transportasi online yang tunduk pada rezim hukum transportasi umum atau hanya sebagai penyelenggara aplikasi digital yang tunduk pada rezim hukum teknologi digital," ujar Munafrizal.

Tag:  #ketimpangan #relasi #ojol #aplikator #potensi #pelanggaran

KOMENTAR