Lika-Liku Penyelamatan Nur Ahmad, Santri yang Diamputasi di Tengah Reruntuhan Ponpes Al Khoziny Sidoarjo
Personel SAR dan PMI berupaya menembus lorong sempit yang penuh dengan beton, benda tajam di reruntuhan Ponpes Al Khoziny Sidoarjo, demi menyelamatkan nyawa. (Basarnas Surabaya)
03:21
11 Oktober 2025

Lika-Liku Penyelamatan Nur Ahmad, Santri yang Diamputasi di Tengah Reruntuhan Ponpes Al Khoziny Sidoarjo

Di lorong sempit berdiameter hanya 60 sentimeter, dikelilingi beton-beton besar dan besi tajam reruntuhan bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny Sidoarjo, Aaron Franklyn Soaduon Simatupang harus mengambil keputusan krusial hidup-mati.

Aaron yang merupakan dokter TNI itu memutuskan untuk mengamputasi salah satu lengan seorang santri yang tertimbun reruntuhan bangunan bernama Nur Ahmad.

Aksi penyelamatan Nur Ahmad itu merupakan satu dari sekian cerita menyayat hati dari para pejuang kemanusiaan, yang terselip di balik tragedi ambruknya bangunan empat lantai milik Ponpes Al Khoziny Sidoarjo pada Senin (29/9) lalu.

Dalam situasi genting, mereka tetap melakukan tindakan penyelamatan. Semua itu demi menolong satu persatu nyawa, semaksimal mungkin.

Sebelum amputasi dilakukan, di balik puing-puing bangunan, para personel SAR bekerja keras membukakan jalan. Mereka bahu membahu menembus reruntuhan, melawan lelah dan risiko bangunan makin runtuh.

"Itu hari pertama, Mbak. Senin malam (29/9), di mana Basarnas Surabaya bekerja penuh mencari korban hampir 11 jam, sebelum akhirnya dibantu oleh Basarnas daerah lainnya, seperti Semarang, Yogyakarta," tutur salah seorang personel Basarnas yang enggan disebutkan namanya. 

Berpacu dengan Waktu di Antara Hidup dan Mati

Berlomba dengan golden time atau periode waktu kritis, para personel SAR hanya punya satu tujuan: bagaimana menyelamatkan korban yang masih hidup secepat mungkin dan sebanyak mungkin.

Di tengah udara lembap bercampur bau debu, semen, dan aroma logam dari besi-besi patah, tim SAR merayap di sela reruntuhan yang masih rawan. Berusaha menembus puing demi menemukan tanda-tanda kehidupan di sela-sela beton yang retak.

Petunjuknya hanya satu. Rintihan dan suara para santri dari balik reruntuhan, yang menandakan nyawa masih menyatu dengan raga.

"Evakuasi hari pertama benar-benar crowded. perasaan saya semakin campur aduk melihat bangunan hampir rata dengan tanah. Suara-suara minta tolong dan rintihan korban kesakitan jelas sekali malam itu," lanjutnya lirih.

Tim SAR bergegas melakukan asesmen ke area yang belum terjamah. Termasuk di area dekat imam (mimbar), yang kemudian dinamai menjadi zona A3.

"Orang yang masih ada tanda kehidupan diupayakan untuk evakuasi duluan sebelum meninggal. Salah satunya saat kita menemukan keberadaan Nur Ahmad," ucapnya melanjutkan.

Ahmad ditemukan tim SAR gabungan di zona A3, dengan posisi tangan kirinya tergencet beton. Saat hendak mengevaluasi, rupanya di tempat yang sama ada 1 korban hidup, dengan posisi sebagian kepalanya tergencet beton.

Dengan penuh perhitungan, Tim SAR membuka akses dengan motor pilar galvalum untuk menjangkau kedua korban yang terjepit beton. Mereka juga memastikan jalur yang dibuat aman untuk evakuasi.

"Kami utamakan dahulu (korban) yang kepalanya tergencet, karena akses ke dia lebih dekat dan kondisi kesadaran atau responsnya pada malam itu sudah di bawah 50 persen. Sehingga harus buru-buru dievakuasi," lanjutnya.

Harapan Menyala di Lorong Sempit

Setelah berhasil mengevakuasi korban yang kepalanya tergencet, tim SAR bergegas membuat akses baru untuk menyelamatkan Nur Ahmad. “Iya... iya... aduh,” rintih Nur Ahmad lirih saat petugas mencoba mengajaknya berkomunikasi.

Tim SAR berusaha membuat akses cukup lebar untuk membersihkan puing-puing dan galvalum yang mengelilingi tubuh mungil santri berusia 14 tahun itu. namun tetap saja diameternya hanya bisa sampai 60-80 sentimeter saja.

"Semakin masuk, celahnya semakin sempit. Belum lagi betonnya besar-besar dan padat. Banyak juga material konstruksi berupa pecahan asbes dan galvalum, itu sih kendalanya," ungkapnya.

Setelah akses menuju Nur Ahmad terbuka dan dipastikan aman, personel SAR lalu berkoordinasi dengan tim dokter. Mereka mempersilakan tim medis masuk dengan APD lengkap untuk memeriksa kondisi Nur Ahmad.

Keputusan Sulit di Tengah Reruntuhan

Malam itu, suasananya begitu tegang. Kondisi korban yang kian kritis, memaksa tim SAR bertindak serba cepat. Tim medis pun dihadapkan oleh pilihan sulit, yakni melakukan operasi amputasi di tengah reruntuhan.

"Setelah kami berdiskusi dengan dokter, akhirnya didapati keputusan bahwa dokter akan amputasi tangan kiri korban (Nur Ahmad). Tim medis lalu menyiapkan alat-alat untuk pembedahan atau amputasi," jelasnya.

Sambil menunggu alat medis siap, Tim SAR berusaha melanjutkan evakuasi dengan alat ekstrikasi, dengan harapan bisa terevakuasi tanpa harus melakukan amputasi oleh medis.

Sayangnya, upaya itu gagal. Lengan kiri Nur Ahmad yang terjepit beton menjadi hambatannya. Tak ada pilihan lain. Harus amputasi di tempat. Setelah menunggu beberapa lama, tim medis RSUD Notopuro Sidoarjo siap.

"Setelah peralatan medis siap, kami persilahkan dokter masuk untuk amputasi. Saya lupa berapa lama prosesnya, yang jelas setelah diamputasi dan berhasil dievakuasi, korban langsung dilarikan ke RSUD Notopuro," imbuhnya.

Malam panjang itu menjadi saksi perjuangan tanpa pamrih para penyelamat di balik reruntuhan. Di tengah lorong sempit yang gelap dan penuh debu, mereka memilih bertahan demi satu nyawa.

Sebab bagi personel SAR, setiap detik berarti harapan, dan setiap nyawa terlalu berharga untuk dibiarkan pergi.  Di tengah tragedi, mereka membuktikan bahwa tugas kemanusiaan tak mengenal henti. 

Editor: Bayu Putra

Tag:  #lika #liku #penyelamatan #ahmad #santri #yang #diamputasi #tengah #reruntuhan #ponpes #khoziny #sidoarjo

KOMENTAR