Bentrok TNI AL Vs Brimob di Sorong, Anggota Komisi III DPR Sebut Ego Sektoral Jadi PR Besar
Anggota Komisi III DPR RI F-PDIP, I Wayan Sudirta saat mengatakan mafia tanah dalam kunjungan ke Kejaksaan Tinggi, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, dan Kepolisian Daerah Banten di Serang Provinsi Banten (Ist). 
19:07
15 April 2024

Bentrok TNI AL Vs Brimob di Sorong, Anggota Komisi III DPR Sebut Ego Sektoral Jadi PR Besar

- Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta mengatakan, egosektoral antara TNI dan Polri merupakan pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan.

Hal ini merespons bentrokan anggota TNI AL dengan anggota Brimob di Kota Sorong, Papua Barat Daya.

Wayan mengatakan, konflik antara TNI dan Polri adalah kejadian berulang di tengah wacana sinergisitas TNI-Polri.

"Namun apa yang terjadi di lapangan merefleksikan bayangan yang berbeda dari upaya tersebut," kata Wayan kepada Tribunnews.com, Senin (15/4/2024).

Dia menuturkan, dari laporan yang diterima tercatat pada 2020-2022, jumlah konflik antara anggota TNI dan Polri mencapai 28 kasus.

"Dalam berbagai laporan tersebut, akar permasalahan adalah kesalahpahaman yang berbuntut pada arogansi dan kekerasan," ujar Wayan.

Menurut Wayan, dari berbagai laporan tersebut, dirinya melihat konflik TNI-Polri merupakan salah satu contoh terjadinya ego-sektoral.

"Di mana semangat dalam organisasi TNI dan Polri yang memiliki jiwa korsa (esprit de corps) yang mengedepankan kesatuan, kekompakan, dan kecintaan terhadap institusi dengan rela berkorban," ucapnya.

Implikasinya, kata dia, bentrok antara anggota TNI dan Polri menjadi suatu keniscayaan yang tidak akan pernah hilang sepanjang mengedepankan jiwa korsa dalam arti sempit.

"Semangat jiwa korsa seperti Tri Brata dan Catur Prasetya seharusnya dipahami sebagai semangat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," ungkap Wayan.

Wayan mencatat beberapa menjadi pemicu perbedaan dan konflik sektoral antara TNI dan Polri. Pertama, dari sisi kebijakan yakni pengaturan tugas dan kewenangan yang bersinggungan. 

Menurutnya, banyak aturan yang sebenarnya bertujuan menggabungkan TNI-Polri dalam menghadapi persoalan tertentu, seperti pengamanan obyek vital, pencegahan dan pemberantasan terorisme, dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban di wilayah. 

"Hal ini tentu berdampak pada penyediaan sumber daya yang tentu seperti terjadi sebuah persaingan atau kompetisi," ungkap Wayan.

Wayan menegaskan, gesekan kewenangan dan fungsi ini memang menjadi jawaban kekurangan sumber daya di beberapa sektor atau wilayah.

Namun, menjadi sebuah paradoks karena berdampak pada kebersinggungan TNI-Polri di lapangan dan tak heran berbuntut panjang seperti terjadinya konflik dengan kekerasan.

Kedua, kata dia, terkait dengan tindakan pengawasan dan penegakan aturan. Dia menyebut, pelaksanaan sistem pengawasan yang melekat dengan menerapkan prinsip reward and punishment atau meritokrasi yang telah diatur, seharusnya diberlakukan secara konsisten sehingga dapat mencegah dan menimbulkan efek jera.

Wayan menegaskan, efektivitas pelaksanaan sistem pengawasan dipertanyakan karena seolah budaya kekerasan atau kultur arogansi selalu terjadi. Bahkan, dikedepankan dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

"Penegakan etik dan aturan yang ada seolah hanya kepura-puraan atau tindakan formalitas, serta tidak menyasar pada persoalan pokok yang seharusnya menjadi agenda utama dari tujuan pelaksanaan reformasi kultur dan struktur," ucapnya.

Selain itu, dia menerangkan bahwa publik seringkali mempertanyakan tindak lanjut pelanggaran hukum terhadap anggota TNI dan Polri karena rentan dengan persepsi impunitas dan penanganan secara tertutup.

"Masyarakat menilai seharusnya penanganan dan hukuman terhadap anggota TNI-Polri yang melakukan kekerasan, apalagi hingga berdampak pada korban sipil, seharusnya mendapat pemberatan," tegas Wayan.

Tak hanya itu, banyak anggota TNI-Polri sebenarnya telah dibekali dengan kemampuan rekonsiliatif dan pemahaman untuk mengedepankan kekompakan TNI dan Polri.

Namun, lebih memilih tindakan anarkis dalam membela anggotanya dan bahkan berani berjalan di luar nalar atau koridor aturan yang berlaku. 

Wayan menganggap hal tersebut menjadi contoh buruk bagi upaya untuk reformasi dan modernisasi TNI-Polri yang mengedepankan profesionalisme dan akuntabilitas. 

Karenanya, dia mendorong sistem kepemimpinan dan pendidikan di TNI-Polri perlu diperbaiki, terutama mengenai esprit de corps, akuntabilitas dalam menjalankan tugas dan fungsi, serta menjunjung tinggi etika dan moralitas secara baik dan benar.

"Secara garis besar, saya melihat bahwa persoalan ego-sektoral ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi negara kita yang seharusnya dijawab dengan reformasi kultur dan struktur atau revolusi mental dengan mengedepankan perbaikan mutu pendidikan dan pembangunan integritas SDM," ungkap Wayan.

Wayan menambahkan, gesekan antar TNI dan Polri memang sulit dihindari secara penuh dan menyeluruh.

Apalagi, terkait pemeliharaan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat seperti TNI dan Polri, atau instansi terkait lainnya di wilayah-wilayah. 

"Namun, hal ini terkait dengan bagaimana cara masing-masing pihak dalam memilih mengedepankan rasa tanggung jawab terhadap moralitas dan etika bangsa yang berlandaskan pada filosofi nilai-nilai dalam Pancasila dan ketentuan perundang-undangan, serta rasa kekeluargaan atau gotong-royong yang telah menjadi kekayaan budaya bangsa Indonesia," imbuh Wayan.

Editor: Wahyu Aji

Tag:  #bentrok #brimob #sorong #anggota #komisi #sebut #sektoral #jadi #besar

KOMENTAR