Kerusuhan Agustus 2025 Berujung Tuntutan Reformasi Polri
Personel polisi menghalau pengunjuk rasa di Jalan Letjend S Parman, depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (25/8/2025). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)
12:06
23 Desember 2025

Kerusuhan Agustus 2025 Berujung Tuntutan Reformasi Polri

Rangkaian kerusuhan yang terjadi di sejumlah daerah sepanjang Agustus lalu menjadi pengingat bagaimana relasi antara masyarakat dan aparat penegak hukum pada tahun 2025.

Peristiwa yang bermula dari aksi unjuk rasa tersebut tidak hanya berujung pada bentrokan, korban jiwa, dan kerusakan fasilitas umum, tetapi juga memicu gelombang kemarahan publik yang berujung pada tuntutan reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Puncak eskalasi terjadi setelah tewasnya seorang pengemudi ojek daring, Affan Kurniawan, yang terlindas mobil rantis Brimob saat penanganan aksi massa, 28 Agustus.

Insiden memilukan itu kemudian menyulut protes lanjutan hingga penyerangan Markas Komando Brimob Polda Metro Jaya di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, pada tanggal yang sama.

Demo, Affan terlindas, publik pun marah

Kerusuhan bermula dari aksi demonstrasi di berbagai kota pada akhir Agustus 2025, salah satunya di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta.

Aksi yang awalnya berlangsung damai berubah menjadi ricuh setelah terjadi pembubaran massa oleh aparat.

Bentrokan tak terhindarkan, disertai penggunaan gas air mata dan kendaraan taktis di sejumlah titik strategis, termasuk kawasan sekitar Gedung DPR/MPR.

Di tengah situasi yang memanas itulah tragedi menimpa Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring yang sedang melakoni pekerjaannya ketika kerusuhan terjadi.

Saat berada di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, Affan terlindas oleh mobil ranits Brimob.

Ia mengalami luka parah dan meninggal dunia setelah sempat mendapatkan perawatan medis.

Rekaman video kejadian tersebut menyebar luas di media sosial dan dengan cepat memantik kemarahan publik.

Bagi banyak orang, kematian Affan menjadi simbol kegagalan aparat dalam menjamin keselamatan warga sipil saat mengamankan aksi massa.

Kematian Affan memicu gelombang solidaritas luas, khususnya dari komunitas pengemudi ojek daring.

Ribuan pengemudi mengawal pemakaman Affan, sementara di media sosial muncul berbagai seruan keadilan dan kritik keras terhadap tindakan aparat.

Kematian Affan juga membuat situasi memanas.

Hanya beberapa jam setelah kejadian Affan dilindas, Mako Brimob Polda Metro Jaya sudah disatroni massa yang marah.

Kericuhan pun terjadi dan berkembang menjadi kerusuhan yang diwarnai perusakan fasilitas umum dan penjarahan.

Tak hanya di Jakarta, kerusuhan serupa turut terjadi di berbagai kota besar di Indonesia, antara lain, Surabaya, Bandung, dan Makassar.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat bahwa kerusuhan tersebut menyebabkan 11 orang meninggal dunia.

Momentum evaluasi

Polri mengakui bahwa rangkaian peristiwa tersebut menjadi bahan evaluasi serius.

Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Wakalemdiklat) Polri Irjen Pol Achmad Kartiko, saat membacakan pidato Wakapolri Komjen Pol Dedi Prasetyo, menyebut kerusuhan Agustus 2025 sebagai titik balik refleksi organisasi.

"Kami mengakui bahwa Polri masih memiliki banyak kekurangan dan tidak luput dari kesalahan selama menjalankan tugas," kata Kartiko, dalam Dialog Literasi Kebangsaan STIK (Dilibas) bertema "Transformasi Polri: Antara Citra dan Realita", di Auditorium STIK Polri, Jakarta Selatan, Rabu (19/11/2025).

"Prahara Agustus memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap menurunnya legitimasi publik kepada Polri," ujar dia lagi.

Kartiko mengatakan, pembenahan Polri tidak bisa berjalan tanpa masukan, tekanan moral, dan kritik dari masyarakat.

Ia mengakui bahwa institusi kepolisian masih memiliki banyak kekurangan yang tidak bisa ditutupi.

Tekanan publik pada akhir Agustus lalu menjadi sinyal bahwa ada masalah serius dalam pelayanan, komunikasi, hingga penggunaan kekuatan di lapangan yang harus diperbaiki.

"Belajar dari rentetan peristiwa tersebut, kami sadar bahwa Polri harus peka terhadap perubahan sosial yang terjadi, lebih terbuka terhadap kritik, dan responsif terhadap aspirasi publik yang merupakan elemen penting dalam menjaga stabilitas kamtibmas," ujar dia.

Bentuk Tim Reformasi

Seiring meningkatnya tekanan publik, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri.

Tim ini dibentuk berdasarkan Surat Perintah (Sprin) Kapolri Nomor: Sprin 2749/IX/TUK.2.1./2025 yang ditandatangani Sigit pada 17 September 2025.

Melalui surat itu, Sigit memerintahkan 52 anggota perwira menengah dan perwira tinggi Polri dengan pangkat AKBP hingga jenderal.

"Untuk melaksanakan tugas sebagai Tim kegiatan Transformasi Reformasi Polri," kata Sigit dalam Sprin tersebut sebagaimana dikutip Kompas.com.

Sigit memerintahkan jajarannya untuk berkoordinasi dan bekerja sama sebaik mungkin dengan unsur terkait demi kelancaran reformasi Polri.

Ia juga memerintahkan jajarannya menyusun rencana kegiatan dan kebutuhan anggaran yang dibutuhkan pada bidang masing-masing.

Jabatan pada perintah itu, kata Sigit, bersifat ex officio atau melekat pada jabatan struktural.

"Melaksanakan perintah ini dengan saksama dan penuh rasa tanggung jawab," tutur Sigit.

Ubah doktrin penanganan aksi massa

Dalam rangka mereformasi institusinya, Polri pun mengubah doktrin penanganan aksi massa.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan, Polri tengah melakukan perubahan mendasar dalam pendekatan pengamanan aksi unjuk rasa.

Menurutnya, doktrin yang sebelumnya menekankan fungsi Polri menjaga aksi unjuk rasa, kini diarahkan menjadi melayani masyarakat yang ingin menyampaikan pendapat di muka umum.

"Bagaimana kita membedakan antara upaya kita dan mengubah doktrin kita dari yang tadinya menjaga menjadi melayani, khusus untuk saudara-saudara kita yang melakukan atau menjalankan haknya yang diatur dalam kebebasan mengeluarkan pendapat," kata Kapolri usai membuka Apel Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) Polri 2025 di Satlat Brimob, Cikeas, 24 November 2025.

Kapolri menjelaskan, pendekatan baru itu diambil agar Polri lebih adaptif terhadap harapan masyarakat.

Ia menekankan pentingnya dialog efektif antara Polri, masyarakat, dan instansi terkait sebelum aksi berlangsung.

Sigit menegaskan, perubahan pola ini sekaligus mencegah adanya pihak-pihak yang menunggangi aksi sehingga tujuan utama penyampaian pendapat menjadi kabur.

Komisi Percepatan Reformasi Polri

Langkah internal Polri membentuk tim transformasi dinilai belum cukup oleh sejumlah pihak yang berujung pada dibentuknya Komisi Percepatan Reformasi Polri oleh Presiden Prabowo Subianto.

Komisi ini dipimpin oleh eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie dan beranggotakan sejumlah pejabat pemerintah, tokoh masyarakat sipil, dan eks kapolri.

Sejak dibentuk pada 7 November 2025, Komisi Percepatan Reformasi Polri rutin menggelar pertemuan dengan elemen masyarakat untuk menghimpun aspirasi terkait perbaikan Polri.

Setelah satu bulan berlalu, Komisi Reformasi Polri akan mulai menyaring dan menentukan konsep kebijakan reformasi yang dinilai paling relevan untuk pembenahan institusi kepolisian.

"Bulan kedua itu, kita memilih kira-kira untuk kebijakan reformasinya kayak apa. Yang ujungnya nanti pasti mengubah Undang-Undang," ujar Jimly.

Pada bulan ketiga, Komisi Percepatan Reformasi Polri akan merampungkan penyusunan rumusan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Targetnya, draf revisi UU Polri itu dapat dirampungkan pada Januari 2026.

"Rumusan undang-undangnya nanti bulan ketiga. Jadi kira-kira Januari sudah bisa, akhir Januari sudah bisa kita siapkan format dan arah kebijakan seperti apa untuk reformasi kepolisian," kata Jimly.

Reformasi kulutral

Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso menegaskan bahwa kultural merupakan aspek paling penting yang perlu direformasi dari Polri.

Sebab selama ini, kekecewaan masyarakat terhadap kepolisian berpusat kepada kinerjanya di sektor penegakan hukum, pengawasan, dan sanksi.

"Reformasi kultural adalah satu keharusan. Nah, banyak kekecewaan masyarakat memang berpusat kepada kinerja Polri, khususnya terkait penegakan hukum, pengawasan, dan sanksi," ujar Sugeng dalam rapat panitia kerja (panja) reformasi kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan Komisi III DPR, Kamis (4/12/2025).

Sugeng lantas menyinggung silent blue code yang merupakan praktik mentoleransi adanya pelanggaran di internal.

Jika ada pelanggaran di internal kepolisian yang ditindak, ia menilai bahwa penindakan itu diambil karena masih adanya sorotan dari publik.

"Tetapi dengan lewatnya waktu ya, yang diketahui oleh masyarakat yang disanksi ini kemudian naik pangkat dan menduduki jabatan," ujar Sugeng.

"Ini adalah praktik silent blue code yang mengarah kepada impunitas merangkak, gitu ya. Impunitas merangkak nih, jadi sebetulnya orang yang sudah salah, kemudian dia naik," sambungnya menegaskan.

Sugeng mencontohkan kasus meninggalnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yang menyeret mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Ferdy Sambo.

Dalam kasus itu, banyak perwira yang akhirnya menerima sanksi hingga diberhentikan dari kepolisian.

Namun, beberapa di antaranya justru aktif kembali bahkan naik pangkat.

"Ada juga yang disanksi karena diduga terlibat dalam pemerasan, juga naik pangkat. Nah ini menimbulkan ketidakpercayaan, salah satu aspek ya," ujar Sugeng.

Menanti reformasi nyata

Kerusuhan Agustus 2025 kini tercatat bukan sekadar sebagai rangkaian bentrokan jalanan, melainkan sebagai momentum yang kembali membuka perdebatan tentang reformasi Polri.

Publik menuntut perubahan yang menyentuh akar persoalan, mulai dari prosedur pengendalian massa, penggunaan kekuatan, hingga pengawasan eksternal yang independen.

Apakah tragedi yang menewaskan Affan Kurniawan akan menjadi pemicu reformasi nyata atau kembali berlalu sebagai catatan kelam, sangat bergantung pada konsistensi langkah Polri dan pemerintah.

Bagi masyarakat, tuntutan reformasi Polri bukan lagi wacana, melainkan kebutuhan mendesak demi penegakan hukum yang adil, transparan, dan berorientasi pada keselamatan warga.

Tag:  #kerusuhan #agustus #2025 #berujung #tuntutan #reformasi #polri

KOMENTAR