Saksi Beber Aliran dana Rp 11 Miliar ke Menantu Eks Sekretaris MA Nurhadi, Pengacara Klaim Hanya Asumsi
- Direktur Utama (Dirut) PT Java Energy Semesta, Liyanto, mengungkapkan bahwa ayahnya, almarhum Bambang Hartono Tjahjono pernah mentransfer uang kepada menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono.
Pernyataan itu disampaikan Liyanto saat bersaksi untuk terdakwa Nurhadi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (22/12).
Ketua Majelis Hakim, Fajar Kusuma Aji, mempertegas pernyataan Liyanto soal transfer uang kepada Rezky Herbiyono berkaitan dengan dakwaan jaksa KPK terhadap Nurhadi.
Sebab, jumlah uang Rp 11 miliar yang ditransfer ayah Liyanto, almarhum Bambang Hartono nilainya sama dengan dakwaan jaksa KPK.
"Saudara Saksi ya. Ini (Nurhadi) didakwa oleh penuntut umum ini menerima sejumlah uang," tanya Hakim Fajar Kusuma kepada Liyanto.
"Iya," jawab Liyanto.
"Di dakwaan penuntut umum ini menerima sejumlah uang. Nilainya itu adalah sejumlah yang saksi sebutkan tadi," tegas hakim.
Sementara, tim kuasa hukum Nurhadi membantah keterangan saksi yang disampaikan di persidangan.
Penasihat hukum Nurhadi, Maqdir Ismail, menilai dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) sarat dengan asumsi dan berpotensi mengikis prinsip-prinsip fundamental dalam sistem peradilan pidana.
Menurut Maqdir, seseorang tidak dapat dipidana hanya berdasarkan dugaan bahwa uang yang diterima berkaitan dengan pengurusan perkara tanpa didukung bukti faktual yang jelas dan kuat.
“Apabila seseorang bisa dihukum hanya karena asumsi bahwa uang yang diterimanya berhubungan dengan pengurusan perkara, tanpa pembuktian yang nyata, maka yang runtuh bukan hanya satu perkara, melainkan keseluruhan sistem hukum kita,” ujar Maqdir.
Ia menegaskan, hukum pidana mensyaratkan alat bukti yang sah serta keterangan saksi yang memenuhi kriteria sebagai saksi fakta.
Yakni berdasarkan apa yang benar-benar dilihat, didengar, dan dialami sendiri. Namun, keterangan saksi bernama Liyanto tidak memenuhi unsur tersebut karena tidak bersifat faktual.
“Jika sejak awal keterangan itu tidak memenuhi syarat pembuktian, mengapa tetap diterima? Ini yang menjadi keberatan kami,” tuturnya.
Selain itu, Maqdir juga mengkritisi prosedur pemeriksaan saksi yang dinilainya tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara.
Ia menyoroti keterlambatan kehadiran saksi kunci serta mekanisme pemeriksaan saksi yang dilakukan secara daring.
Ia mengingatkan, Mahkamah Agung telah mengatur secara tegas mekanisme pemeriksaan saksi secara daring, yang harus dilaksanakan dari kantor kejaksaan atau pengadilan.
“Ketentuan tersebut seharusnya dipahami dan dipatuhi oleh penuntut umum dalam proses persidangan,” imbuhnya.
Nurhadi Didakwa Terima Gratifikasi Rp 137 Miliar
Dalam kasusnya, Nurhadi didakwa menerima gratifikasi senilai Rp 137,1 miliar dari sejumlah pihak yang sedang berperkara di lingkungan peradilan, baik saat dirinya masih aktif menjabat maupun setelah tidak menjabat di Mahkamah Agung.
Gratifikasi itu diterima dari proses hukum di berbagai tingkat peradilan, mulai dari pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi hingga peninjauan kembali (PK). Penerimaan uang tersebut berlangsung dalam rentang Juli 2013 hingga 2019.
Selain gratifikasi, Jaksa juga mendakwa Nurhadi dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp 307,26 miliar dan USD 50.000.
Nurhadi menempatkan dan memindahkan uang yang diduga berasal dari para pihak berperkara tersebut ke berbagai rekening, serta membelanjakannya untuk pembelian aset berupa tanah dan bangunan dengan nilai total Rp 138,5 miliar.
Nurhadi didakwa melanggar Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor serta Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Tag: #saksi #beber #aliran #dana #miliar #menantu #sekretaris #nurhadi #pengacara #klaim #hanya #asumsi