Walhi Sumut Bongkar Jejak Korporasi di Balik Banjir Tapanuli: Bukan Sekadar Bencana Alam
Rianda Purba dari Walhi Sumatera Utara. (Tangkap layar)
13:16
22 Desember 2025

Walhi Sumut Bongkar Jejak Korporasi di Balik Banjir Tapanuli: Bukan Sekadar Bencana Alam

Baca 10 detik
  • Walhi Sumatera Utara menyatakan banjir dan longsoran pada Desember 2025 akibat kerusakan ekosistem oleh aktivitas korporasi besar.
  • Kerusakan utama teridentifikasi di Ekosistem Batang Toru, di mana sekitar 10.000 hektare hutan hilang dalam satu dekade.
  • Tujuh perusahaan di sektor pertambangan, energi, dan perkebunan disinyalir menjadi pemicu deforestasi di wilayah rawan tersebut.

Rentetan banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera Utara dalam beberapa pekan terakhir dinilai bukan semata dampak cuaca ekstrem.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara menilai bencana tersebut merupakan akumulasi kerusakan ekosistem yang dipicu oleh aktivitas korporasi berskala besar, sehingga menggerus fungsi alam sebagai penyangga kehidupan masyarakat.

Temuan ini disampaikan Walhi Sumatera Utara dalam sebuah konferensi pers bertajuk “Jejak Pembiayaan di Balik Bencana Ekologis Sumatera” yang digelar oleh TuK Indonesia pada Senin (22/12/2025).

Rianda Purba dari Walhi Sumatera Utara menegaskan bahwa bencana yang terjadi sejak 25 November 2025 di wilayah Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, hingga Kota Sibolga, bukan semata-mata faktor cuaca, melainkan dampak nyata dari hilangnya fungsi ekologis hutan.

“Wilayah banjir terparah berada di tiga kabupaten Tapanuli dan Kota Sibolga. Kami mengidentifikasi bahwa penyebab utamanya adalah kerusakan di Ekosistem Batang Toru atau Harangan Tapanuli,” ujar Rianda Purba, dikutip pada Senin (22/12/2025).

Ekosistem Batang Toru seluas kurang lebih 240.000 hektare merupakan penyangga siklus hidrologis vital bagi kabupaten-kabupaten di sekitarnya. 

Wilayah ini tidak hanya menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati langka seperti Orangutan Tapanuli dan Harimau Sumatera, tetapi juga menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal melalui komoditas hutan non-kayu seperti aren, kemenyan, dan durian.

Namun, Walhi mencatat perubahan drastis dalam satu dekade terakhir. Setidaknya 10.000 hektare lahan hutan telah hilang. 

Rianda menyebutkan ada tujuh perusahaan yang teridentifikasi beraktivitas di wilayah sensitif tersebut, yang menjadi pemicu laju deforestasi.

Beberapa entitas yang disorot antara lain:

1. PT Agincourt Resources: Perusahaan tambang emas yang dilaporkan terus memperluas areal eksploitasinya hingga ribuan hektare dalam tiga tahun terakhir.

2. PT North Sumatera Hydro Energy (PLTA Batang Toru): Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru, sebuah proyek PLTA run-of-river terbesar di Indonesia yang berlokasi di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dengan kapasitas total 510 MW dari empat turbin, bertujuan memenuhi kebutuhan listrik puncak Sumatera, mendukung program 35.000 MW, serta menyediakan energi bersih dengan mengelola aliran Sungai Batang Toru secara efisien dengan memperhatikan aspek lingkungan seperti habitat orangutan Tapanuli. 

3. PT Pahae Julu Micro-Hydr Power: Perusahaan pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) 10 Megawatt (MW) yang dibangun di Pahae Julu, Tapanuli Utara (Taput), Sumatera Utara, bertujuan untuk mencukupi kebutuhan listrik lokal, mendukung industrialisasi daerah, memanfaatkan energi terbarukan, dan membantu mewujudkan kemandirian energi Taput.

4. PT SOL Geothermal Indonesia: Perusahaan operator Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sarulla di Tapanuli Utara, Sumatera Utara, salah satu PLTP panas bumi terbesar di dunia, menghasilkan listrik bersih 330 MW menggunakan teknologi canggih untuk memenuhi kebutuhan energi Sumatera Utara dengan mitra konsorsium seperti Medco Power.

5. PT Toba Pulp Lestari Tbk: Produsen pulp (bubur kertas) dan serat rayon terintegrasi dari Sumatera Utara, yang mengelola hutan tanaman industri (HTI) berbasis pohon eukaliptus untuk menghasilkan dissolving pulp untuk industri tekstil, serta berkomitmen pada keberlanjutan dengan prinsip ESG dan program kemitraan sosial-lingkungan, meskipun sejarahnya diwarnai kontroversi dengan masyarakat lokal. 

6. PT Sago Nauli Plantation: Pelopor perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di Mandailing Natal, Sumatera Utara, sejak 1997, yang mengelola kebun inti dan plasma melalui kemitraan dengan koperasi petani (KUD), didukung pabrik kelapa sawit, dan berkomitmen pada standar ISPO serta pemberdayaan masyarakat lokal, lingkungan, dan ekonomi melalui program CSR dan penyediaan lapangan kerja.

7. PTPN III Batang Toru Estate: Perusahaan perkebunan di bawah PT Perkebunan Nusantara III (Persero), sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang agribisnis. 

“Kawasan yang seharusnya menjadi hutan penyangga dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit, bahkan beberapa di antaranya teridentifikasi belum memiliki izin lengkap,” tambah Rianda.

Dampak dari pembukaan lahan ini mulai dirasakan secara fatal oleh warga. Di Kabupaten Tapanuli Selatan, desa-desa di sekitar Sungai Batang Toru, seperti Desa Garoga, diterjang banjir bandang.

“Ratusan orang terdampak, tertimbun, dan tergerus run-off air banjir bandang serta tanah longsor. Kami menunjukkan data bahwa di titik-titik awal longsoran tersebut terdapat aktivitas pembukaan lahan untuk eksplorasi tambang dan perkebunan sawit,” ungkapnya.

Walhi Sumatera Utara menyayangkan sikap pemerintah yang terus memfasilitasi perizinan bagi perusahaan-perusahaan tersebut. 

Meski gugatan terhadap AMDAL PLTA Batang Toru pernah dilakukan pada 2018, upaya tersebut kandas di pengadilan.

“Protes terus kami sampaikan, namun pembukaan lahan terus berjalan. Izin-izin penebangan kayu terus diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan, bahkan di wilayah yang secara ekologis sangat rentan. Ini adalah bencana yang diproduksi oleh kebijakan dan pembiayaan yang mengabaikan keselamatan rakyat,” tutup Rianda.

Reporter: Safelia Putri

Editor: Vania Rossa

Tag:  #walhi #sumut #bongkar #jejak #korporasi #balik #banjir #tapanuli #bukan #sekadar #bencana #alam

KOMENTAR