Pakar: Serangga Berpotensi Jadi Sumber Protein Masa Depan Indonesia
Talkshow ?Perspektif: Melacak Jejak Pangan Nusantara? menghadirkan diskusi tentang sejarah pangan, kekayaan pangan lokal, dan potensi serangga Nusantara sebagai pangan masa depan Indonesia, Kamis (18/12/2025). (KOMPAS.com/Yakob Arfin T Sasongko)
21:26
18 Desember 2025

Pakar: Serangga Berpotensi Jadi Sumber Protein Masa Depan Indonesia

– Sejumlah serangga di Nusantara, seperti belalang, jangkrik, dan ulat sagu dinilai memiliki potensi besar sebagai sumber protein alternatif yang efisien, bergizi, dan lebih ramah lingkungan dibandingkan sumber protein hewani konvensional.

Di tengah tantangan ketahanan pangan, perubahan iklim, serta keterbatasan sumber daya alam, pemanfaatan serangga sebagai pangan dinilai layak dipertimbangkan sebagai bagian dari strategi diversifikasi pangan nasional.

Hal itu mengemuka dalam talkshow “Melacak Jejak Pangan Nusantara” yang digagas Kompasiana di Studio KompasTV, Jakarta, Kamis (18/12/2025).

Pakar entomologi Dadan Hindayana menjelaskan bahwa tidak semua serangga dapat dikonsumsi.

Dalam kajian ilmiah dikenal kelompok edible insects, yakni jenis serangga yang aman dan layak dikonsumsi manusia, seperti belalang, jangkrik, ulat jati, dan laron.

“Serangga memiliki kandungan protein yang sangat tinggi dan efisiensi produksi yang jauh lebih baik dibandingkan ternak konvensional. Dari sisi lingkungan, serangga juga jauh lebih ramah,” ujar Dadan, Kamis.

Ia menambahkan, berbagai penelitian menunjukkan bahwa rasa belalang dan jangkrik kerap dinilai mirip dengan udang karena keduanya sama-sama hewan beruas dan memiliki kedekatan secara evolusi.

Selain protein, serangga juga kaya vitamin dan asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh.

Melansir IPB University, Kamis (13/2/2025), Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa serangga yang dapat dimakan mengandung protein berkualitas tinggi, vitamin, serta asam amino esensial yang bermanfaat bagi manusia.

FAO juga menilai serangga berpotensi menjadi solusi alternatif di tengah meningkatnya kebutuhan protein global.

Keunggulan utama serangga terletak pada efisiensi produksinya. Untuk menghasilkan jumlah protein yang sama, jangkrik membutuhkan pakan sekitar enam kali lebih sedikit dibandingkan sapi, empat kali lebih sedikit dibandingkan domba, serta dua kali lebih sedikit dibandingkan babi dan ayam broiler.

Selain itu, serangga juga menghasilkan emisi gas rumah kaca dan amonia yang lebih rendah dibandingkan ternak konvensional.

Dadan menambahkan, dalam praktik global, potensi tersebut telah dimanfaatkan oleh sejumlah negara.

China, misalnya, telah membudidayakan belalang secara masif sebagai sumber protein dengan lahan relatif sempit dan teknologi sederhana, bahkan dipasarkan hingga ke luar negeri.

Namun, di Indonesia, pemanfaatan serangga sebagai pangan masih didominasi praktik tradisional dan berbasis tangkapan alam. Akibatnya, pasokan belum stabil dan nilai ekonominya belum optimal.

“Tantangan terbesarnya bukan hanya soal teknologi, tetapi soal kebiasaan. Apa yang tidak dibiasakan akan terasa asing. Hal yang sama bisa terjadi pada serangga,” kata Dadan.

Narasumber membahas potensi serangga sebagai sumber protein alternatif serta pentingnya diversifikasi pangan dalam talkshow ?Melacak Jejak Pangan Nusantara? di Studio KompasTV, Jakarta, Kamis (18/12/2025). KOMPAS.com/Yakob Arfin T Sasongko Narasumber membahas potensi serangga sebagai sumber protein alternatif serta pentingnya diversifikasi pangan dalam talkshow ?Melacak Jejak Pangan Nusantara? di Studio KompasTV, Jakarta, Kamis (18/12/2025).

Jejak pangan nusantara dan politik selera 

Research Director Center for Sustainable Indonesian Food and Agriculture (CS-IFA) Repa Kustipia menilai, serangga sebagai pangan tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang sistem pangan Nusantara.

Menurut Repa, gastronomi bukan sekadar urusan rasa atau kuliner, melainkan ilmu yang mempelajari hubungan antara pangan, budaya, dan peradaban manusia.

Dalam konteks Indonesia, jejak pangan terbentuk melalui berbagai fase, mulai dari pemburu dan peramu, pertanian awal, sistem irigasi besar, hingga fase kolonial yang membawa perubahan besar dalam pola konsumsi.

“Pada fase kolonial, banyak pangan lokal mengalami pergeseran akibat dominasi perdagangan global dan sistem pangan kolonial. Selera makan tidak lagi semata persoalan lidah, tetapi juga dipengaruhi kekuasaan,” ujar Repa.

Ia menyebut kondisi tersebut sebagai gustatory politics atau politik selera, yakni situasi ketika pilihan pangan masyarakat dibentuk oleh kebijakan, struktur ekonomi, dan rantai pasok global.

Dalam konteks ini, diversifikasi pangan, termasuk pemanfaatan serangga, menjadi bagian dari upaya merebut kembali kedaulatan pangan.

Padahal, Indonesia memiliki kekayaan pangan lokal yang luar biasa, termasuk praktik gastroforaging, yaitu mencari dan memanfaatkan pangan langsung dari alam.

“Sayangnya, banyak pangan endemik belum terdokumentasi dengan baik sehingga sulit dikembangkan secara berkelanjutan dan bernilai ekonomi tinggi,” jelasnya.

Dukungan riset dan kekayaan genetik lokal

Dari sisi riset, Kepala Riset Hortikultura dan Perkebunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dwininta Wika Utami menegaskan bahwa Indonesia memiliki kekayaan sumber daya genetik pangan yang sangat besar, mulai dari serealia, umbi-umbian, hingga hortikultura.

Selain padi putih, Indonesia memiliki padi seperti merah, hitam, dan ungu, serta sorgum, sagu, hanjeli, dan berbagai umbi yang berpotensi menjadi alternatif sumber karbohidrat.

Kekayaan genetik ini, menurut Dwininta, merupakan aset negara yang harus dikelola secara kolaboratif.

“Pengelolaan pangan lokal membutuhkan kerja sama antara peneliti, pemerintah daerah, dan masyarakat agar hasil riset tidak berhenti di laboratorium, tetapi bisa dimanfaatkan secara luas,” kata Dwininta.

BRIN, lanjut dia, telah meneliti berbagai komoditas lokal, termasuk talas, ganyong, ubi jalar, sorgum, pisang lokal, hingga tanaman yang selama ini dikenal sebagai tanaman hias, tetapi memiliki potensi pangan dan kesehatan.

“Melalui hilirisasi riset dan kolaborasi pangan alternatif, termasuk serangga, dapat menjadi bagian penting dalam memperkuat ketahanan dan kemandirian pangan Indonesia di masa depan,” kata Dwininta.

Tag:  #pakar #serangga #berpotensi #jadi #sumber #protein #masa #depan #indonesia

KOMENTAR