Pemenuhan Hak untuk Ibu Bekerja, Sudahkah Ideal?
Pekerja perempuan di pabrik Dodol Picnic di Garut, Jawa Barat. Pabrik dodol Garut legendaris sejak 1949. Difoto Rabu (19/11/2025).(Kompas.com/Krisda Tiofani)
15:50
17 Desember 2025

Pemenuhan Hak untuk Ibu Bekerja, Sudahkah Ideal?

- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai bahwa perlindungan terhadap ibu pekerja ternyata masih belum optimal.

Di tengah meningkatnya partisipasi perempuan dalam dunia kerja, pemenuhan hak-hak asasi perempuan atau hak maternitas dinilai masih jauh dari kata ideal.

Hak maternitas meliputi hak reproduksi, haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Hak ini perlu dijamin untuk ibu bekerja (working mom).

“Perlindungan terhadap ibu bekerja dalam banyak hal khususnya terkait pemenuhan hak maternitas perempuan belum optimal,” kata Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, kepada Kompas.com, Rabu (17/12/2025).

“Perlindungan terhadap ibu bekerja dalam banyak hal masih lemah, terutama dalam pemenuhan hak maternitas perempuan,” lanjut Maria Ulfah.

Ia menilai masih terdapat kesenjangan antara regulasi yang ada dengan praktik di lapangan, sehingga perempuan pekerja kerap berada dalam posisi rentan, baik secara ekonomi maupun kesehatan.

Berdasarkan hasil pendokumentasian Komnas Perempuan di tiga wilayah—Jawa Tengah (Semarang), Jawa Timur (Surabaya), dan Sumatera Utara (Medan), ditemukan bahwa pemenuhan hak maternitas untuk perempuan kelas pekerja masih belum ideal.

“Kebijakan dan pelaksanaan cuti haid, kehamilan, melahirkan, dan keguguran di Indonesia masih beragam dan timpang antar sektor,” ujarnya.

Perbedaan tersebut terjadi baik antara sektor swasta, organisasi nirlaba, maupun aparatur sipil negara (ASN).

Di sektor swasta, mayoritas perusahaan menerapkan cuti melahirkan selama tiga bulan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Perusahaan umumnya menerapkan cuti melahirkan tiga bulan, dengan sebagian kecil yang lebih progresif hingga 4,5–6 bulan. Namun praktik diskriminatif terhadap pekerja hamil masih kerap terjadi,” lanjutnya.

Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor saat memberikan sambutan HUT Ke-27 Komnas Perempuan di Kantor Komnas Perempuan Jalan Latuharhary Nomor 4B, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (15/10/2025).KOMPAS.com/SINGGIH WIRYONO Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor saat memberikan sambutan HUT Ke-27 Komnas Perempuan di Kantor Komnas Perempuan Jalan Latuharhary Nomor 4B, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (15/10/2025).

Sementara itu, organisasi nonpemerintah dan lembaga nirlaba cenderung lebih suportif terhadap ibu pekerja.

Namun, dukungan tersebut belum ditopang oleh standar nasional yang konsisten, sehingga sangat bergantung pada kebijakan internal masing-masing lembaga.

Di sektor ASN, cuti melahirkan selama tiga bulan berlaku secara merata, tetapi terdapat perbedaan perlakuan terkait tunjangan dan ketentuan kepegawaian antara Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).

“Di sektor ASN cuti tiga bulan berlaku merata dengan perbedaan tunjangan serta ketentuan antara PNS dan P3K. Cuti keguguran 1,5 bulan umumnya dipatuhi oleh perusahaan besar, meski masih lemah dari sisi aturan tertulis dan pengawasan,” ujar Maria Ulfah.

Komnas Perempuan mendapat laporan pekerja perempuan takut cuti

Dia mengatakan, kerentanan tersebut juga diperparah dengan beberapa klausul dalam UU Cipta Kerja.

Dia mengatakan, ada banyak pekerja perempuan yang tidak mendapatkan informasi memadai mengenai hak tersebut, sehingga enggan atau takut mengajukan cuti.

“Penerapan UU Cipta Kerja memperparah kerentanan melalui meningkatnya kontrak jangka pendek dan risiko PHK bagi pekerja hamil,” kata Maria Ulfah.

“Sehingga melemahkan pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan membuka ruang pelanggaran HAM,” ujarnya.

Menurut dia, penerapan Undang-Undang Cipta Kerja berdampak pada meningkatnya praktik kontrak jangka pendek dan fleksibilisasi tenaga kerja dinilai memperbesar risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi perempuan hamil.

“Kondisi ini melemahkan pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan pekerja dan membuka ruang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia,” kata Maria Ulfah.

Selain itu, masih ditemukan kebijakan internal di sejumlah instansi yang berpotensi diskriminatif.

Di antaranya adalah pemotongan tunjangan kehadiran meskipun ASN sedang hamil, hingga kewajiban menjalani tugas jaga malam bagi ASN perempuan pada masa kehamilan hingga menjelang persalinan.

Kebijakan semacam ini dinilai tidak sensitif terhadap kondisi biologis dan kesehatan perempuan.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mengatur pemberian ASI eksklusif, khususnya Pasal 42, begini bunyinya:

Pasal 42

(1) Setiap bayi berhak memperoleh air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan sampai usia 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.
(21 Pemberian air susu ibu dilanjutkan sampai dengan usia 2 (dua) tahun disertai pemberian makanan pendamping.
(3) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat wajib mendukung ibu bayr secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
(4) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diadakan di tempat kerja dan tempat/fasilitas umum.

Selain itu, terdapat Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 3 Tahun 2010 tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui, serta Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2013 tentang penyediaan fasilitas khusus menyusui dan/atau memerah ASI di tempat kerja.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra), Cucun Ahmad Syamsurijal, menekankan urgensi peran negara dalam memberikan perlindungan kepada perempuan melalui kebijakan dan regulasi yang inklusif serta berkeadilan.

Penegasan tersebut disampaikan Cucun saat menghadiri kegiatan Fatayat NU di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (6/7/2025).

"Negara harus hadir memproteksi perempuan, termasuk hak atas cuti melahirkan yang tidak boleh mengurangi status dan hak kerja mereka. Hak perempuan untuk hamil, melahirkan, dan membesarkan anak tidak boleh dibenturkan dengan ruang kerja dan produktivitas,” ujar dia dilansir dpr.go.id, Minggu.

Cucun menjelaskan, DPR telah menunjukkan keberpihakannya terhadap perempuan dengan mengesahkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak, yang mengatur hak cuti melahirkan, akses layanan kesehatan ibu dan anak, serta pemenuhan gizi selama masa kehamilan dan menyusui.

Politisi Fraksi PKB itu menegaskan, perlindungan perempuan juga mencakup aspek keamanan dari kekerasan dan diskriminasi.

DPR, kata Cucun, terus mengawal implementasi regulasi seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual agar perlindungan korban dapat terjamin dan pelaku mendapatkan efek jera.

“Fenomena kekerasan seksual terhadap perempuan yang masih tinggi menjadi perhatian serius DPR,” ujarnya.

Masalah pekerja perempuan di luar negeri

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Judha Nugraha mengungkapkan bahwa sebagian besar pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri merupakan perempuan.

“Mayoritas pekerja migran kita yang ada di luar negeri itu adalah perempuan. Lebih dari 75 persen pekerja migran kita adalah perempuan di luar negeri,” kata Judha, di Jakarta, 23 Juli 2025 lalu.

Hari Perempuan Internasional 2019 diperingati perempuan dari sejumlah organisasi dengan berunjuk rasa di Taman Aspirasi, di depan Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (8/3/2019). Mereka antara lain mendesak agar disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, perlindungan terhadap pekerja perempuan, dan perlakuan yang setara.KOMPAS/HERU SRI KUMORO Hari Perempuan Internasional 2019 diperingati perempuan dari sejumlah organisasi dengan berunjuk rasa di Taman Aspirasi, di depan Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (8/3/2019). Mereka antara lain mendesak agar disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, perlindungan terhadap pekerja perempuan, dan perlakuan yang setara.

Judha menjelaskan bahwa dominasi perempuan dalam komposisi pekerja migran Indonesia di luar negeri menuntut adanya perlindungan yang kuat melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

“Kita sudah ada undang-undangnya, di situ diberikan hak dan perlindungan bagi pekerja migran, terutama perempuan,” ujar dia.

"Secara khusus, kita juga sudah memiliki Komnas Perempuan. Jadi, determinasi Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak perempuan sudah dilakukan,” sambung dia.

Judha mengingatkan bahwa berbagai tantangan masih dihadapi dalam konteks perlindungan pekerjaan perempuan. Dia mengatakan, tingginya jumlah perempuan yang menjadi pekerja migran berbanding lurus dengan jumlah masalah yang dihadapi.

"Unfortunately, itu juga konsisten dengan jumlah kasus yang dihadapi oleh pekerja perempuan. Tahun lalu, kita mencatatkan ada 67.000 kasus ini yang dihadapi oleh WNI pekerja perempuan,” ujar dia.

Judha mencatat peningkatan angka kasus ini konsisten dari tahun ke tahun, di mana pada 2019 angka kasus hanya 24.000, saat ini sudah 67.000.

“Kami antisipasi tahun depan akan banyak. Artinya apa? Tantangan terhadap pekerja migran perempuan juga semakin banyak dan semakin kompleks,” ujar dia.

Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha.
KOMPAS.com via BBC INDONESIA Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha.

Untuk mengatasi masalah - masalah pekerja di luar negeri, Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Mukhtarudin mengimbau untuk berhati-hati dan tidak mudah tergiur tawaran kerja luar negeri yang beredar melalui media sosial.

Ia menekankan pentingnya memverifikasi informasi lewat kanal resmi sebelum mengambil keputusan.

“Harapan kita, masyarakat sekalian jangan tergiur dengan tawaran-tawaran bekerja di luar negeri, khususnya negara-negara yang bukan negara penempatan,” ujar Mukhtarudin, Rabu (29/10/25)

Tag:  #pemenuhan #untuk #bekerja #sudahkah #ideal

KOMENTAR