Pembenahan Sistem Pengelolaan Bencana
BANJIR yang kembali melanda di Sumatera seharusnya tidak dibaca sebagai peristiwa alam semata. Ia adalah cermin kegagalan negara dalam mengelola risiko, fiskal, dan kelembagaan secara terpadu.
Setiap kali air surut, pemerintah sibuk menghitung kerugian dan menyusun ulang anggaran. Namun, pertanyaan dasarnya tetap sama, mengapa sistem selalu terlambat bekerja?
Beberapa tahun lalu, saat berada di lingkar pengambilan kebijakan nasional, saya menulis tentang pentingnya pembiayaan bencana sebagai bagian dari tanggung jawab negara.
Namun, banjir dan longsor di Sumatera hari ini, menunjukkan bahwa problem kita bukan semata ketiadaan anggaran. Melainkan kegagalan sistem fiskal dan kelembagaan dalam menerjemahkan krisis menjadi respons cepat.
Pemerintah menyatakan telah menyiapkan ruang fiskal sekitar Rp 60 triliun untuk penanganan dan pemulihan banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Angka ini bahkan melampaui estimasi kebutuhan sementara yang berada di kisaran Rp 51,8 triliun.
Pernyataan tersebut penting, tetapi sekaligus membuka paradoks mendasar, yaitu jika anggaran tersedia, mengapa respons di lapangan tetap lamban, terfragmentasi, dan berlapis prosedur.
Di sinilah paradoks fiskal bencana bekerja, negara memiliki anggaran, tetapi tidak memiliki sistem.
Rp 60 triliun yang disiapkan lahir dari penyisiran belanja kementerian dan lembaga, bukan dari mekanisme pembiayaan darurat yang sejak awal dirancang untuk bergerak cepat.
Akibatnya, respons fiskal selalu reaktif dan bergantung pada keputusan politik pascakejadian, bukan pada indikator dampak riil di lapangan.
Dalam situasi darurat, negara justru bergerak dengan logika anggaran rutin, bukan logika penyelamat warga.
Paradoks ini diperkuat oleh apa yang dapat disebut sebagai ilusi status bencana. Diskursus kebijakan kerap terjebak pada perdebatan administratif, apakah suatu peristiwa layak ditetapkan sebagai bencana nasional atau tidak. Status seolah menjadi tujuan, padahal ia hanyalah instrumen.
Warga terdampak tidak hidup dari status, melainkan dari kecepatan evakuasi, bantuan, dan pemulihan. Ketika akses anggaran dan kewenangan digantungkan pada penetapan status, keselamatan warga secara tidak langsung dipertaruhkan pada prosedur birokrasi.
Masalah berikutnya adalah fragmentasi kelembagaan dalam negara terdesentralisasi. Koordinasi penanganan bencana dan anggaran masih berputar di ruang elilte, yaitu rapat kabinet, rapat kementerian, dan pernyataan politik tingat pusat.
Sementara itu, pemerintah daerah yang berada di garis depan justru menghadapi keterbatasan fiskal dan kewenangan.
BNPB, kementerian teknis, pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota bekerja dalam sistem yang pararel, bukan dalam satu desain komando fiskal dan operasional yang terpadu. Otonomi daerah dalam konteks bencana, kerap berubah menjadi otonomi menunggu.
Sebagai negara dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi, Indonesia menghadapi risiko kehilangan jiwa dan kerugian ekonomi yang terus berulang setiap tahun.
Banjir, longsor, gempa bumi, dan letusan gunung bukan peristiwa luar biasa, melainkan bagian dari lanskap kebijakan publik yang seharusnya diantisipasi secara sistemik.
Dalam konteks ini, desain pengelolaan bencana yang reaktif dan bergantung pada keputusan pascakejadian menunjukkan kegagalan membaca risiko sebagai keniscayaan.
Negara memerlukan mekanisme fiskal dan kelembagaan yang tidak hanya tersedia di atas kertas, tetapi mampu bekerja cepat dan otomatis ketika krisis terjadi.
Di titik ini, muncul dialektika yang lebih dalam, yaitu mengenai politik anggaran versus keselamatan warga.
Negara terbukti mampu bergerak cepat dan fleksibel untuk proyek pembangunan dan infrastruktur strategis. Namun, dalam urusan mitigasi dan respons bencana, kebijakan cenderung reaktif, sektoral dan penuh kehati-hatian administratif.
Bencana diperlakukan sebagai kejadian luar biasa yang mengganggu rutinitas, bukan sebagai risiko struktural yang seharusnya sudah diantisipasi dalam desain kebijakan dan fiskal negara.
Tulisan ini berbeda dari pandangan saya sebelumnya yang menekankan urgensi pembiayaan bencana. Hari ini, masalahnya bukan lagi pada ada atau tidaknya anggaran, melainkan pada bagaimana sistem itu dirancang untuk bekerja saat krisis datang.
Tanpa pembenahan desain fiskal berbasis risiko, integrasi kelembagaan, dan keberanian politik untuk menempatkan keselamatan warga sebagai prioritas utama, maka bencana alam akan terus menjadi peristiwa rutin dan negara akan terus hadir dalam laporan anggaran, bukan dalam perlindungan nyata.
Indonesia adalah negara dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi dan berlapis. Risiko struktural setiap saat dapat menelan korban jiwa dan menimbulkan kerugian ekonomi besar.
Karena itu, kegagalan sistem pengelolaan bencana tidak bisa lagi dibaca sebagai kekeliruan insidental. Tanpa desain fiskal berbasis risiko, mekanisme pembiayaan darurat yang siap pakai serta integrasi kelembagaan yang jelas, negara akan terus terjebak dalam pola yang sama.
Sibuk menghitung kerusakan setelah bencana terjadi, tetapi absen dalam pencegahan dan respons awal.
Dalam negara yang rawan bencana, keselamatan warga seharusnya tidak tergantung pada status administratif atau keputusan politik pascakejadian.