Peluncuran Buku Sejarah Indonesia di Tengah Pro Kontra, Pemerintah Klaim Tak Intervensi
Pemerintah meluncurkan buku "Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global".
Buku yang disusun dalam 10 jilid tersebut diluncurkan sebagai salah satu rujukan sejarah nasional memperingati 80 tahun kemerdekaan Indonesia.
Buku ini merangkum perjalanan panjang Indonesia sejak masa prasejarah hingga era reformasi.
Jilid pertama membahas Akar Peradaban Nusantara, termasuk di dalamnya kisah Java Man atau Homo erectus yang fosilnya sempat dibawa ke Belanda sejak 135 tahun lalu dan kini dikembalikan ke Indonesia.
Jilid berikutnya mengulas Nusantara dalam jaringan global, interaksi dengan India, Tiongkok, Persia, hingga perjumpaan awal dengan Barat.
Narasi berlanjut ke pembentukan negara kolonial, pergerakan kebangsaan, perjuangan mempertahankan kemerdekaan, konsolidasi negara bangsa, masa Orde Baru, hingga era Reformasi dan konsolidasi demokrasi pasca-1998.
“Kalau sejarah kita ditulis secara lengkap mungkin harusnya 100 jilid kalau mau ditulis secara lengkap. Jadi ini adalah highlight dari perjalanan," kata Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam sambutannya di acara peluncuran buku, di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta, Minggu (14/12/2025).
Terbuka terima masukan
Fadli menegaskan keterbukaannya terhadap kritik dan masukan publik dalam penyusunan.
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menekankan bahwa penulisan sejarah merupakan proses yang tidak pernah final.
Karena itu, pemerintah tidak menutup ruang dialog, termasuk terhadap pandangan kritis yang muncul di tengah masyarakat.
“Dan 10 jilid yang telah dihasilkan oleh para penulis, para sejarawan kita, tentu tidaklah sempurna. Kenapa saya katakan tidak sempurna? Karena pasti tidak akan mencakup secara keseluruhan," kata Fadli
Fadli menegaskan bahwa buku sejarah tersebut bukan narasi tunggal yang mematikan diskursus.
Sebaliknya, buku itu diharapkan menjadi salah satu rujukan yang dapat diperdebatkan, dikritisi, dan disempurnakan.
"Dan kita harapkan nanti ada masukan-masukan lain yang saya kira tentu niatnya sangat terbuka," tegas Fadli.
Singgung polemik penulisan ulang sejarah
Diakui Fadli, proses penyusunan buku sejarah ini sebelumnya juga menuai polemik.
Menurutnya, proses itu merupakan hal yang wajar dalam iklim demokrasi.
Bahkan, ia menyebut adanya pendapat yang meminta penulisan sejarah dihentikan sebagai bagian dari dinamika kebebasan berpendapat.
“Seringkali di mana berbagai tempat kita mengatakan sejarah itu penting, tetapi kita tahu di dalam proses penulisan ini cukup baik juga polemik. Ada yang minta juga menghentikan penulisan sejarah. Saya kira ini juga pendapat yang di era demokrasi ini wajar-wajar saja," ujar dia.
Perlu diketahui, beberapa bulan lalu gelombang pendapat pro dan kontra membanjiri wacana penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan.
Salah satu kritik disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI). Mereka menolak penulisan ulang sejarah yang digagas pemerintah.
Alasannya, AKSI menilai proyek itu adalah sarana untuk merekayasa masa lalu dengan menggunakan tafsir tunggal dari pemerintah.
“Penjamahan sejarah sekecil apa pun oleh kekuasaan, apalagi penulisan sejarah tunggal Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan, perlu dihentikan dan ditolak,” tegas anggota AKSI, Andi Achdian, Senin (19/5/2025).
Ditulis sejarawan, bukan pemerintah
Fadli menegaskan, buku sejarah tersebut tidak ditulis oleh pejabat Kementerian Kebudayaan.
Pemerintah, kata dia, hanya berperan sebagai fasilitator agar para sejarawan dapat menuliskan memori kolektif bangsa secara akademis dan bertanggung jawab.
Buku ini melibatkan 123 penulis dari 34 perguruan tinggi di seluruh Indonesia, yang seluruhnya merupakan sejarawan dan akademisi.
Proses penyusunannya juga melalui tahapan panjang, mulai dari penulisan, penyuntingan per jilid, penyuntingan umum, hingga diskusi publik di berbagai perguruan tinggi.
“Jadi ini bukan ditulis oleh saya, oleh Pak Restu, atau oleh orang Kementerian Kebudayaan. Kita memfasilitasi para sejarawan, para penulis sejarah," urai Fadli.
"Kalau sejarawan tidak menulis sejarah, lantas bagaimana kita merawat memori kolektif bangsa kita?" sambungnya.
Ia mengaku belum membaca satu halaman pun isi buku sebelum peluncuran.
Hal itu, menurutnya, justru untuk menegaskan independensi para penulis.
“Buku ini satu lembar pun belum pernah saya lihat. Jadi saya tidak bohong," katanya.
Direktorat sejarah dihidupkan kembali
Peluncuran buku ini juga menandai kebangkitan kembali Direktorat Sejarah di lingkungan Kementerian Kebudayaan.
Direktorat tersebut sebelumnya sempat ditiadakan, sebelum akhirnya dihidupkan kembali seiring berdirinya Kementerian Kebudayaan di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Fadli menyebut keberadaan Direktorat Sejarah sebagai langkah strategis untuk memastikan negara hadir dalam memfasilitasi penulisan sejarah, tanpa mengintervensi isinya.
“Jadi Direktorat Sejarah ini, sekali lagi, sebenarnya bangkit dari kubur. Karena itulah kemudian, kalau sudah ada Direktorat Sejarah, apa gunanya Direktorat Sejarah? Ya memfasilitasi sejarah," ucapnya.
Menurut Fadli, Direktorat Sejarah akan menjadi rumah bagi para sejarawan untuk menulis dan mendiskusikan sejarah Indonesia secara berkelanjutan.
Rencana buku sejarah lanjutan
Pemerintah juga merencanakan penulisan buku-buku sejarah tematik lain ke depan.
Di antaranya sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia periode 1945-1950 yang akan diperdalam, termasuk fase pembentukan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950.
Selain itu, Fadli menyebut perlunya penulisan sejarah komprehensif tentang kerajaan-kerajaan besar Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya, Pajajaran, serta kesultanan dan perjuangan daerah lainnya.
“Jadi sejarawan banyak kerjaannya ini selama ada Direktorat Sejarah ini," kelakar politikus Partai Gerindra itu.
Tag: #peluncuran #buku #sejarah #indonesia #tengah #kontra #pemerintah #klaim #intervensi