Rp 5,25 Milar Jatah Preman Bupati Lampung Tengah untuk Bayar Utang Kampanye, KPK Sorot Biaya Politik Mahal
Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya bersama tersangka lainnya saat konferensi pers penahanan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (11/12/2025). (Salman Toyibi/Jawa Pos)
13:48
14 Desember 2025

Rp 5,25 Milar Jatah Preman Bupati Lampung Tengah untuk Bayar Utang Kampanye, KPK Sorot Biaya Politik Mahal

- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong penerapan sistem pelaporan keuangan partai politik (parpol) yang terstandar, transparan, dan akuntabel.

Dorongan ini muncul menyusul temuan KPK terkait Bupati Lampung Tengah nonaktif Ardito Wijaya yang diduga menerima suap Rp 5,75 miliar, di mana Rp 5,25 miliar di antaranya digunakan untuk melunasi utang biaya kampanye.

Juru bicara KPK Budi Prasetyo menilai kasus tersebut menunjukkan masih tingginya biaya politik di Indonesia.

Kondisi ini kerap membuat kepala daerah terpilih menanggung beban besar untuk mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan saat kontestasi pemilu.

“Temuan ini menunjukkan bahwa tingginya biaya politik dan tidak akuntabel serta transparannya laporan keuangan partai politik membuat upaya pencegahan aliran uang tidak sah menjadi lemah,” kata Budi Prasetyo, Minggu (14/12).

Karena itu, KPK mendorong adanya sistem pelaporan keuangan parpol yang lebih kuat sebagai instrumen pencegahan korupsi sejak dari hulu. Menurutnya, mekanisme tersebut penting untuk menutup celah masuknya dana ilegal dalam proses politik.

“KPK mendorong pentingnya standardisasi dan sistem pelaporan keuangan partai politik, agar mampu mencegah adanya aliran uang yang tidak sah,” tegasnya.

Selain persoalan pendanaan, KPK juga menyoroti masalah mendasar lain dalam tubuh partai politik, khususnya lemahnya integrasi antara proses rekrutmen dan kaderisasi. Kondisi ini dinilai memicu praktik mahar politik.

Budi menekankan, lemahnya sistem kaderisasi juga berdampak pada munculnya kecenderungan bahwa hanya kader dengan kekuatan finansial dan popularitas tinggi yang memiliki peluang maju dalam kontestasi politik.

“Permasalahan mendasar lainnya adalah lemahnya integrasi rekrutmen dengan kaderisasi yang memicu adanya mahar politik, tingginya kader yang berpindah-pindah antarparpol, serta kandidasi hanya berdasarkan kekuatan finansial dan popularitas,” tuturnya.

Lebih lanjut, Budi menyampaikan bahwa Direktorat Monitoring KPK saat ini tengah melakukan kajian mendalam terkait persoalan pendanaan dan rekrutmen politik tersebut. Hasil kajian akan disampaikan kepada para pemangku kepentingan sebagai rekomendasi perbaikan sistem.

“KPK melalui Direktorat Monitoring masih berproses untuk melengkapi kajian ini, dan nantinya akan menyampaikan rekomendasi perbaikannya kepada para pemangku kepentingan terkait, sebagai upaya pencegahan korupsi,” tegasnya.

Diketahui, Ardito Wijaya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa. Dalam perkara tersebut, ia diduga menerima suap sebesar Rp 5,75 miliar.

Uang haram yang diterima Ardito Wijaya dari pengadaan barang dan jasa di wilayahnya dibayarkan untuk membayar utang di bank senilai Rp 5,25 miliar.

Utang miliaran rupiah itu diduga untuk membiayai kampanye Ardito Wijaya saat mencalonkan diri sebagai Bupati Lampung Tengah pada Pilkada 2024.

"Pelunasan pinjaman bank yang digunakan untuk kebutuhan kampanye di tahun 2024 sebesar Rp 5,25 miliar," ungkap Plh Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Mungky Hadipratikto, dalam konferensi pers, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (11/12).

Setelah pembayaran utang sejumlah Rp 5,25 miliar, lanjut Mungky, sisa dari penerimaan suap itu digunakan untuk dana operasional Bupati. "Dana operasional Bupati sebesar Rp 500 juta," tegasnya.

Penerimaan uang itu muncul setelah Ardito Wijaya mematok fee sebesar 15-20 persen, dari setiap proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab Lampung Tengah. 

Jeratan tersangka diberikan setelah Ardito terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, pada Rabu (10/12). Ardito menyandang status tersangka bersama empat pihak lainnya.

Mereka di antaranya Riki Hendra Saputra (RHS), Anggota DPRD Lampung Tengah; Ranu Hari Prasetyo (RHP), adik Bupati Lampung Tengah; Anton Wibowo (ANW), Plt Kepala Badan Pendapatan Daerah Lampung Tengah; dan Mohamad Lukman Samsuri (MLS), Direktur PT Elkaka Mandiri.

Atas perbuatannya, Ardito, Anton, Riki, dan Ranu disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 atau Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara, Mohamad Lukman Samsuri disangkakan melanggar ketentuan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Editor: Bayu Putra

Tag:  #milar #jatah #preman #bupati #lampung #tengah #untuk #bayar #utang #kampanye #sorot #biaya #politik #mahal

KOMENTAR