Polemik Baru Pemilihan Kapolri: Perlukah DPR Dilibatkan?
Mantan Kapolri Jenderal (Purn) Da'i Bachtiar dalam jumpa pers usai PP Polri bertemu Komisi Percepatan Reformasi Polri di Gedung Kemensetneg, Jakarta Pusat, Rabu (10/12/2025). (KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA)
05:46
12 Desember 2025

Polemik Baru Pemilihan Kapolri: Perlukah DPR Dilibatkan?

- Wacana pemilihan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) tanpa melewati mekanisme uji kelayakan atau kepatutan (fit and proper test) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menjadi perbincangan publik.

Usulan ini pertama kali disuarakan oleh Pusat Purnawirawan (PP) Polri usai bertemu dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri, pada Rabu (10/12/2025).

Mantan Kapolri Jenderal (Purn) Da'i Bachtiar mengusulkan agar Presiden dapat langsung menunjuk Kapolri tanpa perlu persetujuan dari DPR.

"Yang tadi disinggung adalah bahwa pemilihan Kapolri itu kan Presiden toh, hak prerogatifnya Presiden. Tetapi, Presiden harus mengirimkan ke DPR untuk minta persetujuan. Nah, ini juga jadi pertanyaan. Apakah masih perlu aturan itu?" ujar Da'i, di Gedung Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg), Jakarta Pusat, Rabu (10/12/2025).

"Tidakkah sepenuhnya kewenangan prerogatif dari seorang Presiden memilih calon Kapolri dari persyaratan yang dipenuhi dari Polri itu sendiri? Tidak perlu membawa kepada forum politik gitu, melalui DPR," sambung dia.

Jika Kapolri memerlukan persetujuan dari DPR, ia khawatir orang nomor satu di kepolisian itu akan memikul beban balas jasa.

Sebab, selama ini, calon Kapolri yang dipilih Presiden harus melalui fit and proper test di DPR terlebih dahulu.

Jika disetujui, barulah nama calon Kapolri dikembalikan ke Presiden.

"Ini dikhawatirkan ada beban-beban yang dihadapi oleh si Kapolri ini setelah milih, karena mungkin ada balas jasa dan sebagainya di forum persetujuan itu. Walaupun tujuannya baik ya, kontrol kepada kekuasaan prerogatif dari Presiden," ujar Da'i.

Polisi tak boleh dipengaruhi kepentingan politik

Menanggapi usulan tersebut, Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie menekankan, polisi tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan politik maupun ekonomi.

Oleh karena itu, Jimly meyakini akan ada perubahan aturan mengenai pemilihan Kapolri, di mana Presiden bisa memilih langsung tanpa harus melalui proses di DPR.

"Termasuk isu polisi, jangan sampai ke depan itu banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik. Dan juga kepentingan ekonomi," kata Jimly, usai Komisi Percepatan Reformasi Polri berdiskusi dengan para mantan Kapolri, Rabu.

Jimly menyampaikan, polisi harus betul-betul menjadi aparatur demi kepentingan rakyat.

Dia menegaskan, polisi harus berada di garda terdepan dalam menjaga hidup yang adil dan damai.

"Jadi, antara negara dengan masyarakat, bisnis, politik, betul-betul polisi itu garda terdepan untuk hidup damai, aman, damai, dan adil. Jadi dia keamanan, dia juga pintu untuk penegak keadilan," ucap dia.

Untuk itu, Jimly mengindikasikan Kapolri ke depannya bisa langsung ditunjuk Presiden tanpa harus menjalani proses politik di DPR.

"Nah, jadi, saya rasa salah satu yang saudara tanya itu kemungkinan, alaupun belum kami buat keputusan resmi. Tapi kira-kira ada kemungkinan ke arah itu," imbuh Jimly.

Perlu perbaikan mekanisme pemilihan Kapolri

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai, perlu adanya perbaikan mekanisme pemilihan Kapolri supaya tidak menjadi ruang transaksi dan kepentingan politik.

Namun, ia mendorong perubahan sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan membatasi kewenangan presiden yang selama ini memegang hak prerogatif dalam penunjukan Kapolri.

Menurut Isnur, model pemilihan Kapolri yang berlaku saat ini membuka peluang terjadinya penunjukan sepihak tanpa uji publik yang memadai.

“Selama ini pemilihannya prerogatif presiden. Nah, ini berbahaya karena bisa saja asal tunjuk, suka-suka dia. Akhirnya jadi politis,” kata Isnur, kepada Kompas.com, Kamis (11/12/2025).

Isnur mendorong penguatan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) agar berfungsi seperti Komisi Yudisial (KY) yang memiliki kewenangan untuk memilih Hakim Agung.

Kompolnas dinilai perlu diberi kewenangan besar untuk melakukan seleksi, menilai rekam jejak, serta menguji kandidat Kapolri secara terbuka.

Track record, masa lalu, dan kualitasnya harus diuji publik secara terbuka sehingga masyarakat tahu siapa saja calonnya,” kata dia.

Batasi masa jabatan

Isnur juga mengusulkan adanya pembatasan masa jabatan Kapolri untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan serta tarik-menarik politik.

Ia menilai, masa jabatan ideal adalah dua tahun dan dapat diperpanjang satu tahun.

“Kalau masa jabatan terlalu panjang, akhirnya dia bermain politik. Masuk tahun pemilu, dia bisa mendukung calon presiden tertentu,” ujar dia.

Di sisi lain, Isnur menilai, proses keterlibatan DPR melalui uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test secara konsep sebenarnya baik sebagai bentuk check and balances.

Namun, praktiknya selama ini, kata dia, tidak berjalan optimal.

“DPR tidak melakukan fit and proper test dengan baik, formalitas, pura-pura saja. Jadi ajang kontestasi kepentingan,” tutur dia.

Isnur menegaskan bahwa reformasi sistem politik menjadi hal yang mendesak agar pemilihan Kapolri bebas dari intervensi politik.

“Jangan sampai DPR menjadi alat kepentingan politik. Fit and proper test harus dilakukan demi kepentingan check and balances yang terbaik,” kata Isnur.

Rekam jejak jadi prioritas

Menanggapi wacana pemilihan Kapolri tanpa melalui tes di DPR, Komisioner Kompolnas Choirul Anam atau Cak Anam menekankan agar pemilihan calon Kapolri tetap mengedepankan rekam jejak dan profesionalisme.

"Bagaimana Kompolnas sendiri, kalau bagi Kompolnas yang paling penting adalah memastikan bahwa pemilihan Kapolri itu dijamin mekanismenya, mekanisme profesional dan mekanisme yang berbasis keahlian, dan berbasis rekam jejak, itu yang paling penting," kata Anam, kepada Kompas.com, Kamis.

Perdebatan itu, kata dia, terutama berkisar pada dua pandangan besar dalam mekanisme pemilihan Kapolri.

"Dua pandangan, kalau di presiden lebih firm, kalau melibatkan DPR ya checks and balances, perdebatannya di situ," ungkap dia.

Terlepas dari perdebatan mengenai kewenangan presiden atau DPR, Kompolnas menekankan bahwa yang paling penting adalah jaminan proses pemilihan Kapolri berjalan secara profesional.

Ia menegaskan bahwa reformasi kepolisian hanya dapat berjalan jika proses pengisian jabatan Kapolri terbebas dari kepentingan di luar tubuh Polri.

"Jadi, yang paling penting itu sebenarnya gagasan kenapa kok ada diskusi soal pemilihan Kapolri, apakah melibatkan DPR ataukah cukup dengan presiden, itu intinya adalah memastikan bahwa pemilihan Kapolri itu berdasarkan rekam jejak yang bagus, dan menghindari berbagai hal di luar kepentingan kepolisian," tutur dia.

DPR tekankan pengawasan

Anggota Komisi III DPR Soedeson Tandra mengingatkan soal tujuan uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test terhadap calon Kapolri yang diusulkan presiden.

"Apa sih tujuannya calon Kapolri itu di fit and proper test? Ya, tujuannya karena kita DPR itu adalah lembaga pengawasan, maka ya kita mengawasi sejak dari awal, termasuk calon Kapolrinya. Ya kan begitu," kata Tandra, saat dihubungi, Rabu (10/12/2025).

DPR, kata Tandra, memiliki fungsi sebagai pengawas, termasuk dalam hal persetujuan terhadap calon Kapolri yang diusulkan presiden.

Fit and proper test terhadap calon Kapolri yang dilakukan Komisi III juga merujuk dasar hukum yang mengatur hal tersebut, misalnya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau TAP MPR.

"Jadi, semua usulan itu bagi kita sah-sah saja. Tapi kan kita ini harus lihat dasar hukumnya. Kan gitu kan," kata Tandra.

"Kita ikut aturannya, Undang-Undang Dasar dan TAP MPR," sambung dia.

Lantas, bagaimanakah mekanisme penunjukan hingga pengangkatan Kapolri selama ini?

Berikut rangkumannya dari Kompas.com:

Mekanisme Pengangkatan Kapolri diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Dalam Pasal 11 ayat (1) undang-undang tersebut, dijelaskan bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan dari DPR.

"Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat," bunyi Pasal 11 ayat (1) UU Polri.

"Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya," bunyi Pasal 11 ayat (2) UU Polri.

Setelah Presiden mengusulkan nama calon Kapolri, Komisi III DPR akan menggelar fit and proper test terhadap sosok tersebut.

"Persetujuan atau penolakan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap usul Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat," bunyi Pasal 11 ayat (3) UU Polri.

Jika calon yang diusulkan Presiden disepakati oleh Komisi III, nama tersebut akan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR dan diserahkan kembali ke Presiden untuk pelantikannya.

"Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), calon yang diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat," bunyi Pasal 11 ayat (4) UU Polri.

Tag:  #polemik #baru #pemilihan #kapolri #perlukah #dilibatkan

KOMENTAR