Kedaulatan yang Tergadai di Morowali
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025). Rapat tertutup tersebut beragendakan pembahasan peran KODAM baru, Brigif TP dan Yonif TP dalam memperkuat stabilitas pertahanan dalam mendukung kesejahteraan rakyat. (ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha)
15:26
25 November 2025

Kedaulatan yang Tergadai di Morowali

PERNYATAAN Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengenai adanya bandara tanpa perangkat negara di Indonesia, bukan sekadar isu sesaat (Cnnindonesia.com).

Belakangan disorot tajam terkait fasilitas bandara di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).

Kabar buruk ini telah menyedot perhatian publik dan menimbulkan kegusaran luas serta berpotensi menjelma erosi kepercayaan publik kepada pemerintah.

Ini adalah sinyal darurat bagi tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan kedaulatan negara yang telah diabaikan secara sistematis.

Isu ini melampaui kelalaian administrasi; ini adalah cerminan kegagalan struktural yang telah mengakar lama, mencerminkan adanya “kebocoran” strategis seperti yang dikhawatirkan oleh peneliti ISDS, Edna Caroline (Forum Keadilan TV)

Analisis kritis ini, diperkuat oleh kerangka Teori Kolaborasi Multi-Aktor/Collaborative Governance (Ansell & Gash, 2008) dan prinsip Birokrasi Rasional-Legal Max Weber (1978), menunjukkan bahwa pembiaran ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi.

Negara telah memilih untuk menundukkan otoritasnya, bahkan menggadaikan kedaulatan fisiknya, demi kecepatan investasi, membayar biaya kedaulatan (cost of sovereignty) yang tak terhitung mahalnya dan merusak fondasi tatanan hukum nasional.

Negara seolah tunduk pada kehendak oligarki yang beroperasi sebagai negara di dalam negara.

Manipulasi dan erosi pilar hukum

Kegagalan paling fundamental dalam kasus bandara swasta ini terletak pada erosi kepastian hukum (rule of law) yang total dan runtuhnya birokrasi rasional-legal Weberian.

Prinsip Weber menekankan bahwa otoritas sah (legitimate authority) harus didirikan di atas aturan hukum, menjadikan birokrasi sebagai instrumen netral yang efisien dalam menegakkan hukum secara adil dan merata.

Namun, di Morowali, landasan hukum Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang secara tegas mengamanatkan asas kedaulatan negara (Pasal 2), secara eksplisit dilanggar.

Kepatuhan terhadap prosedur CIQ (Customs, Immigration, Quarantine), yang merupakan penjelmaan kedaulatan di perbatasan, diabaikan total. Ketiadaan perangkat negara berarti bahwa wibawa hukum negara telah dinetralkan di area strategis tersebut.

Kementerian/lembaga terkait, seperti Bea Cukai dan Imigrasi, telah secara sadar atau tidak sadar mengosongkan kekuasaan kedaulatan ini, menciptakan dualisme hukum yang eksplisit: hukum berlaku keras dan tajam untuk masyarakat bawah, tetapi hukum menjadi tumpul dan impoten di hadapan kekuatan ekonomi besar korporasi.

Situasi ini adalah perwujudan kegagalan Teori Kolaborasi Multi-Aktor yang diungkap Ansell dan Gash.

Kolaborasi yang ideal seharusnya melibatkan pemangku kepentingan non-negara dalam proses pengambilan keputusan yang berorientasi konsensus demi tujuan kebijakan publik (Easton, 2017).

Namun, realitas di Morowali menunjukkan adanya kolaborasi yang disfungsional yang bermutasi menjadi manipulasi otoritas.

Ansell dan Gash secara tegas memperingatkan bahwa apabila sumber daya dan kekuatan tidak seimbang, kerja sama akan dimanipulasi oleh stakeholder yang kuat. Di sini, kekuatan modal besar korporasi telah mendominasi narasi dan implementasi di lapangan.

Pemerintah, yang seharusnya menjadi stakeholder terkuat pemegang kedaulatan, justru gagal menjalankan peran regulatifnya, bahkan tampak menarik diri dari medan kedaulatan.

Hal ini menciptakan ruang bagi korporasi untuk beroperasi sebagai entitas yang kebal hukum di dalam wilayah negara sendiri.

Kegagalan mendasar ini membuktikan bahwa cost of sovereignty telah diabaikan demi dalih jalur cepat invetasi, pilihan kebijakan yang merusak fondasi negara hukum.

Hilangnya akuntabilitas, transparansi dan korupsi struktural

Erosi Kepastian Hukum yang dipicu oleh kolaborasi disfungsional ini secara langsung dan telak menyebabkan hilangnya pilar akuntabilitas dan transparansi dalam good governance (UNDP, 1997).

Ketiadaan pengawasan oleh perangkat CIQ mengubah bandara swasta menjadi “lubang hitam” (black hole) ekonomi yang secara inheren tidak dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel).

Kementerian Keuangan (Bea Cukai) kehilangan kontrol vital atas lalu lintas ekspor-impor, membuka celah lebar untuk manipulasi harga (transfer pricing) dan penyelundupan volume, yang secara sistematis menggerus Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penerimaan pajak.

Angka-angka kerugian negara berpotensi sangat besar dan bersifat berkelanjutan. Demikian pula, Imigrasi gagal mengamankan pintu masuk kedaulatan ketenagakerjaan, berpotensi melanggar kuota tenaga kerja asing (TKA) dan mengganggu pasar kerja lokal.

Situasi ini semakin diperparah dengan rendahnya Transparansi. Operasional bandara tanpa pengawasan negara bersifat tertutup, memicu budaya pembiaran (cultural negligence) yang akut dan indikasi kuat adanya potensi kolusi antara oknum pemerintah di berbagai tingkatan dengan pihak korporasi.

Ketiadaan kantor resmi dan personel CIQ selama bertahun-tahun di fasilitas strategis mengindikasikan kelemahan integritas nasional yang memungkinkan praktik gelap berakar.

Dalam konteks good governance, pembiaran pelanggaran hukum di fasilitas strategis adalah bentuk korupsi struktural yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar korupsi uang, karena merusak fondasi tata kelola dan runtuhnya wibawa negara.

Pemerintah, sebagai pemegang amanat rakyat (Easton, 2017), telah gagal dalam menyeimbangkan kebutuhan investasi dengan penegakan kedaulatan, yang pada akhirnya justru menghambat tercapainya target penerimaan negara dan perbaikan tax ratio.

Publik perlu menyerukan tuntutan kritisnya kepada negara yang tak ternegosiasikan. Pernyataan Menhan harus segera ditindaklanjuti dengan menggelar audit kedaulatan menyeluruh.

Pemerintah wajib mengharuskan penempatan permanen unit CIQ berkekuatan penuh dengan biaya operasional dibebankan kepada pengelola bandara sesuai regulasi yang berlaku.

Sementara, kegagalan untuk bertindak tegas, cepat dan tanpa kompromi akan mengkonfirmasi pandangan publik bahwa negara telah secara definitif tunduk pada kepentingan korporasi, sehingga semakin memperburuk good governance dan mengukuhkan status quo dalam arena kedaulatan yang telah terkikis.

Tag:  #kedaulatan #yang #tergadai #morowali

KOMENTAR