Menuju Pendidikan Digital, Kesehatan Mental Jadi Harga yang Harus Dibayar
- Ada harga yang harus dibayar dalam mewujudkan pendidikan digital: Kesehatan mental anak.
Transformasi digital dalam dunia pendidikan membawa harapan besar akan akses belajar yang lebih luas, materi yang lebih interaktif, serta peluang pengembangan diri yang tidak dibatasi ruang dan waktu.
Gadget, platform belajar daring, hingga kecerdasan buatan kini menjadi bagian dari ruang kelas modern.
Namun, di balik kemudahan dan inovasi tersebut, ada dinamika baru yang turut membentuk pola pikir, emosi, dan perilaku anak.
Perubahan cepat ini tidak hanya menuntut adaptasi akademik, tetapi juga kesiapan psikologis.
Anak-anak yang tumbuh di era digital menghadapi paparan konten tanpa batas, tekanan sosial dari media, serta pola interaksi yang semakin minim kontak emosional langsung.
Hal-hal tersebut dapat memengaruhi perkembangan emosi, empati, hingga kemampuan mengelola stres.
Akibatnya, di tengah kemajuan teknologi, muncul tantangan baru berupa kesehatan mental si anak, meliputi gejala agresivitas, kecemasan, dan perilaku impulsif pada sebagian anak.
Ketika proses belajar berubah drastis mengikuti perkembangan teknologi, anak-anak ikut membawa beban adaptasi yang besar.
Tanpa pendampingan yang tepat dari guru, orang tua, dan sekolah, transformasi digital yang seharusnya menjadi peluang justru dapat menyisakan dampak emosional yang panjang.
Ekses kesehatan mental anak tentu harus dibayar dengan solusi dan mitigasi yang jitu.
Dampak digitalisasi pendidikan
Dilansir tulisan ilmiah berjudul Pengaruh Penggunaan Teknologi Pembelajaran terhadap Prestasi Belajar Siswa di Sekolah Menengah (2023) karya Hilda Nathaniela dan Nadya Saphira, penggunaan teknologi pembelajaran memberikan dampak yang signifikan terhadap proses pembelajaran dan prestasi belajar siswa.
Namun, ada juga dampak negatif seperti potensi kecanduan digital, distraksi, kesenjangan akses di daerah terpencil, serta potensi berkurangnya apresiasi terhadap nilai kearifan lokal jika tidak diintegrasikan dengan baik
Psikolog dari Universitas Indonesia, A Kasandra Putranto, mengatakan dampak negatif berupa kecanduan digital dapat mempengaruhi perkembangan otak dan kondisi psikologis remaja.
"Hasil penelitian yang dilakukan oleh pusat pemetaan otak UCLA 2016, mereka menemukan bahwa daerah tertentu dari otak remaja menjadi lebih aktif karena media sosial, sehingga menyebabkan mereka ingin menggunakan media sosial lebih banyak," kata Kasandra mengutip ANTARA.
Lebih dari itu dampak negatif dari adiksi dari kecanduan digital bisa menyebabkan remaja kurang tidur karena terlalu banyak menggunakan media sosial di malam hari, sehingga tidak mampu menunjukkan prestasi yang baik di sekolah. Bahkan, mereka juga mengalami peningkatan risiko masalah kesehatan mental.
"Sebuah studi tahun 2019 menemukan bahwa anak muda yang menghabiskan lebih dari tiga jam di media sosial mungkin memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan," imbuh Kasandra.
Mendikdasmen bicara dampak positif dan negatif
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti, mengatakan bahwa pihaknya terus melakukan adaptasi teknologi.
Namun, dia tidak menampik fakta bahwa teknologi digital memiliki dampak positif dan negatif, yakni helpful dan harmful.
“Di satu sisi teknologi memiliki dampak yang positif, tapi pada sisi yang lain, teknologi itu juga berdampak negatif atau harmful,” kata Mu’ti di Jakarta, Senin (24/11/2025).
“Sekarang kita melihat berbagai problem pembelajaran seperti attention span (rentang perhatian) yang sangat pendek, lahirnya generasi yang ingin serba instan menjadi tantangan nyata yang tidak bisa kita pandang sebelah mata,” ujar dia.
Dia juga menyoroti dampak negatif dari teknologi, seperti attention span, kecenderungan instan, hingga masalah kesehatan mental semakin terlihat.
Mu’ti mengatakan bahwa generasi digital saat ini rentan menjadi generasi cemas dan rapuh secara mental.
Karena itu, ia menekankan pentingnya pendampingan dan literasi digital.
“Banyak penelitian menunjukkan generasi muda kita ini menjadi generasi yang fragile (rapuh), generasi yang mungkin physically strong, secara fisik mereka itu sangat kuat, tapi mentally mereka sangat fragile,” tambahnya.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti saat ditemui di Jakarta Pusat, Selasa (11/11/2025).
Maka dari itu, ketika digitalisasi mulai diperkenalkan kepada anak, penting melakukan intervensi psikologis yang tepat agar dampak negatif dari paparan digital tidak menyebabkan berbagai masalah.
Dalam hal ini orang tua dan lingkungan memiliki peran yang penting.
“Penelitian menunjukkan bahwa kondisi rumah dan pola asuh jauh lebih kuat pengaruhnya dibandingkan media. Pengaruh teman sebaya dan budaya sekolah juga berperan besar,” tuturnya.
Kurikulum
Mu’ti menegaskan bahwa pihaknya juga memperbarui model kurikulum agar sesuai dengan adaptasi perkembangan zaman.
Pihaknya mengadopsi kebijakan pembelajaran mendalam (deep learning) yang menekankan pada kualitas pemahaman, bukan banyaknya materi. Konsep ini diterapkan melalui lean learning, dimana materi lebih sedikit, namun fundamental dan aplikatif.
“Belajar itu tidak diukur dari how much we learn, tetapi how well we learn,” kata Mu’ti.
Mu’ti bilang, metode ini mengintegrasikan ilmu dan praktik nyata, selaras dengan model negara-negara maju.
Ia mencontohkan kurikulum Singapura yang mengusung konsep “lebih sedikit justru punya nilai lebih” atau “less is more”.
Pembelajaran juga mendorong murid menjadi pembentuk pengetahuan, bukan sekadar konsumen pengetahuan. Teknologi digunakan untuk memperkaya materi melalui perangkat digital.
Mu’ti menyebut bahwa kebijakan Presiden Prabowo Subianto tentang digitalisasi pembelajaran adalah langkah revolusioner. Setiap sekolah akan dilengkapi Interactive Flat Panel (IFP) berisi materi digital interaktif.
“IFP berisi materi-materi pelajaran digital, materi-materi pelajaran yang bisa diakses, bisa diunduh dari berbagai device teknologi,” ujarnya.
Pendidikan digital percepat kualitas SDM
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid mengatakan bahwa pendidikan digital sebagai langkah kunci untuk memastikan anak Indonesia tumbuh dengan kemampuan digital dasar yang kuat dan setara di seluruh wilayah.
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menegaskan, percepatan penyediaan konektivitas stabil dan konten digital pendidikan sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kualitas SDM sejak usia anak.
Agenda ini selaras dengan arahan Presiden Prabowo Subianto yang menempatkan digitalisasi pendidikan sebagai fondasi peningkatan kompetensi generasi muda.
“Dengan semangat arahan Bapak Presiden, Kemkomdigi menjadikan konektivitas dan konten digital pendidikan sebagai bagian dari upaya nasional meningkatkan SDM sejak usia anak,” ujarnya pekan lalu.
Internet murah
Meutya Menteri menyebut target percepatan jaringan tetap berbasis fiber to the home (FTTH) dan fixed wireless access (FWA) sebagai fondasi utama pembelajaran digital.
Dia tetap menekankan pentingnya internet yang aman, stabil, dan merata agar transformasi pembelajaran digital berjalan efektif.
Hal ini sejalan dengan PP Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak atau PP TUNAS yang mengamanatkan ruang digital ramah anak.
“Ini upaya mendukung literasi digital pelajar, mendorong implementasi PP TUNAS di tingkat keluarga dan sekolah. FTTH dan FWA tahun depan kita targetkan 30 persen rumah memiliki koneksi tetap, karena penting untuk pendidikan dimana kita memerlukan koneksi yang lebih secure dan lebih stabil,” ucapnya.
Perluasan layanan juga diarahkan ke kelompok masyarakat menengah ke bawah yang jumlahnya mencapai 34,5 juta rumah tangga serta 2,8 juta rumah tangga di segmen keluarga berpendapatan rendah dengan pengeluaran telekomunikasi 17.000 sampai 180.000 per bulan.
Kelompok ini memiliki kebutuhan internet tinggi namun terbatas daya beli.
“Karena harga internet saat ini mahal, rumah-rumah ini tidak terhubung, tapi skalanya besar. Jadi kalau (harga internet) murah, kan dapat skala yang besar, mudah-mudahan tidak hanya baik untuk masyarakat, tapi buat industri,” tegas Meutya.
Tag: #menuju #pendidikan #digital #kesehatan #mental #jadi #harga #yang #harus #dibayar