Hukuman, Disparitas, dan Krisis Kepercayaan Publik
TIDAK ada yang lebih menghancurkan kewibawaan negara selain ketika pengadilan—institusi yang kita percayakan sebagai penjaga keadilan—masuk ke dalam pusaran korupsi.
Ketika mantan hakim yang pernah menjadi simbol integritas kini duduk di kursi terdakwa kasus suap, masyarakat tidak hanya menyaksikan pelanggaran hukum, tetapi juga retaknya etika profesi dan goyahnya otoritas moral lembaga peradilan.
Kasus suap vonis lepas tiga korporasi besar CPO yang menyeret lima mantan hakim dan pejabat pengadilan kini memasuki babak akhir.
Namun, yang justru menyita perhatian publik bukan sekadar tuntutan jaksa, melainkan protes keras para terdakwa—semua mantan hakim—yang menilai hukuman yang dituntutkan kepada mereka “tidak adil”, “tidak manusiawi”, dan “tidak memperhitungkan pengembalian uang suap serta sikap kooperatif”.
Pertanyaan penting muncul: bagaimana mungkin institusi peradilan berharap masyarakat percaya jika pihak yang pernah menjaga hukum kini mengajukan pembelaan atas dasar rasa keadilan yang selama ini seharusnya mereka tegakkan?
Dalam dupliknya, Muhammad Arif Nuryanta menilai tuntutan 15 tahun penjara yang dijatuhkan jaksa kepada dirinya tidak sebanding dengan kasus lain.
Ia membandingkan dengan tuntutan terhadap eks Ketua PN Surabaya, Rudi Suparmono, yang hanya dituntut 7 tahun meskipun didakwa dua pasal, sedangkan dirinya dituntut 15 tahun dengan satu pasal dakwaan.
Argumen disparitas hukuman memang menarik sebagai kritik terhadap konsistensi penegakan hukum. Namun, nada “permintaan keadilan” menjadi paradoks ketika datang dari pihak yang justru tersandung kasus suap.
Sebab masyarakat mengingat betul: setiap hari para hakim memutus nasib terdakwa korupsi tanpa pernah memberikan ruang luas bagi pembelaan bahwa terdakwa “merasa hukumannya tidak manusiawi”.
Disparitas dalam penjatuhan hukuman memang problem struktural. Namun, menjadikan disparitas sebagai alasan pembelaan diri tidak mengubah fakta bahwa pengadilan korupsi kembali dinodai oleh orang yang seharusnya menjadi benteng keadilan.
Di titik ini, publik tidak melihat disparitas sebagai isu utama; publik melihat pengkhianatan terhadap amanah jabatan.
Poin lain yang dipersoalkan terdakwa adalah bahwa pengembalian uang suap seharusnya diperhitungkan sebagai hal meringankan.
Mereka berargumen bahwa pedoman penuntutan Tipikor menempatkan pengembalian kerugian negara sebagai faktor pengurang hukuman.
Secara normatif, benar. Namun, pengembalian uang suap kerap dilakukan setelah pelaku ditangkap, bukan ketika suap diterima. Ini jelas bukan langkah penyesalan moral, melainkan kalkulasi hukum: mengurangi ancaman hukuman, bukan mencegah kejahatan.
Ketika seorang hakim berupaya memperoleh keringanan hukuman hanya karena “telah mengembalikan uang”, masyarakat diingatkan pada ironi: selama menjadi hakim, mereka tidak pernah menurunkan hukuman terdakwa korupsi hanya karena pelaku “mengembalikan kerugian negara dengan sukarela”. Kini mereka menuntut standar yang tidak pernah mereka terapkan.
Di sinilah kritik etik berada: pembelaan bukan untuk memperjuangkan keadilan substantif, tetapi untuk menegosiasikan hukuman.
Para terdakwa menilai sikap kooperatif—mengakui perbuatan, membuka aliran suap, dan membantu mengungkap pihak lain—seharusnya dipertimbangkan secara signifikan.
Argumen ini juga sah secara normatif. Namun, kita tidak bisa menutup mata pada konteks: seorang hakim hanya “kooperatif” setelah operasi penegakan hukum menutup ruang untuk mengelak.
Masyarakat tentu tidak melupakan: selama korupsi dilakukan, semuanya terjadi dalam diam, dalam rapat tertutup, dalam ruang sidang yang seharusnya menjadi lokasi sakral penegakan keadilan. Yang dibuka sekarang hanyalah apa yang tidak mungkin lagi disembunyikan.
Kooperasi dalam penyidikan hanya berarti sesuatu jika integritas dijaga sebelum kejahatan terjadi, bukan setelah semuanya terbongkar.
Konsekuensi paling serius dari kasus ini bukan hanya pidana penjara yang dijatuhkan kepada lima mantan hakim. Dampak terbesarnya adalah eretannya terhadap moral publik.
Ketika masyarakat membaca berita tentang hakim yang menyuap dan disuap, uang mengalir untuk mengatur putusan, dan protes terdakwa hanya berkisar pada beratnya hukuman, bukan pada penyesalan moral, citra peradilan semakin goyah.
Pengadilan adalah simbol terakhir negara yang dipercaya publik ketika institusi lainnya gagal. Jika simbol ini rusak, maka negara kehilangan pondasi legitimasi moralnya.
Dan kerusakan simbol tidak membutuhkan banyak kasus; cukup satu kasus besar yang mengarah pada kesimpulan bahwa hukum bisa dibeli.
Kepercayaan
Kepercayaan publik terhadap peradilan tidak dibangun oleh vonis satu atau dua hakim. Kepercayaan itu terbangun oleh persepsi bahwa hakim adalah figur yang tidak tunduk pada iming-iming uang, relasi kekuasaan, atau kalkulasi politik.
Karena itu, ketika mantan hakim berdiri di depan persidangan dan berbicara tentang “rasa keadilan”, publik justru tersentak oleh ironi. Keadilan yang mereka minta adalah keadilan yang mereka sakiti.
Di sinilah letak masalahnya: bukan hanya korupsi, tetapi hilangnya standar moral. Hukum dapat dipulihkan dengan putusan. Kepercayaan tidak.
Jika putusan dalam kasus ini akhirnya dijatuhkan dengan sangat ringan, publik akan membaca pesan sederhana: Tidak ada alasan takut bagi hakim yang korup.
Namun, jika hukuman dijatuhkan secara tegas dan konsisten, pesan yang dibaca masyarakat pun sederhana: Pengkhianatan terhadap jabatan hakim adalah pengkhianatan terbesar terhadap negara.
Putusan yang akan dibacakan pada 3 Desember 2025, akan menguji bukan hanya hakim yang sedang diadili, tetapi marwah kehakiman itu sendiri.
Apakah lembaga peradilan cukup kuat untuk menjatuhkan hukuman yang sebanding dengan kejahatan yang bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi merusak sendi legitimasi hukum?
Saat negara sedang berupaya memperkuat kepercayaan publik terhadap hukum, kasus ini adalah titik kritis.
Jika keadilan bisa dibeli di tangan mereka yang seharusnya menjadi penjaganya, maka demokrasi tidak hanya pincang—demokrasi kehilangan jiwanya.
Peradilan tidak cukup hanya bersih. Peradilan harus tampak bersih. Dan untuk itu, kasus ini harus menjadi pesan yang jelas bahwa korupsi hakim bukan sekadar kejahatan, tetapi pengkhianatan terhadap tujuan tertinggi hukum: keadilan.