Anak-anak Ditarget Jadi Teroris: Bermula dari Broken Home, Direkrut via Game Online
Polri mengungkap pola baru perekrutan anak-anak dan pelajar ke dalam jaringan terorisme yang memanfaatkan ruang digital, mulai dari media sosial hingga game online.
Berdasarkan asesmen Polri, faktor psikologis dan sosial anak juga memengaruhi proses perekrutan, misalnya anak-anak yang kurang perhatian orangtua atau berasal dari keluarga broken home.
“Modus rekrutmen anak dan pelajar dengan memanfaatkan ruang digital, termasuk diantaranya media sosial, game online, aplikasi perpesan instan dan situs-situs tertutup,” kata Karopenmas Polri Brigjen (Pol) Trunoyudo Wisnu Andiko dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Broken home dan korban bullying
Dari hasil asesmen kerentanan, Polri menemukan sejumlah faktor yang membuat anak rentan direkrut kelompok teroris.
Salah satunya, yakni anak korban perundungan (bullying) dan kurang perhatian orangtua atau berasal dari keluarga broken home.
"Dari hasil asesmen kerentanan anak dipengaruhi oleh sejumlah faktor sosial. Seperti apa? diantaranya adalah bullying dalam status sosial broken home dalam keluarga," ujar Trunoyudo.
"Kemudian kurang perhatian keluarga, pencarian identitas jati diri, marginalisasi sosial, serta minimnya kemampuan literasi digital dan pemahaman agama," lanjut dia.
Sebar propaganda
Menurut Trunoyudo, strategi perekrutan dilakukan secara bertahap.
Pada tahap awal, propaganda disebarkan melalui platform terbuka seperti Facebook, Instagram, dan sejumlah game online populer.
Anak-anak yang dinilai potensial kemudian dihubungi melalui platform yang lebih privat dan sulit dilacak, seperti WhatsApp dan Telegram.
“Propaganda didiseminasi dengan menggunakan video pendek, animasi, meme, serta musik yang dikemas menarik untuk membangun kedekatan emosional dan memicu ketertarikan ideologis," kata Trunoyudo.
Konten tersebut sengaja dirancang agar sesuai dengan dunia anak dan remaja karena ringan, visual, dan bersifat persuasif.
Setelah merasa dekat, pelaku mulai memperkenalkan narasi-narasi radikal.
Ratusan anak jadi korban
Hingga saat ini, lima orang perekrut yang berperan dalam menyebarkan paham radikal dan merekrut anak-anak telah ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri.
Mereka adalah FW alias YT (47) ditangkap di Medan, Sumatera Utara (5 Februari 2025), LN (23) ditangkap di Banggai, Sulawesi Tengah, PP alias BMS (37) ditangkap di Sleman, Yogyakarta (22 September 2025), MSPO (18) ditangkap di Tegal, Jawa Tengah (17 November 2025) dan JJS alias BS (19) ditangkap di Agam, Sumatera Barat (17 November 2025).
“Atas peranannya, merekrut dan memengaruhi anak anak tersebut supaya menjadi radikal. Bergabung dengan kelompok terorisme, dan melakukan aksi teror," kata Trunoyudo.
Data Densus 88 menunjukkan, sejauh ini 110 anak berusia 10 hingga 18 tahun di 23 provinsi teridentifikasi sebagai korban perekrutan lima tersangka itu.
Temuan tersebut juga menandakan ada peningkatan jumlah anak yang terseret terorisme.
Pada periode 2011-2017, Densus mencatat hanya 17 anak yang teridentifikasi, tetapi jumlah itu meningkat hingga lebih dari 110 anak pada 2025 saja.
“Artinya kita bisa sama-sama menyimpulkan bahwa ada proses yang sangat masif sekali rekrutmen yang dilakukan melalui media daring," kata Juru Bicara Densus 88 AKBP Mayndra Eka Wardhana.
Anak sebagai korban, bukan pelaku
Densus 88 menegaskan bahwa anak-anak yang direkrut jaringan teroris diperlakukan sebagai korban.
Mereka kini berada dalam pendampingan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), Kementerian Sosial, serta berbagai pemangku kepentingan di pusat dan daerah.
Densus 88 meminta orangtua, guru, dan sekolah meningkatkan kontrol serta deteksi dini terhadap perilaku dan aktivitas daring anak-anak.
“Kita selalu melakukan upaya kontrol, melakukan upaya deteksi, berawal dari rumah tangga, berawal dari rumah itu yang paling efektif ya untuk melakukan pencegahan," tegas Mayndra.
Tag: #anak #anak #ditarget #jadi #teroris #bermula #dari #broken #home #direkrut #game #online