Ini Deretan Pasal Bermasalah dalam KUHAP Baru: Dibongkar Amnesty International Indonesia
- Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) resmi disahkan dalam sidang paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11). KUHAP baru itu berisi 115 halaman yang mencakup 3 BAB dan 369 Pasal.
Namun, pengesahan tersebut menuai kritik tajam dari Amnesty International Indonesia. Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, menyebut revisi KUHAP sebagai suatu kemunduran besar dalam perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
"Pengesahan revisi KUHAP hari ini menandai kemunduran serius dalam komitmen negara terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Alih-alih menjadi tonggak pembaruan hukum acara yang lebih modern dan berkeadilan, revisi ini justru memperlihatkan regresi yang mengkhawatirkan," kata Wirya kepada wartawan, Selasa (18/11).
Menurutnya, terdapat sejumlah pasal bermasalah dalam KUHAP baru. Terlebih, draf KUHAP terakhir menunjukkan bahwa file tersebut dibuat pada Senin (17/11) pukul 18.15 WIB, kurang dari 24 jam sebelum disahkan dalam paripurna DPR.
"DPR baru mengunggah draf KUHAP yang disahkan kurang dari 24 jam sebelum waktu pengesahan. Hal ini tentu sangat menyulitkan terjadinya partisipasi bermakna dengan masyarakat sipil," ujarnya.
Amnesty Internasional yang tergabung ke dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menemukan sejumlah pasal-pasal bermasalah. Menurutnya, banyak ketentuan dalam revisi KUHAP yang membuka ruang penyalahgunaan wewenang aparat, khususnya kepolisian.
Ia menyebut, KUHAP baru memberi kewenangan aparat untuk melakukan penangkapan dan penahanan tanpa persetujuan hakim. Ia menilai ketentuan ini mengulang pola kesewenang-wenangan yang terjadi dalam gelombang penangkapan massal pasca-demonstrasi Agustus 2025.
"Ini adalah pelanggaran terhadap hak atas pembelaan dan peradilan yang adil (fair trial)," tegasnya.
Berikut rincian pasal bermasalah dalam KUHAP baru:
1. Pasal 16 RKUHAP
Pasal itu mengatur Operasi undercover buy (pembelian terselubung) & controlled delivery (pengiriman di bawah pengawasan) yang sebelumnya menjadi kewenangan penyidikan dan hanya untuk tindak pidana khusus yakni narkotika dimasukkan secara serampangan dalam RUU KUHAP.
Dalam RUU KUHAP kewenangan ini masuk ke dalam metode penyelidikan (menciptakan tindak pidana), dan bisa diterapkan untuk semua jenis tindak pidana, tidak punya batasan dan tidak diawasi hakim.
Kewenangan luas tanpa pengawasan ini berpotensi membuka peluang penjebakan (entrapment) oleh aparat penegak hukum untuk menciptakan tindak pidana dan merekayasa siapa pelaku yang memang menjadi tujuan tahap penyelidikan itu sendiri untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana.
2. Pasal 5 RKUHAP
Semua bisa terjerat pidana melalui pasal karet dengan dalih mengamankan khususnya pada tahap penyelidikan yang belum terkonfirmasi ada tidaknya tindak pidana.
Bahkan, jika dibandingkan dengan Pasal 5 KUHAP yang berlaku saat ini, tindakan yang bisa dilakukan pada tahap penyelidikan sangat terbatas, tidak sama sekali diperbolehkan untuk melakukan penahanan.
Namun dalam Pasal 5 RUU KUHAP, pada tahap penyelidikan, dapat dilakukan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan bahkan penahanan, padahal pada tahap ini tindak pidana belum terkonfirmasi.
3. Pasal 90 dan 93 RKUHAP
Upaya paksa penangkapan dan penahanan sebagaimana saat ini membuka lebar ruang kesewenang-wenangan aparat karena tidak ada pengawasan oleh lembaga pengadilan melalui pemeriksaan habeas corpus, serta penyimpangan aturan mengenai masa penangkapan yang terlalu panjang (lebih dari 1×24 jam) dalam undang-undang sektoral di luar KUHAP.
Aspek penting ini juga sama sekali tidak diperbaiki dalam RUU KUHAP (Pasal 90, 93). Tragisnya skema penahanan RUU KUHAP dibuat alternatif antara surat perintah penahanan yang praktiknya bisa dibuat penyidik sendiri atau melalui penetapan hakim. Skema ini terang-terangan mendorong penyidik menghindari pengawasan yudisial (Pasal 93 ayat 1).
4. Pasal 105, 122A, 132A, dan 124
Upaya paksa penggeledahan, penyitaan, dan pemblokiran bisa dilakukan tanpa izin pengadilan dengan alasan keadaan mendesak berdasarkan penilaian subjektif aparat (Pasal 105, 112A, 132A).
RUU KUHAP juga memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa izin hakim dengan dilandaskan pada undang-undang yang bahkan belum terbentuk (Pasal 124).
Akibatnya, negara dapat memasuki ruang-ruang privat (komunikasi dan korepondensi pribadi) dengan semakin leluasa, dengan dalih untuk mengusut tindak pidana namun tidak jelas bagaimana perlindungan terhadap data pribadi yang telah dikuasainya.
5. Pasal 74a, 78, dan 79 RKUHAP
Dalam Pasal 74a RUU KUHAP dijelaskan bahwa kesepakatan damai antara pelaku dan korban dapat dilaksanakan pada tahapan yang belum dipastikan terdapat tindak pidana (penyelidikan). Hal ini sangat dipertanyakan, bagaimana mungkin belum ada tindak pidana namun sudah ada subjek pelaku dan korban?
Selain itu, hasil kesepakatan damai yang ditetapkan oleh pengadilan hanya surat penghentian penyidikan, sedangkan penghentian penyelidikan sama sekali tidak dilaporkan ke otoritas manapun (Pasal 79), ini menjadi ruang gelap di penyelidikan.
RUU KUHAP gagal menjamin sistem check and balance oleh pengadilan dalam mekanisme keadilan restoratif (Restorative Justice/RJ) karena penetapan hakim untuk penghentian penyidikan hanya akan dianggap stempel, tanpa memandatkan kepada hakim untuk melakukan pemeriksaan secara substansial (judicial scrutiny) dan memberikan opsi menolak untuk menetapkan kesepakatan RJ yang tidak sesuai ketentuan, termasuk jika ada indikasi pemaksaan, pemerasan, atau penyalahgunaan lainnya oleh aparat (Pasal 78, 79).
6. Pasal 7 dan 8 RKUHAP
Semua PPNS dan Penyidik Khusus diletakkan di bawah koordinasi Polisi. Hal ini menjadikan Polri lembaga superpower dengan kontrol yang sangat besar (Pasal 7 dan Pasal 8).
Padahal selama ini mestinya polisi yang harus diawasi. Kepolisian masih memiliki banyak catatan masalah maladministrasi namun juga penyalahgunaan kewenangan, seperti beban tunggakan penyelesaian perkara setiap tahunnya dan belum optimal dalam menindaklanjuti laporan masyarakat untuk mengusut tindak pidana, praktik kriminalisasi, dsb.
Selain itu, pasal-pasal yang menyangkut pemenuhan bantuan hukum dipengaruhi oleh ancaman pidana. Padahal seharusnya bantuan hukum merupakan hak yang tidak melihat latar belakang kasus maupun ancaman hukuman.
7. Pasal 137A RKUHAP
Pasal-pasal dalam RKUHAP masih bersifat ableistik karena tidak mewajibkan penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, sehingga proses hukum berpotensi berjalan secara tidak setara dan diskriminatif. Pasal 137A membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual, dan secara implisit menempatkan keduanya sebagai pihak tanpa kapasitas hukum.
Pasal ini berpotensi melegitimasi perampasan kemerdekaan dan pengurungan sewenang-wenang (arbitrary detention), karena penjatuhan sanksi tidak diposisikan sebagai putusan pidana sehingga tidak memiliki standar jelas terkait batas waktu, mekanisme pengawasan, maupun penghentian tindakan.
Tag: #deretan #pasal #bermasalah #dalam #kuhap #baru #dibongkar #amnesty #international #indonesia