Khawatir Komnas HAM Dihapus Lewat Revisi UU HAM, Anis Hidayah Catat 21 Pasal Krusial
- Komnas HAM mengkritisi adanya potensi ancaman independensi Komnas HAM.
- Anies mengatakan penanganan pelanggaran HAM oleh Kementerian HAM tidak dapat dibenarkan karena kementerian bagian dari pemerintah.
- Pembatasan kewenangan akan menutup ruang bagi Komnas HAM untuk berkolaborasi dengan lembaga HAM di negara lain.
Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, khawatir ada upaya menghapus keberadaan Komnas HAM lewat revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ia mencatat ada 21 pasal krusial di dalam draf yang berpotensi melemahkan kewenangan Komnas HAM sebagai lembaga independen.
Catatan itu disampaikan Anis melalui keterangan video resmi yang tayang di YouTube Humas Komnas HAM RI, dikutip Senin (17/11/2025).
Anis menyebutkan pasal-pasal krusial yang sudah disusun oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian HAM baik itu menyangkut norma kelembagaan, kelembagaan menyangkut kewenangan, baik itu kewenangan pemerintah maupun kewenangan Komnas HAM sebagai lembaga independen.
Beberapa pasal tersebut, antara lain pasal 1, pasal 10, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 83, hingga Pasal 85. Kemudian Pasal 87, Pasal 100, Pasal 102 hingga Pasal 104. Berikutnya Pasal 109 dan Pasal 27.
Hal pertama yang menjadi kritik dari Komnas HAM terhadap draf revisi UU HAM yang disusun pemerintha adalah terkait dengan kewenangan Komnas HAM sebagai lembaga independen.
Undang-Undang Nomor 39 tahun 99 tentang HAM telah ditetapkan bahwa Komnas HAM memiliki tugas dan kewenangan untuk melakukan pendidikan dan penyuluhan hak asasi manusia, kajian dan penelitian HAM, pemantauan dan penyelidikan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan mediasi hak asasi manusia.
Sementara, di dalam draf revisi UU HAM Pasal 109, Komnas HAM tidak lagi memiliki kewenangan untuk menerima dan menangani pengaduan dugaan pelanggaran hak asasi manusia, tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan mediasi, tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pendidikan dan penyuluhan HAM, serta pengkajian HAM kecuali dalam hal regulasi dan instrumen internasional.
Kedua, Komnas HAM mengkritisi adanya potensi ancaman independensi Komnas HAM.
Anis mengatakan potensi itu ditemukan melalui pasal 100 ayat 2B di mana panitia seleksi anggota Komnas HAM ditetapkan oleh presiden. Padahal dalam UU 39 Tahun 199, panitia seleksi ditetapkan oleh sidang paripurna Komnas HAM. Anis mengatakan hal tersebut bertentangan dengan Paris Principle.
"Prinsip-prinsip internasional terkait dengan National Human Rights Institution, di mana prinsip independency dalam proses seleksi Komnas HAM itu menjadi salah satu prinsip yang diatur dan harus dihormati sebagai lembaga HAM nasional," kata Anis.
Ketiga, Komnas HAM mengkritik terkait dengan kewenangan pelanggaran hak asasi manusia yang diberikan kepada Kementerian HAM. Anis mengingatkan bahwa posisi Kementerian HAM sebagai pemerintah dan pemangku kewajiban.
PerbesarGedung Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) di Jakarta, Selasa (3/6/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]Anies mengatakan penanganan pelanggaran HAM oleh Kementerian HAM tidak dapat dibenarkan karena kementerian merupakan bagian dari pemerintah sebagai pemangku kewajiban HAM.
Ia berujar ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, mengingat pemerintah kerap menjadi pihak yang diadukan dalam kasus dugaan pelanggaran HAM.
"(Kementerian HAM) tidak seharusnya juga berperan sebagai penilai atau wasit penanganan dugaan pelanggaran HAM, di mana salah satu pelaku atau terlapornya adalah pemerintah. Semestinya tetap dilakukan oleh lembaga independen," kata Anis.
Komnas HAM mengkritisi hilangnya kewenangan mereka dalam bidang pendidikan dan penyuluhan. Hilangnya kewenangan tersebut akan menghambat fungsi pencegahan pelanggaran hak asasi manusia di masyarakat.
"Demikian pula dengan dihapusnya kewenangan pengkajian peraturan perundang-undangan dapat menghilangkan fungsi korektif terhadap kebijakan yang berpotensi melanggar hak asasi manusia," kata Anis.
Berikutnya, hal yang menjadi kritik adalah pembatasan kewenangan Komnas HAM untuk bekerja sama dalam pengkajian dengan organisasi internasional regional dan internasional.
Anis mengatakan pembatasan kewenangan akan menutup ruang bagi Komnas HAM untuk berkolaborasi dengan lembaga HAM di negara lain dalam merespons berbagai peristiwa yang diduga mengandung pelanggaran hak asasi manusia lintas yurisdiksi.
Anis menyoroti tentang penguatan terhadap Komnas HAM yang seolah diatur di dalam pasal 112 draf revisi UU HAM, di mana rekomendasi Komnas HAM mengikat pemerintah dan anggota Komnas HAM dibantu oleh tenaga ahli.
Tetapi penguatan tersebut, kata Anis, menjadi tidak relevan atau tidak berarti karena kewenangan Komnas HAM dikurangi bahkan lebih dari setengahnya.
"Kami menilai bahwa revisi Undang-Undang HAM ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk menghapus keberadaan Komnas HAM dari kelembagaan HAM nasional," kata Anis.
"Dalam rancangan tersebut definisi tujuan dan kewenangan Komnas HAM tidak selaras. Tujuan Komnas HAM dalam revisi Undang-Undang HAM masih sama yang sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia tetapi dengan tugas dan kewenangan yang dibatasi, mustahil Komnas HAM dapat mewujudkan tujuan sebagaimana yang diatur di dalam revisi Undang-Undang HAM," sambung Anis.
Berdasarkan hal-hal tersebut, Komnas HAM mendesak pemerintah agar substansi rancangan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 99 tentang Hak Asasi Manusia, terutama terkait dengan kelembagaan dan fungsi Komnas HAM untuk tidak diperlemah tetapi diperkuat.
"Sebagai upaya mengoptimalkan sistem perlindungan HAM di Indonesia untuk memberikan akses atas keadilan bagi masyarakat yang mengalami pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia," kata Anis.
Tag: #khawatir #komnas #dihapus #lewat #revisi #anis #hidayah #catat #pasal #krusial