Akhir Drama Sahroni CS di Sidang MKD: Dihukum 6 Bulan, Bisa Tetap Jadi Dewan
5 anggota DPR non-aktif, mulai dari Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, Ahmad Sahroni, dan Adies Kadir disidang di ruang MKD DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (5/11/2025). (KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA)
16:34
5 November 2025

Akhir Drama Sahroni CS di Sidang MKD: Dihukum 6 Bulan, Bisa Tetap Jadi Dewan

- Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) telah menyelesaikan polemik terkait pernyataan dan aksi sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang sempat memicu perhatian publik serta aksi demonstrasi besar pada Agustus 2025.

Lima anggota DPR-RI itu adalah Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Adies Kadir, dan Uya Kuya.

Drama tersebut diakhiri dengan ketukan palu yang pegang oleh Ketua MKD DPR Nazaruddin Dek Gam, pada Rabu (5/10/2025).

Keputusan tersebut dibacakan di Gedung DPR RI, oleh Wakil Ketua MKD DPR Adang Darajadjatun.

Sanksi yang berbeda-beda

Dalam putusannya, MKD menyatakan, Adies Kadir dan Uya Kuya atau Surya Utama dinyatakan tidak bersalah.

Keduanya pun sejak putusan dibacakan dapat kembali aktif lagi menjadi anggota dewan. 

Sedangkan tiga teradu lainnya, Nafa Urbach, Eko Patrio, dan Sahroni disanksi dan terbukti melanggar kode etik.

Sanksi ketiga anggota DPR ini beragam, Eko Patrio dinonaktifkan selama empat bulan, Nafa Urbach nonaktif tiga bulan, dan Sahroni paling tinggi dengan nonaktif selama enam bulan.

Tiga anggota DPR ini disanksi karena kesalahan mereka masing-masing.

Pertama terkait Nafa Urbach yang dinilai MKD berperilaku hedon dan tamak sehingga perlu mendapat hukuman.

"Teradu Saudari Nafa Urbach atas pernyataannya yang telah memberikan kesan hedon dan tamak, dengan menyampaikan bahwa kenaikan gaji dan tunjangan itu sebuah kepantasan dan wajar bagi anggota DPR RI," kata Dek Gam.

Sedangkan Eko Patrio dihukum atas kesalahannya merendahkan lembaga DPR-RI dengan cara berjoget di sidang tahunan.

Kemudian, Sahroni yang mendapat hukuman terberat dikarenakan sikapnya yang menyebut publik yang hendak membubarkan DPR sebagai orang yang tolol.

"Teradu Saudara Ahmad Sahroni atas teradu, ucapannya atau pernyataan langsung di hadapan publik dengan menggunakan diksi yang tidak pantas," ucap Dek Gam.

Mereka bertiga dinyatakan terbukti melanggar kode etik DPR sebagaimana dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD RI jo Pasal 2 Ayat 2 dan 4 jo Pasal 3 ayat 4 jo Pasal 5 Ayat 2 jo Pasal 9 ayat 1 Peraturan DPR RI Nomor 1 tahun 2015 tentang Kode Etik.

Namun, mereka mendapat keringanan hukuman, lantaran MKD menilai mereka juga menjadi korban dari penjarahan yang terjadi dalam aksi unjuk rasa Agustus 2025.

Para pesakitan lapang dada

Mereka yang dihukum di MKD ini banyak yang menerima secara langsung, termasuk Sahroni.

Usai sidang, dia diadang awak media dan memberikan pernyataan penerimaan atas hukuman yang dijatuhkan.

"Keputusan sudah diputus oleh MKD, dan saya terima secara lapang dada," kata dia.

Menurut Sahroni, peristiwa ini menjadi pembelajaran untuk semua pihak, khususnya untuk anggota DPR-RI.

Hal yang sama diucapkan Uya Kuya. Meski tak dijatuhi sanksi hukuman, Uya mengatakan menghargai putusan MKD sebagai pembelajaran.

"Kita hargai keputusan dari MKD. Dan saya menerima, dan seperti yang tadi dilihat (putusannya)," kata dia.

Dia enggan mengomentari rekannya yang kena sanksi, namun Uya hanya bisa memastikan dirinya bersikap profesional atas putusan yang telah dibacakan hari ini.

"Dan apa yang diputuskan itu memang sesuai dengan bukti-bukti, dan juga saksi ahli yang sudah memberikan keterangan," ujar dia.

Kronologi aduan Sahroni Cs

Dalam sidang sebelumnya, MKD menjelaskan alasan lima anggota DPR-RI tersebut diadukan.

Pertama, Adies Kadir dari fraksi Partai Golkar. Ia dilaporkan lantaran pernyataan "ngekos 3 juta per hari".

Pernyataan ini menimbulkan tiga aduan tertanggal 4, 9, dan 30 September 2025.

"Antara lain, satu, teradu satu Saudara Adies Kadir atas pernyataan terkait tunjangan anggota DPR RI yang keliru dan menimbulkan reaksi luas dalam masyarakat," kata Dek Gam, pada persidangan yang digelar, Senin (3/11/2025).

Kemudian Nafa Urbach, ia dilaporkan karena komentarnya di media sosial soal kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR.

Ucapannya dianggap hedon dan tidak peka terhadap kondisi masyarakat.

Dalam siaran langsung TikTok, Nafa menyebut tunjangan rumah Rp 50 juta bukan kenaikan, melainkan kompensasi atas rumah jabatan yang dihapus.

Ketiga, anggota fraksi Nasdem, Ahmad Sahroni yang menggunakan diksi "tolol" saat menjawab kritik kinerja DPR dari masyarakat.

Dua terakhir yakni Iya Kuya dan Eko Patrio yang sama-sama berasal dari Partai Amanat Nasional (PAN).

Mereka berdua joget-joget saat sidang tahunan DPR-MPR yang digelar pada 15 Agustus 2025.

Putusan yang bikin rakyat kecewa

Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago menilai, putusan MKD terkait dengan sanksi ketiga anggota Dewan ini tidak mencerminkan rasa keadilan di masyarakat.

Karena ekspektasi publik, kata Pangi, adalah pemecatan atas anggota DPR yang memantik terjadinya kerusuhan besar tersebut.

"Publik pasti kecewa, karena menginginkan dipecat," kata dia, kepada Kompas.com.

Putusan ini justru seperti DPR mempermainkan kemarahan rakyat, karena penonaktifan dianggap sebagai langkah peredam kemarahan saja, bukan untuk mengevaluasi.

Namun, Pangi mengatakan, putusan ini bisa menjadi pembelajaran kepada seluruh anggota DPR agar berhati-hati dalam berbicara.

"Keras untuk pro rakyat, keras suara untuk bahagiakan hati rakyat, bukan suara keras untuk tunjangan, gaji dan fasilitas hidup pejabat dan elite mereka," kata dia.

Tag:  #akhir #drama #sahroni #sidang #dihukum #bulan #bisa #tetap #jadi #dewan

KOMENTAR