Jangan Didik Pemilih dengan Keteladanan Palsu
PENDIDIKAN pemilih pemula menjadi salah satu fondasi penting untuk memperkuat demokrasi. Namun, kegiatan ini kerap dijalankan hanya sebagai formalitas menjelang pemilu.
Narasumber dihadirkan, modul dibagikan, dan peserta diarahkan menjadi pemilih cerdas serta bertanggung jawab.
Program tampak sukses di atas kertas, tetapi kehilangan makna ketika disampaikan oleh orang yang memiliki catatan manipulatif atau pernah melanggar prinsip keadilan dan integritas.
Dalam kondisi seperti ini, pendidikan pemilih berhenti sebagai ritual seremonial tanpa nilai demokratis yang hidup.
Padahal, demokrasi tidak dapat dilepaskan dari moralitas publik. John Dewey dalam The Public and Its Problems (1927) menyebut bahwa demokrasi adalah cara hidup bersama yang menuntut kejujuran, partisipasi sadar, dan keadilan sosial.
Demokrasi bukan sekadar prosedur politik atau mekanisme pemungutan suara, melainkan proses membangun kepercayaan publik terhadap sistem dan pelaku yang menjalankannya.
Jika pendidikan pemilih diberikan oleh figur yang tidak kredibel, maka pesan yang disampaikan kehilangan substansi.
Peserta mungkin memahami teori, tetapi tidak akan percaya pada nilai-nilainya karena diajarkan tanpa keteladanan.
Nilai Demokrasi
Legitimasi politik akan lahir dari keyakinan warga bahwa sistem politik layak ditaati (David Easton, 1965). Keyakinan tersebut hanya tumbuh jika nilai yang diajarkan selaras dengan perilaku nyata para pelakunya.
Pendidikan politik yang disampaikan oleh orang yang pernah melakukan manipulasi atau bersikap diskriminatif terhadap kelompok tertentu justru mengikis kepercayaan publik terhadap demokrasi. Kondisi ini berisiko besar bagi masa depan politik Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik melalui Sensus Penduduk 2020, Generasi Z yang lahir antara 1997 hingga 2012 berjumlah sekitar 75,5 juta orang atau 27,94 persen dari populasi nasional.
Komisi Pemilihan Umum mencatat bila digabung dengan kelompok Milenial, pemilih muda mencapai lebih dari separuh total pemilih dalam Pemilu 2024.
Artinya, masa depan demokrasi sangat bergantung pada bagaimana generasi muda memahami dan memercayai proses politik hari ini.
Sayangnya, kualitas demokrasi Indonesia menunjukkan gejala kemunduran. Freedom House dalam "Freedom in the World 2025" menempatkan Indonesia pada kategori partly free (setengah bebas) dengan skor 56 dari 100.
Transparency International pada Indeks Persepsi Korupsi 2024 memberi skor 37 dari 100. Kedua indikator tersebut menandakan masih lemahnya akuntabilitas dan tingginya praktik penyalahgunaan kekuasaan.
Dengan situasi seperti itu, pendidikan politik tanpa integritas hanya memperdalam defisit kepercayaan terhadap demokrasi.
Generasi Z hidup di era keterbukaan informasi. Mereka terbiasa menilai kesesuaian antara kata dan tindakan. Ketika pesan tentang tanggung jawab memilih datang dari orang yang tidak memiliki rekam jejak integritas, mereka segera kehilangan kepercayaan.
Akibatnya, pendidikan pemilih yang seharusnya menumbuhkan partisipasi justru mendorong sikap apatis.
Demokrasi yang otentik hanya terwujud jika seluruh warga memiliki kesempatan setara untuk berpartisipasi (Carole Pateman, 1970).
Pendidikan politik yang tidak menghormati prinsip kesetaraan atau mengabaikan isu gender dan kelompok marjinal berarti gagal memenuhi syarat demokrasi itu sendiri.
Ketika pengajar tidak menunjukkan penghormatan dan rekam jejak komitmen terhadap kesetaraan, proses pendidikan kehilangan nilai moralnya dan menjauh dari semangat demokratis.
Bahkan, semakin rusak maknanya kalau sampai memberi tempat kepada pengajar pelaku kekerasan seksual.
Karakter bersih
Metode pendidikan politik di Indonesia kebanyakan masih bersifat satu arah. Peserta hanya mendengarkan ceramah tanpa ruang untuk berdialog atau menilai argumen.
Pola ini bertentangan dengan semangat demokrasi yang menempatkan warga sebagai subjek aktif. Padahal, komunikasi yang rasional dan bebas dari dominasi merupakan inti kehidupan demokratis (Jürgen Habermas,1984).
Proses pembelajaran politik yang sehat harus memungkinkan peserta berpikir kritis, menguji gagasan, dan membangun pengetahuan melalui dialog.
Kualitas pendidikan politik tidak diukur dari banyaknya kegiatan, tetapi dari kemampuannya membangun kepercayaan dan kesadaran kritis.
Materi tentang partisipasi dan tanggung jawab pemilih hanya efektif bila disampaikan oleh figur yang memiliki integritas, terbuka terhadap kritik, dan konsisten menghormati kesetaraan. Tanpa keteladanan, pendidikan politik menjadi deretan slogan yang hampa makna.
Pendidikan pemilih justru paling relevan dilakukan di masa jeda tahapan pemilu seperti saat ini. Ketika hiruk-pikuk politik mereda, ruang refleksi dan pembelajaran terbuka lebih luas.
Membangun nilai demokrasi yang tertanam dalam diri pemilih tidak bisa dilakukan secara instan menjelang pemilu, melainkan melalui proses berkelanjutan yang jujur dan konsisten.
Masa jeda ini semestinya dimanfaatkan untuk memperkuat kesadaran kritis dan tanggung jawab warga sebagai fondasi demokrasi yang sehat.
Lembaga penyelenggara pemilu dan organisasi masyarakat sipil perlu meninjau ulang siapa yang diberi ruang untuk mengedukasi publik.
Untuk itu, ada empat hal yang perlu dipertimbangkan guna optimalisasi pendidikan pemilih. Pertama, pemilihan narasumber harus mempertimbangkan rekam jejak etis dan kejujuran, bukan posisi struktural atau kedekatan politik.
Kedua, materi pendidikan politik harus relevan dengan realitas yang dihadapi pemilih muda, seperti penyalahgunaan sumber daya negara, politik uang, disinformasi digital, dan minimnya keterwakilan perempuan.
Ketiga, metode pembelajaran perlu disesuaikan dengan karakter generasi muda yang terbiasa dengan interaksi digital dan pengalaman langsung.
Pendekatan berbasis proyek lapangan atau simulasi kebijakan publik dapat memberi ruang bagi peserta untuk belajar melalui praktik nyata.
Metode ini lebih efektif dibanding sebatas ceramah konvensional yang hanya menambah hafalan tanpa membentuk pemahaman.
Keempat, keberhasilan pendidikan politik harus diukur secara objektif. Evaluasi perlu menilai sejauh mana program mampu meningkatkan pengetahuan, sikap, dan partisipasi politik peserta.
Lembaga pelaksana wajib membuka hasil evaluasi sebagai bentuk pertanggungjawaban publik. Transparansi ini penting agar masyarakat melihat bahwa pendidikan pemilih bukan sekadar program seremonial, melainkan upaya serius memperkuat fondasi demokrasi.
Pendidik Demokrasi
Pendidikan pemilih pemula akan efektif jika dijalankan dengan kejujuran dan keteladanan. Mengajarkan demokrasi dengan figur yang menodainya sama dengan memperkenalkan moralitas yang rapuh kepada generasi penerus.
Indonesia membutuhkan generasi muda yang tidak hanya memahami hak pilih, tetapi juga percaya pada nilai demokrasi.
Kepercayaan itu hanya tumbuh bila pendidikan politik dijalankan secara bersih, transparan, dan inklusif. Demokrasi tidak bisa diperkuat oleh mereka yang kehilangan integritas.
Maka, langkah krusial untuk memperbaiki pendidikan pemilih adalah memastikan bahwa pengajarnya layak disebut pendidik demokrasi.
Dengan pendidikan politik yang berlandaskan integritas dan kesetaraan, Indonesia dapat membentuk warga kritis dan peduli terhadap tata kelola pemerintahan.
Namun, jika pendidikan pemilih terus dijadikan panggung bagi figur yang menodai kejujuran dan keadilan, maka demokrasi hanya akan melahirkan generasi yang apatis dan sinis terhadap politik.
Keberanian memperbaiki kualitas pendidikan pemilih menjadi langkah penting untuk memastikan demokrasi tumbuh dari ketulusan, bukan dari kepura-puraan.
Kepada siapa pun yang melakukan pendidikan demokrasi, saatnya bertanya, sudahkah sebagai pendidik benar-benar menjalankan nilai-nilai demokrasi yang diajarkan?