Taufik Basari Kisahkan Penari Istana Cipanas Nani Nurani yang Dituduh PKI Mendapat Perlakuan Tak Adil hingga Era Reformasi
Penari perempuan Istana Cipanas, bernama Nani Nurani. (X @taufikbasari)
12:16
5 November 2025

Taufik Basari Kisahkan Penari Istana Cipanas Nani Nurani yang Dituduh PKI Mendapat Perlakuan Tak Adil hingga Era Reformasi

 
 

 - Mantan Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari menceritakan kisah seorang penari perempuan Istana Cipanas, bernama Nani Nurani. Dalam akun X, Taufik membagikan foto Nani tengah menari bersama Presiden pertama RI Soekarno di Istana Cipanas, pada 1963. 

Mulanya, pria yang karib disapa Tobas itu merasa heran dengan foto seorang perempuan yang tengah menari bersama Proklamator Soekarno. Foto sejarah itu dilihat Taufik Basari dalam unggahan akun media sosial Instagram @studisejarah.

"Saya perhatikan fotonya baik-baik, ada wajah yang raut mukanya saya kenal. Siapakah penari itu?," tulis Taufik dalam akun media sosial X, Rabu (5/11).

Mantan aktivis sekaligus advokat publik LBH Jakarta itu mencocokkan foto tersebut dengan foto yang disimpannya. Setelah mengonfirmasikan secara langsung bahwa benar, seorang perempuan yang menari bersama Presiden pertama RI Soekarno, bernama Nani Nurani.

"Orang yang saya kontak tersebut adalah Ibu Nani Nurani, yang dulu saya dampingi menggugat negara karena ketidakadilan yang menimpanya. Ia memang dahulu ada penari dan penyanyi Istana Cipanas namun harus mengalami kejamnya rezim Orde Baru saat itu," ungkapnya.

Ia menjelaskan, Nani Nurani merupakan penari dan penyanyi Istana Cipanas pada tahun 60-an. Sebagai seniman lokal, Nani Nurani dipekerjakan di Dinas Kebudayaan Kabupaten Cianjur. Seperti seniman-seniman lainnya, jika ada acara di Cianjur ataupun di Istana Cipanas Nani diundang untuk mengisi acara.

Hingga pada suatu waktu, Nani Nurani diminta untuk mengisi acara di hari ulang tahun PKI di Cianjur, pada Juni 1965. Ia memastikan, saat itu PKI belum diberi label sebagai partai terlarang.

Nani menari dihadapan pejabat tingkat daerah, di antaranya Bupati, Dandim, Kapala Kepolisian, Camat dan lainnya. Menurutnya, Nani hanya mengisi acara PKI sekali dan untuk terakhir kalinya pada saat itu.

"Namun rupanya undangan yang hanya satu kali tersebut menentukan nasib seumur hidupnya. 3 tahun kemudian, 1968, tetiba ia ditangkap di rumahnya oleh Tentara lalu setelahnya ditahan di Rumah Tahanan Wanita di Bukit Duri Jaksel, dekat sekolah saya, SMAN 8," paparnya.

Sejak saat itu, kata Tobas, Nani menjadi tahanan politik. Nani dituduh terlibat PKI, karena menari memenuhi undangan acara partai tersebut. Menurutnya, Nani ditahan 7 tahun penjara tanpa proses persidangan.

"Selama ditahan 7 tahun tersebut, beliau bertanya-tanya, “apa salah saya?” “Mengapa saya dikait-kaitkan dengan hal yang saya tidak mengerti”. Tapi ya begitulah praktik rezim Orde Baru yang represif," urainya.

Setelah dibebaskan dari jeruji besi, Nani mencoba menjalani kehidupannya, dengan memilih hidup sendiri karena khawatir jika memiliki anak akan mengalami diskriminasi. Bahkan, identitas KTP miliknya tercantum tulisan ET yang berarti eks tapol.

"Selama itu di KTP-nya tercantum tanda ET, ex tapol yg membuatnya sulit beraktivitas secara normal," tuturnya.

Ia menyebut, pada tahun 90-an kebijakan penyematan ET di dalam KTP mulai  dihapuskan. Namun, para bekas tahanan politik tetap harus wajib lapor, sebulan sekali di kelurahan, tiga bulan sekali di kecamatan sembari diberikan pengarahan oleh pejabat setempat.

Namun, setelah runtuhnya rezim Orde Baru, Nani Nurani masih diminta untuk wajib lapor. Ia mengungkapkan, pada 2001, Nani datang ke LBH Jakarta, dalam rangka memperjuangkan nasibnya, karena pasca reformasi masih harus diminta untuk wajib lapor.

"Beliau datang utk mempertanyakan mengapa setelah reformasi beliau masih harus wajib lapor. Tidak ada bedanya dg Orde Baru. Saya kaget juga saat itu, kok masih berlanjut kebijjakan seperti itu," paparnya.

Taufik mengaku sempat mendatangi kantor Kelurahan dan Kecamatan mempertanyakan alasan Nani Nurani tetap diminta wajib lapor. Namun, mereka tidak bisa menjawab dengan alasan yang jelas.

Menurutnya, LBH Jakarta saat itu mengirimkan surat kepada kelurahan/kecamatan menolak Nani Nurani untuk terus melakukan wajib lapor. Setelah sikap tegas itu dilakukan, Nani Nurani tidak lagi diminta untuk wajib lapor.

Namun, setahun kemudian Nani Nurani mengeluhkan tidak mendapatkan KPT seumur hidup. Mengingat usianya saat itu di atas 60 tahun.

"Menurut ketentuan tahun 1995 yg masih berlalu saat itu di tahun 2001, orang yg berusia di atas 60 tahun berhak mendapat KTP seumur hidup kecuali terlibat langsung atau tidak langsung dengan G30S," tegasnya.

Tobas menyatakan, pihaknya mengambil langlah hukum mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebelum mengajukan gugatan, pihaknya terlebih dahulu meminta untuk menerbitkan KTP seumur hidup, tetapi tidak diindahkan.

"Persidangan di PTUN dipimpin ketua majelis hakim bernama Disiplin F. Manao. Beliau dgn seksama memeriksa perkara ini. Saat pemeriksaan bukti, beliau meminta camat yg saat itu didampingi jaksa pengacara negara utk menunjukkan bukti apa yg jadi dasar baginya menolak menerbitkan KTP seumur hidup," ungkapnya.

"Dalam persidangan pembuktian, Camat membawa buku besar ukuran A3 landscape. Ternyata itu buku daftar orang2 yg dituduh PKI atau ex tapol dan ex napol. Didalamnya tertulis golongan keterlibatannya gol A, gol B, atau Gol C," tambahnya.

Sementara, dalam pembuktian yang disampaikan Nani, menunjukkan hanya diundang satu kali menari dalam acara PKI Cianjur sebagai seniman lokal. Hingga akhirnya, PTUN mengabulkan gugatan Nani.

"Pengadilan memerintahkan negara menerbitkan KTP seumur hidup. Tapi tidak terima dan banding, lalu tidak terima lagi kemudian kasasi. Semua tingkatan pengadilan memenangkan kita hingga tahap terakhir," ujarnya.

Lebih lanjut, Tobas menegaskan yang dialami Nani Nurani hanya puncak gunung es. Ia menyesalkan praktik rezim Orde Baru masih terus mengakar.

"Melalui gugatan utk persoalan kecil, yakni KTP berhasil menguak praktek Orde Baru yang masih berlanjut saat itu yg semestinya diperbaiki ketika reformasi terjadi. Yang dialami bu Nani hanyalah puncak gunung es, masih banyak yg mengalami serupa dan mungkin lebih parah," pungkasnya.

Editor: Sabik Aji Taufan

Tag:  #taufik #basari #kisahkan #penari #istana #cipanas #nani #nurani #yang #dituduh #mendapat #perlakuan #adil #hingga #reformasi

KOMENTAR