Korupsi Tanpa Malu, Sistem Tanpa Nurani
SETIAP kali KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), publik seolah menonton episode lama yang diputar ulang.
Sosok seperti Gubernur Riau, Abdul Wahid, yang dikenal “peduli” dan “fokus membangun”, ditangkap karena dugaan suap infrastruktur.
Namun, yang paling mencolok bukanlah jumlah uang atau skema korupsinya, melainkan ekspresi wajahnya: tenang, bahkan percaya diri. Tidak ada rasa bersalah yang terpancar. Inilah yang saya sebut sebagai “paradoks nirkebersalahan.”
Paradoks ini sering disalahpahami. Kita mengira pelaku korupsi sadar bahwa mereka adalah penjahat. Padahal, mereka lebih takut pada kekacauan proses hukum daripada pada pelanggaran moral itu sendiri.
Analisis psikologi klasik seperti tahap pra-konvensional Lawrence Kohlberg atau moralitas heteronom Jean Piaget memang menjelaskan bahwa sebagian individu hanya memahami baik-buruk melalui hukuman.
Namun, pendekatan ini tidak cukup. Ia gagal menangkap bahwa koruptor aktif membangun pembenaran, bukan sekadar kekurangan moral.
Korupsi bukan keputusan impulsif satu detik, melainkan proses adaptasi batin yang kompleks. Mekanisme utamanya adalah moral disengagement—strategi psikologis untuk mematikan standar etika internal agar bisa berbuat curang tanpa beban.
Studi tahun 2020 terhadap pegawai negeri sipil menunjukkan bahwa moral disengagement adalah prediktor kuat niat korupsi.
Bahkan, menurut analisis C. Moore (2007), pelaku bisa merasa bangga karena berhasil menguntungkan kelompoknya lewat korupsi, menjadikan kejahatan sebagai bentuk loyalitas.
Yang lebih mengejutkan, studi yang sama menemukan bahwa ethical leadership gagal menurunkan niat korupsi.
Nasihat moral dari atasan tidak mampu menyaingi budaya pembenaran yang sudah mendarah daging: “Toh, orang lain juga ambil.” Ketika pengawasan lemah, tradisi korupsi berbicara lebih keras daripada pidato etis.
Setelah ditangkap, koruptor menghadapi cognitive dissonance—konflik batin antara citra diri sebagai “orang baik” dan fakta bahwa mereka adalah pelaku korupsi.
Untuk meredakan stres psikologis ini, mereka melakukan rasionalisasi retrospektif. Disertasi dari Maastricht University (2023) menyebut teknik ini sebagai denial of responsibility: pelaku membingkai diri sebagai korban konspirasi, pelaksana perintah, atau pejuang biaya politik.
Dalih ini bukan sekadar kebohongan publik, melainkan skrip batin yang mereka yakini agar tetap waras dan utuh secara psikologis.
Sistem politik memproduksi pembenaran
Skrip pembenaran koruptor tidak muncul begitu saja. Ia disediakan oleh sistem politik kita. Studi kolaboratif antara KPK dan LIPI (kini BRIN) menemukan bahwa akar utama korupsi politik adalah partai yang dikelola seperti perusahaan keluarga.
Tanpa transparansi keuangan dan tanpa kaderisasi berbasis merit, sistem ini justru menyeleksi individu yang paling lihai dalam mematikan nurani demi mencari dana ilegal untuk mesin partai.
Kesimpulan psikologis dari studi tersebut mengerikan: sistem ini melahirkan politisi dengan “cacat bawaan”. Artinya, mereka bukan sekadar tergelincir, tetapi memang diproduksi oleh arsitektur politik yang korup.
Mereka tidak dipilih karena kejujuran atau kompetensi, melainkan karena kemampuan mereka dalam moral disengagement.
Lalu, mengapa publik tetap diam? Mengapa kemarahan kita hanya muncul saat OTT, tapi tidak berlanjut menjadi tuntutan sistemik?
Jawabannya terletak pada pergeseran cara kita memandang demokrasi. Analisis dari New Mandala (2023) menyebut fenomena ini sebagai “politik kinerja”.
Publik Indonesia kini menilai pemimpin bukan dari proses yang jujur, melainkan dari hasil nyata seperti jalan raya atau bansos. Demokrasi menjadi instrumen, bukan nilai.
Inilah pembenaran pamungkas yang menenangkan batin koruptor. Dalam benaknya, suap proyek PUPR bukanlah kejahatan, melainkan strategi untuk memenuhi tuntutan rakyat.
“Mereka tidak tanya prosesnya, mereka mau hasilnya,” pikir sang gubernur. Ia tidak melihat dirinya sebagai pencuri, tetapi sebagai pelayan publik yang efektif.
Solusi sistemik, bukan sekadar moral
Jika kita ingin keluar dari wabah korupsi, kita harus berhenti mengandalkan intervensi moral yang sudah terbukti gagal.
OTT memang penting untuk penegakan hukum. Namun, seperti kata pakar hukum pidana Gandjar Laksmana Bonaprapta, efek jera dari OTT “sulit sekali” dan “sudah seperti mitos.”
Solusinya harus sistemik dan berbasis psikologi perilaku, menyasar tiga lapisan: mikro, meso, dan makro.
Di lapisan mikro (perilaku), pendidikan anti-korupsi harus diganti dengan behavioral insights atau nudge.
Studi dari Jurnal Integritas (2025) menunjukkan bahwa program anti-korupsi sering gagal karena tidak mempertimbangkan karakter individu dan wilayah.
Daripada pasang spanduk “Stop Suap,” kita harus merancang choice architecture layanan publik—misalnya sistem zero-contact berbasis teknologi—yang secara desain menghilangkan kesempatan untuk korupsi dan mempersempit ruang pembenaran.
Di lapisan meso (organisasi), penerapan whistleblowing system (WBS) harus diwajibkan dan diaudit secara independen.
WBS yang dipercaya adalah antivirus psikologis yang ampuh untuk mematahkan pembenaran “semua orang juga melakukannya.”
Di lapisan makro (politik), reformasi partai adalah kunci. Rekomendasi studi KPK-LIPI harus dilaksanakan secara paksa: transparansi penuh keuangan partai dan sistem kaderisasi berbasis meritokrasi yang bisa diverifikasi. Ini satu-satunya cara untuk menghentikan produksi “politisi cacat bawaan” dari hulunya.
Wajah “tanpa dosa” para tersangka OTT bukanlah cermin dari kejahatan individu semata, melainkan refleksi dari sistem yang kita biarkan hidup.
Kita sibuk marah pada gejala, tapi ikut melegitimasi penyakitnya karena kita lebih butuh hasil daripada integritas.
Memahami logika koruptor bukan berarti membenarkan mereka. Justru dengan memahami cara mereka membangun pembenaran, kita bisa merancang sistem yang tidak bisa lagi dibohongi oleh akal-akalan.