Menyalakan Api Konferensi Asia-Afrika
TUJUH puluh tahun lalu, Bandung menjadi saksi kebangkitan moral umat manusia. Pada 18-24 April 1955, lima puluh sembilan delegasi dari Asia dan Afrika memenuhi Gedung Merdeka dengan satu tekad: menolak hidup di bawah bayang-bayang imperium.
Mereka datang bukan dengan kapal perang, melainkan dengan luka kolonial yang sama, dengan harapan mengubah nasib dunia.
Di antara mereka berdiri Soekarno — pemimpin yang tidak sekadar berbicara tentang kemerdekaan, tapi juga tentang harga diri bangsa-bangsa yang selama berabad-abad dipaksa membungkuk.
Dalam pidato pembuka Konferensi Asia-Afrika (KAA), ia menyerukan: “Biarlah dunia mendengar bahwa Asia dan Afrika telah bangkit dari tidurnya yang panjang.”
Kalimat itu bukan sekadar retorika. Ia adalah tanda mula bagi tatanan baru, zaman yang kemudian disebut "Zaman Bandung" — zaman ketika Selatan berbicara dengan bahasa kemanusiaannya sendiri.
Bandung bukan hanya peristiwa diplomatik, tetapi ledakan makna. Dari sana lahir Dasasila Bandung, sepuluh asas hidup berdampingan secara damai yang menjadi pondasi bagi Gerakan Non-Blok dan bahkan inspirasi bagi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Lebih dari itu, Bandung menanamkan kepercayaan diri pada bangsa-bangsa muda: bahwa kemerdekaan bukanlah akhir, melainkan permulaan untuk ikut menentukan arah dunia.
Kini, tujuh dekade berlalu, dunia yang dulu dijanjikan dalam semangat Bandung masih belum sepenuhnya terwujud. Kolonialisme mungkin telah berganti wajah, tetapi ketimpangan global tetap berakar.
Bung Karno pernah memperingatkan dalam pidatonya di PBB tahun 30 September 1960: “Kita tidak mempertahankan dunia yang kita kenal, kita membangun dunia yang lebih baik. Sebuah dunia yang baru tanpa kolonialisme dan imperialisme.”
Pertanyaannya kini: dunia macam apa yang sedang kita bangun? Dunia siapa yang sedang kita pertahankan?
Spirit Bandung di dunia retak
Dunia hari ini sedang berguncang. Perang Rusia-Ukraina tak kunjung reda, Timur Tengah kembali berdarah, dan Gaza menjadi simbol luka nurani global.
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China mencerminkan ketegangan ekonomi yang lebih dalam, sementara perubahan iklim menandai bencana yang tak lagi bisa disangkal.
Dunia yang pernah diimpikan Bung Karno sebagai dunia damai, kini tampak kehilangan keseimbangannya.
Namun, justru di tengah kekacauan inilah spirit Bandung menemukan relevansinya kembali. Prinsip perdamaian, keadilan, dan solidaritas yang dulu menjadi seruan moral bangsa-bangsa baru kini menjadi kebutuhan mendesak peradaban global.
Dunia sedang bergerak menuju multipolarisme, tetapi tanpa arah etik yang jelas.
Negara-negara adidaya berebut pengaruh di Laut Cina Selatan, di Afrika, di Pasifik, di ruang digital — sementara bangsa-bangsa kecil kembali menjadi ajang perebutan kepentingan.
Indonesia, dengan warisan moral Bandung, seharusnya tidak berdiri di pinggir sejarah ini. Dalam politik luar negerinya yang bebas aktif, Indonesia memiliki posisi unik: mampu berbicara dengan semua pihak tanpa kehilangan jati diri.
Dalam kondisi ini, Indonesia adalah jembatan antara Utara dan Selatan, Timur dan Barat. Namun, jembatan itu hanya bermakna bila ia menghubungkan dua tepi yang terpisah, bukan sekadar berdiri di tengah arus yang saling menelan.
Spirit Bandung menuntut keberanian untuk berpihak kepada kemanusiaan. Indonesia tidak perlu menjadi pengikut blok kekuatan mana pun, tetapi menjadi suara nurani global — terutama ketika keadilan diinjak, seperti di Palestina yang hingga kini belum merdeka.
Dalam konteks inilah, diplomasi Indonesia harus kembali bersumber pada etika Soekarno: “Let us build a world where all men can live in peace and brotherhood.”
Bandung 1955 tidak dimaksudkan untuk menumbangkan satu kekuatan dan menggantinya dengan yang lain, tetapi untuk menegakkan dunia yang seimbang — dunia yang tak ditentukan oleh logika kekuasaan, melainkan oleh martabat manusia.
Kini ketika ekonomi dunia dikuasai korporasi raksasa dan kebijakan global ditentukan oleh algoritma, semangat itu kembali menuntut tafsir baru: bahwa dekolonisasi abad ke-21 adalah dekolonisasi dari ketimpangan digital, utang global, dan eksploitasi sumber daya alam yang tak berkesudahan.
Membangun dunia kembali
Tahun 2025 ini, peringatan 70 tahun KAA diselenggarakan tidak hanya di Bandung, tetapi juga di Surabaya, Blitar, dan Yogyakarta—perjalanan simbolik dari diplomasi ke refleksi, dari politik ke kebudayaan.
Setelah seminar akademik di IPDN dan Universitas Airlangga, para peserta dari 32 negara berziarah ke makam Bung Karno di Blitar.
Di sanalah, di bawah rindang pohon dan di hadapan batu bertulis “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, dunia akan kembali mengenang pemimpin yang berani bermimpi di tengah reruntuhan kolonialisme.
Ziarah itu bukan sekadar penghormatan, tetapi pengingat: bahwa sejarah bukan hanya soal apa yang telah terjadi, melainkan tentang apa yang masih harus diperjuangkan.
Bung Karno pernah berkata, “Kita berusaha membangun dunia yang waras dan aman.” Kini, waras dan aman adalah dua kata yang terdengar asing di tengah perang, polarisasi, dan keruntuhan moral global.
Namun, justru di situlah relevansi “Bandung Spirit” menemukan panggilannya.
Di era digital, ketika disinformasi menggantikan kebenaran dan ketimpangan digital menajamkan ketidakadilan, semangat Bandung menuntut pembacaan baru.
Solidaritas tak lagi hanya berarti kerja sama antarbangsa, tetapi juga keadilan akses terhadap teknologi dan pengetahuan.
Perdamaian tak lagi hanya berarti tanpa perang, tetapi juga keberanian untuk berdialog di tengah perbedaan. Emansipasi kini berarti melepaskan diri dari ketergantungan struktural terhadap sistem global yang menindas.
Festival keberagaman budaya di Yogyakarta yang menutup rangkaian peringatan KAA menjadi metafora penting.
Di sana, semangat politik Bandung melebur dengan denyut kebudayaan: tari, musik, dan puisi dari berbagai bangsa Asia dan Afrika berpadu dalam satu panggung.
Ia menunjukkan bahwa perdamaian dunia tidak dibangun dari meja perundingan semata, tetapi dari pengakuan atas keindahan dan keberagaman manusia.
Bandung 1955 adalah awal dari mimpi global yang belum selesai. Dunia mungkin telah berubah, tetapi struktur ketidakadilan masih serupa: kekayaan masih menumpuk di segelintir tangan, kekuasaan global masih berpihak pada yang kuat, dan kemerdekaan masih menjadi kemewahan bagi banyak bangsa.
Dalam konteks itulah, peringatan 70 tahun KAA bukan nostalgia masa lalu, melainkan undangan moral bagi umat manusia untuk “membangun dunia kembali” (to build the world anew).
Bung Karno telah menanam benih itu tujuh dekade lalu. Kini, tugas kita adalah menumbuhkannya di tengah gurun ketimpangan global.
Dan mungkin, seperti diucapkannya pada 1955, dunia memang sedang menunggu: “Bandung tidak hanya sebuah kota, tetapi sebuah semangat; tidak hanya peristiwa, tetapi sebuah janji.”
Janji bahwa kemerdekaan sejati hanya bermakna bila ia dibaktikan bagi keadilan, dan keadilan sejati hanya bermakna bila ia ditegakkan untuk seluruh umat manusia.