Negara, Citra, dan Hiperrealitas Perang Narkoba
PEMERINTAH dan Kepolisian Republik Indonesia memusnahkan lebih dari 214 ton narkotika hasil pengungkapan selama setahun terakhir.
Data hingga Oktober 2025 mencatat 38.934 kasus, 51.763 tersangka, dan barang bukti mencapai 197,7 ton berbagai jenis narkotika.
Nilai ekonominya menembus Rp 29 triliun — angka yang menggambarkan skala ancaman luar biasa, sekaligus skala ekonomi gelap yang merasuki kehidupan sosial kita.
Namun, angka besar itu bukan hanya tanda keberhasilan, tetapi juga cermin dari kedalaman masalah. Pemusnahan ton-ton narkoba adalah simbol kemenangan negara, tetapi simbol saja tidak cukup.
Di balik asap yang menjulang dan tepuk tangan publik, pertanyaan mendasar tetap muncul: apakah struktur sosial dan habitus masyarakat benar-benar berubah?
Habitus negara dan habitus narkoba
Dalam kerangka Pierre Bourdieu (1977), habitus adalah pola pikir dan tindakan yang terbentuk oleh pengalaman sosial.
Ia menjadi cara individu memahami dunia dan bereaksi terhadapnya. Sementara modal sosial adalah jaringan kepercayaan dan relasi yang menopang tindakan sosial.
Jaringan narkoba tumbuh dalam ruang sosial dengan habitus tersendiri — di mana konsumsi narkoba bisa dianggap wajar, menjadi bagian dari identitas kelompok, atau bahkan pelarian dari tekanan ekonomi dan psikologis.
Di sana, narkoba bukan sekadar zat, melainkan mekanisme bertahan hidup dalam struktur yang timpang.
Namun, negara juga memiliki habitusnya sendiri: budaya penegakan hukum, struktur kekuasaan, hubungan antarinstansi, serta cara membangun citra di hadapan publik.
Ketika negara memusnahkan ratusan ton narkoba, itu bukan hanya tindakan hukum, tapi juga tindakan simbolik — representasi tentang kekuasaan, kontrol, dan legitimasi moral.
Masalahnya, penindakan yang keras tidak otomatis mengubah habitus sosial. Jika masyarakat tetap hidup dalam ketimpangan, stigma, dan keterbatasan ekonomi, maka regenerasi jaringan hanya persoalan waktu.
Di ruang sosial seperti itu, habitus pengguna terus bertumbuh, dan modal sosial jaringan tetap subur.
Jean Baudrillard (1981) menyebut, simulakra adalah citra yang menutupi kenyataan bahwa realitas mungkin sudah hilang.
Dalam konteks ini, pemusnahan massal narkoba bisa menjadi simulasi kemenangan — menciptakan hiperrealitas perang narkoba: gambaran besar bahwa negara menang, padahal akar sosial dan kultural masalah tetap hidup.
Kita menyaksikan pertunjukan kolektif — negara tampil tegas, media menyorot, publik merasa aman.
Namun di bawah permukaan, jaringan narkoba terus bekerja, senyap dan tangguh. Masyarakat diyakinkan bahwa “perang sedang berlangsung”, padahal yang berubah hanyalah citra, bukan realitas sosial.
Inilah bahaya hiperrealitas: ketika citra keberhasilan menutupi kemandekan struktural. Negara tampak kuat, publik merasa aman, tapi jaringan tetap bertahan.
Yang dilawan bukan lagi narkoba, melainkan bayangan kemenangan yang diciptakan oleh narasi dan media.
Pemusnahan bukan akhir
Modal sosial negara—kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum—adalah senjata yang jauh lebih penting daripada senjata api. Namun, jika modal sosial itu lemah, maka perang narkoba hanya berlangsung satu arah: negara menindak, masyarakat menonton.
Sebaliknya, modal sosial jaringan pengedar sering kali justru lebih solid: ada loyalitas, rasa saling percaya, dan solidaritas dalam kegelapan. Ketika modal sosial negatif ini tak diputus, penindakan hanya memotong satu simpul, sementara simpul lain tumbuh kembali.
Oleh karena itu, perang melawan narkoba bukan hanya soal hukum, tapi soal memutus struktur sosial yang melindungi jaringan.
Negara harus menyalurkan modal linking—hubungan yang sehat antara masyarakat dan lembaga negara—agar publik tak sekadar menyaksikan, tapi ikut menjadi bagian dari solusi.
Pemusnahan narkoba memang penting sebagai penegasan struktur kekuasaan. Namun, tanpa transformasi di tingkat agen, ia hanya membakar barang bukti, bukan akar masalah.
Jika habitus pengguna tetap sama, dan modal sosial jaringan tak tersentuh, maka perang ini hanya berputar di lingkaran yang sama.
Negara perlu membangun habitus baru: bahwa narkoba bukan jalan keluar; rehabilitasi adalah hak, bukan aib; komunitas memiliki tanggung jawab sosial untuk memulihkan, bukan mengucilkan.
Perubahan ini memerlukan modal budaya: pendidikan berbasis bukti, kampanye komunitas yang berkelanjutan, dan akses rehabilitasi yang nyata.
Dibutuhkan pula transparansi kelembagaan agar masyarakat percaya bahwa perang ini bukan sekadar panggung citra, tapi strategi panjang.
Kebijakan narkotika yang efektif adalah kebijakan yang menyeimbangkan tiga poros utama: keamanan, kesehatan, dan sosial-ekonomi. Narkoba bukan hanya ancaman kriminal, tapi juga penyakit sosial dan luka ekonomi.
Jika kemiskinan, pengangguran, dan keterasingan sosial tetap menjadi latar, maka penindakan keras hanya menimbulkan efek whack-a-mole: satu jaringan tumbang, jaringan baru tumbuh di tempat yang sama.
Ketika media menyoroti pemusnahan sebagai simbol kemenangan, publik merasa aman semu — seolah perang sudah dimenangkan. Padahal kemenangan sejati justru diukur dari berapa banyak hidup yang pulih, bukan berapa ton yang dimusnahkan.
Aksi pemusnahan 214 ton narkoba patut diapresiasi. Namun, ia baru langkah awal. Tanpa perubahan struktural, sosial, dan kultural, perang ini tetap simbolik—keras di citra, lemah di realitas.
Perang melawan narkoba harus menjadi perang budaya: perang melawan keputusasaan, kemiskinan, dan kekosongan makna hidup. Ia harus memulihkan manusia, bukan sekadar menegakkan hukum.
Pemusnahan bisa membakar barang bukti, tapi perang ini baru selesai jika kita membakar akar sosial yang melahirkannya.
Di situlah kemenangan sejati—bukan di headline media, tapi di kehidupan yang sungguh pulih, di habitus yang berubah, dan di masyarakat yang tak lagi hidup dalam hiperrealitas keamanan semu.