 72
                                        72                                    
                                 
                                             06:46
 06:46                                             31 Oktober 2025
 31 Oktober 2025                                            Revisi UU Pemilu: Menurunkan Ambang Batas Parlemen
REVISI Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, usulan Baleg DPR serta prioritas Prolegnas 2026, usulan Komisi II DPR.
Revisi ini diharapkan mencari solusi atas pelaksanaan pemilu yang rumit, bukan sekadar tambal sulam aturan.
Selain itu, mempertegas aturan pelaksanaan pemilu serta operasionalnya untuk memulihkan kredibilitas dan integritas proses pemilu. Serta memastikan pemilu lebih efisien, transparan, adil dan modern.
Selama ini kompleksitas aturan yang ada acapkali tumpang tindih sehingga membingungkan dalam pelaksanaan proses demokrasi elektoral.
Setiap kali pembaharuan UU Pemilu, satu isu klasik selalu menjadi trigger dan mencuri perhatian masyarakat adalah ambang batas parlemen (parliamentary threshold).
Angkanya mungkin terlihat sepele dari 4 persen, 5 persen atau sampai 7 persen. Namun di balik itu semua, tersimpan pertarungan besar tentang makna demokrasi.
Ambang batas yang konon dirancang demi “efisiensi politik”, selama ini justru menjadi ketidakadilan elektoral.
Di Indonesia, penerapan ambang batas jadi gula-gula politik yang menggoda kekuasaan. Penerapan ambang batas yang tinggi memungkinkan partai besar mempertahankan dominasi dan menyingkirkan pesaing sebelum kompetisi dimulai.
Semakin tinggi ambang batas, makin sempit pula ruang demokrasi. Ibaratnya seperti menggelar pesta rakyat, tapi hanya segelintir tamu yang boleh masuk.
Fakta menunjukkan bahwa ambang batas acapkali menjadi jebakan yang menggoda para pembuat aturan untuk melanggengkan kekuasaan dan kelompoknya.
Ironisnya, setiap kali revisi UU Pemilu dibahas, godaan untuk menaikkan ambang batas mesti muncul. Bila tren ini diteruskan, maka pemilu mendatang bukan lagi tentang siapa yang mendapat kepercayaan rakyat, melainkan siapa yang mampu mempertahankan dominasi kekuasaan lewat angka.
Dalam Teori Hegemoni Antonio Gramsci, ambang batas dijadikan alat hegemoni politik. Partai besar menggunakan wacana “penyederhanaan sistem” atau “efektivitas pemerintahan” untuk mendominasi ruang komunikasi politik.
Bentuk persetujuan yang dipaksakan untuk mengatur siapa yang boleh berbicara dan siapa yang disenyapkan di arena demokrasi.
Adanya ambang batas akan membatasi partai-partai baru atau kecil untuk turut serta dalam pengambilan kebijakan publik.
Suara minoritas yang seharusnya menjadi bagian dari mozaik demokrasi, malah terbuang sia-sia. Sementara demokrasi harus memberi ruang bagi keragaman suara, menjaga keberlangsungan demokrasi sekaligus menegakkan keadilan representasi.
Threshold: Matematika yang mencederai keadilan
Pemilu di Indonesia menggunakan sistem proporsional. Berkaca dari pengalaman pemilu selama ini, ada paradoks yang mencolok: banyak sekali suara yang tidak terkonversi menjadi kursi, jutaan suara rakyat terbuang karena partai politiknya tidak punya cukup suara memenuhi ambang batas parlemen.
Akhirnya distribusi kursi di DPR tidak sepenuhnya mencerminkan kemauan pemilih, melainkan sekadar hasil kalkulasi dari aturan yang menyingkirkan sebagian besar suara rakyat.
Penggunaan ambang batas parlemen yang terus naik dari pemilu ke pemilu membawa konsekuensi signifikan terhadap peta representasi politik di Senayan.
Data menunjukkan, dalam pemilu 2004 dengan ambang batas 3 persen, sebanyak 19.047.481 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi atau sekitar 18 persen.
Pemilu 2009 dengan ambang batas 2,5 persen, sebanyak 19.044.715 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi atau sekitar 18,2 persen.
Begitu pula di pemilu 2014 dengan ambang batas 3,5 persen, ada 2.964.975 suara atau sekitar 2,4 persen yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi.
Lalu di pemilu 2019 dengan ambang batas 4 persen, ada 13.595.842 suara atau sekitar 9,7 persen yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi.
Sementara pemilu terakhir 2024, dengan ambang batas masih 4 persen, sebanyak 16.977.503 suara atau 11,19 persen yang tidak terkonversi jadi kursi di DPR.
Fenomena ini menimbulkan hilangnya nilai suara rakyat (wasted votes) dalam jumlah besar. Ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan keadilan pemilu sebagaimana dijamin Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Bayangkan, jutaan orang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), mencoblos dengan penuh harapan, tapi suaranya menguap atau hangus. Ini bukan sekadar inefisiensi, melainkan pengingkaran terhadap asas kedaulatan rakyat.
Fakta tersebut membuktikan, hak konstitusional pemilih yang telah digunakan dalam pemilu menjadi hangus atau tidak dihitung dengan dalih penyederhanaan partai politik.
Padahal ambang batas seyogianya menyaring, bukan menyingkirkan. Ia mengatur tata kelola representasi, tetapi tidak boleh menghapus representasi itu sendiri.
Karena keadilan elektoral hanya dapat berdiri jika setiap suara, besar mapun kecil, punya nilai politik yang sama.
Namun, ketika suara minoritas dihapus atas nama efisiensi, demokrasi akan kehilangan maknanya. Rakyat mungkin tetap punya pemilu, tapi kehilangan rasa keadilan politik.
Tindaklanjut putusan MK
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 116/PUU-XXI/2023 terkait ambang batas parlemen jadi angin segar bagi demokrasi agar dapat tumbuh lebih baik dan bermartabat.
Dalam putusan itu, Mahkamah meminta pembentuk undang-undang untuk mengubah ambang batas parlemen pada Pemilu 2029 dan pemilu-pemilu yang akan datang dengan memperhatikan sejumlah hal.
Pertama, didesain untuk digunakan secara berkelanjutan. Kedua, perubahan norma ambang batas parlemen termasuk besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional, terutama untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.
Ketiga, perubahan harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyerderhanaan partai politik.
Keempat, perubahan telah selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029. Kelima, perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna, termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR.
Pertimbangan MK ini tentu tidak muncul tanpa dasar, melainkan merupakan hasil penilaian objektif terhadap sistem kepartaian Indonesia yang cenderung multipartai, serta untuk menjaga agar prinsip keterwakilan politik dan keadilan pemilu tetap terjamin.
Pada akhirnya, pertarungan ini bukan sekadar soal angka ambang batas, tetapi tentang keberanian DPR untuk setia pada semangat konstitusi.
Apakah para legislator berani menurunkannya demi keadilan representatif, atau justru meneguhkan ketidakadilan atas nama stabilitas politik?
Sebagai alternatif dari penulis, agar suara tidak terbuang percuma, bisa diterapkan mekanisme fraksi threshold, sama halnya seperti mekanisme di tingkat DPRD provinsi maupun kabupaten/kota.
Opsi ini terbukti berjalan efektif di mana partai-partai dengan kursi terbatas tetap dapat berpartisipasi dalam kerja-kerja legislatif melalui fraksi gabungan.
Dengan pendekatan seperti ini, penyederhanaan sistem kepartaian tetap terjaga, tapi keterwakilan rakyat tidak jadi korban.
Di sinilah seharusnya arah revisi UU Pemilu diletakkan, bukan pada pengetatan ambang batas, melainkan pada penguatan mekanisme representasi yang inklusif.
Satu hal yang selalu menjadi catatan serius dalam perjalanan demokrasi di Indonesia, yakni etika. Bila revisi UU Pemilu kali ini masih kembali menempatkan ambang batas sebagai alat eksklusi, maka demokrasi Indonesia akan kehilangan ruhnya.
Demokrasi bukan hanya soal mekanisme pemilihan dan kekuasaan, melainkan juga sistem nilai, moral dan etika yang menjadi pijakannya.
Bukan rahasia lagi bahwa sistem politik bisa dipakai untuk mengendalikan aturan main demi kepentingan kekuasaan.
Dalam konteks revisi UU Pemilu bisa muncul dalam berbagai rupa: ambang batas parlemen, mekanisme konversi suara, hingga desain daerah pemilihan (dapil) yang secara halus dapat menentukan siapa yang diuntungkan atau disingkirkan.
Di sinilah etika demokrasi diuji: Apakah DPR sungguh bekerja untuk memperkuat kualitas demokrasi, atau justru memperkuat posisinya sendiri di parlemen?
Menurunkan ambang batas parlemen sejatinya bukan langkah mundur, melainkan tindakan berani untuk mengakui bahwa demokrasi yang sehat tidak pernah takut pada keberagaman suara.
Ujian etika demokrasi merupakan panggilan moral bagi para legislator untuk menjaga demokrasi tidak hanya sebatas aturan formal, tetapi juga menjadikannya sebagai sistem yang benar-benar bermakna, berkeadilan, dan berintegritas.
Sebab, kekuatan demokrasi terletak bukan hanya pada jumlah suara, melainkan pada kualitas moral dan etika yang mengiringinya.
Revisi UU Pemilu kali ini adalah kesempatan untuk membuktikan, apakah bangsa ini berani menegakkan keadilan, atau bangsa yang rela menukar etika demi efisiensi politik.
Demokrasi sejati bukan tentang siapa yang menang, tetapi bagaimana memperlakukan suara yang kalah. Tanpa etika, demokrasi hanya menjadi mesin kekuasaan yang sah secara hukum, tapi hampa secara moral.
 
             
             
             Berita Terbaru
Berita Terbaru Nasional
Nasional Internasional
Internasional Ekonomi
Ekonomi Sport
Sport Tekno
Tekno Sains
Sains Health
Health Hobi
Hobi Tokoh
Tokoh Food
Food Travel
Travel Lifestyle
Lifestyle 
                                             
                                             
                                             
                         06:46
 06:46                             31 Oktober 2025
 31 Oktober 2025                             
                         
                         
                         
                         
                        