



Ada ''Angsa Hitam'' di Balik Progresivitas MK
DI PENGUJUNG Mei 2025, saya bertatapan dengan buku "Angsa Hitam Menyalakan Jakarta" karya Eko Sulistyo di salah satu toko buku.
Di sampul belakang buku ini, terpacak kalimat Gubernur Jakarta Pramono Anung: "Angsa Hitam menggambarkan secara tepat mengenai kemenangan kami yang tidak terduga pada konstelasi politik di Jakarta."
Angsa hitam mengingatkan pada "The Black Swan" (2007). Penulisnya, Nassim Nicholas Taleb, menguraikan tentang kemunculan angsa hitam sebagai penanda bahwa kejadian-kejadian di alam sering tidak terduga dan langka--melampaui hal yang dipikirkan dan dapat diprediksi oleh manusia.
Sebagian besar angsa itu berwarna putih, tapi alam juga menyediakan angsa berwarna hitam yang muncul secara tak terduga dalam ruang dan waktu tertentu yang acak.
Kemenangan Pramono yang berpasangan dengan Rano Karno di pentas Pilkada Jakarta 2024, mungkin fenomena "angsa hitam" dalam politik ibu kota, menengok lawannya adalah Ridwan Kamil-Suswono.
Duet ini disokong oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM Plus) yang notabene didukung habis oleh penguasa--kala itu Presiden Joko Widodo yang pada Februari 2024, berhasil mengantar Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang pemilihan presiden dan wakil presiden.
Pram-Doel tidak mungkin ikut Pilkada Jakarta, yang digelar serentak di seluruh Indonesia pada 27 November 2024, jika Mahkamah Konstitusi tidak mengambil jalan progresif pada 20 Agustus 2024.
Lewat putusan nomor 60/PUU-XXI/2024, MK mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah, dari semula 25 persen suara hasil pileg DPRD atau 20 persen kursi DPRD menjadi 7,5 persen suara pileg DPRD Jakarta.
Penurunan threshold seturut jumlah populasi daerah, yakni provinsi, kabupaten dan kota.
Waktu itu, DPR sempat mbalelo dengan menguber revisi UU Pilkada secara kilat untuk menggergaji putusan MK. Untungnya presiden terpilih Prabowo Subianto turun tangan sehingga DPR batal merevisi UU Pilkada secara kilat.
Progresivitas MK itu merontokkan ide "borong parpol" hingga skenario RK-Suswono versus kotak kosong.
Alhasil KIM yang kebanjiran sokongan plus tambahan amunisi dari tiga parpol, yakni PKS, PKB dan Nasdem (semula mendukung Anies Baswedan) dapat saingan baru. PDIP dapat maju sendiri di medan Pilkada Jakarta.
Secara mengejutkan Megawati Soekarnoputri memilih dua kadernya, Pramono dan Rano untuk berduet dan bukan Anies yang saat itu merapat pada PDIP.
Seterusnya kita tahu sejarah mencatat siapa kalah dan siapa menang. RK-Suswono, duet yang disokong Jokowi serta Prabowo, kalah langsung dalam satu babak (putaran pertama). Ini mungkin "angsa hitam" meskipun bukan preseden langka satu-satunya.
Di Pilkada Jakarta tahun 2017, Anies-Sandiaga Uno menang atas Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, juga disokong penguasa, dalam dua putaran Pilkada yang akan dikenang sebagai laga politik terpanas dan "membelah" warga ibu kota.
Progresivitas MK terbit selepas tragedi etis yang menyebab nakhodanya, Anwar Usman, terpental dari kursi ketua MK.
Di masa Anwar, MK mengubah syarat minimal usia capres dan cawapres sehingga memberi jalan keponakannya, Gibran Rakabuming (putra sulung Jokowi) maju di gelanggang Pilpres.
Gara-gara insiden itu tampuk ketua MK beralih pada Suhartoyo. Sementara Saldi Isra menjadi wakil ketua MK.
Lima belas hari setelah pemilu serentak 2024, MK memutus perkara yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Putusan nomor 116/PUU-XXI/2023 itu sangat maju: MK meminta agar ketentuan parliamentary threshold sebesar empat persen diubah mulai Pemilu 2029 mendatang. Ambang batas ini telah menyebabkan PPP dan PSI gagal masuk Dewan Perwakilan Rakyat.
Keputusan ini dapat menjadi bola liar. Bisa saja threshold ini dihapus sama sekali seperti disinggung Partai Demokrat atau diturunkan.
Namun kalau diturunkan, berapa angka yang ideal dan konstitusional? Sebelumnya parliamentary threshold ini diberlakukan secara progresif (naik dari pemilu ke pemilu).
Keputusan yang paling progresif, menurut saya, ketika MK memberi kado tahun baru berupa penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).
Putusan nomor 62/PUU-XXII/2024 dibacakan MK sehari setelah rakyat Indonesia merayakan Tahun Baru 2025. Penantian berbagai pihak selama lebih dari 30 kali mengajukan judicial review terbayar.
Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum menyebutkan perubahan kiblat benteng konstitusi.
"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945," jelas Saldi (www.mkri.id, 2 Januari 2025).
Keputusan menyangkut presidential threshold ini memastikan seluruh parpol boleh memajukan pasangan capres-cawapres. Tak lagi dibatasi sebagaimana berlaku sejak Pilpres 2004 hingga 2024.
Agar jumlah kontestan tidak meledak, MK meminta DPR dan pemerintah melakukan rekayasa konstitusional.
Tercatat tokoh seperti Rizal Ramli, Hadar N Gumay, Titi Anggraini hingga Gatot Nurmantyo pernah mengajukan uji materi soal ini.
Namun Rizal, oposan dan raja kritik itu tak sempat menyaksikan putusan maju dari MK. Malam hari pukul 19.30 WIB tepat di saat MK mengumumkan putusan bersejarah itu, Rizal Ramli meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta karena sakit.
Dalam wawancara dengan saya ketika memproduksi dokumenter "Belenggu Demokrasi Kriminal" tahun 2023, Rizal Ramli mengungkap kegilasahannya atas praktik demokrasi yang menggunakan ambang batas dalam pencalonan presiden dan wakil presiden serta pencalonan kepala daerah itu.
Menurut Rizal, ketentuan tadi bikin demokrasi kita menjadi mahal karena untuk mengantongi tiket, calon kepala daerah atau capres dan cawapres harus "membeli" dari partai politik.
Besarannya fantastis, lanjut Rizal, dan bikin geleng-geleng kepala. Politik dengan uang besar, politik uang (money politics) hingga ongkos politik yang juga besar menyebabkan negara kita tersandera "demokrasi kriminal", sebut aktivis jebolan Institut Teknologi Bandung itu.
Sekarang, seluruh threshold di ajang pilkada, pileg dan pilpres sudah rontok--dijebol oleh MK yang progresif. Terakhir, gelaran pemilu ditata ulang oleh MK. Lagi-lagi setelah Perludem melakukan uji materi atau judicial review.
Pemilu serentak rangkap dua tak ada lagi. Sebaliknya pemilu nasional dan pemilu lokal harus digelar secara terpisah dengan jarak waktu antara dua tahun hingga 2,5 tahun. Artinya kontinyuitas pemilu lima tahunan terpatahkan.
Pemilu lokal (memilih kepala daerah dan anggota DPRD provinsi, kabupaten, kota) paling cepat dilaksanakan tahun 2031 mendatang. Artinya tujuh tahun setelah 2024.
Pantas jika partai seperti Nasional Demokrat merespons keras keputusan MK terbaru. Nasdem menilai MK telah melanggar konstitusi, karena Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 menyatakan pemilu diselenggarakan tiap lima tahun sekali.
Nasdem menyebut saat ini ada krisis konstitusional selepas putusan MK yang memisah pemilu nasional dan pemilu lokal.
"Partai Nasdem mendesak DPR untuk meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya," ujar anggota Majelis Tinggi DPP Partai Nasdem Lestari Moerdijat saat membacakan sikap resmi Partai Nasdem (Kompas.com, 1 Juli 2025).
Respons ini menjelaskan panasnya tensi politik. Sebagian--kalau bukan banyak--argumentasi MK memisahkan dua pemilu, nasional dan lokal, menerbitkan polemik.
Dari waktu yang berdekatan menyebabkan rakyat jenuh, partai politik kurang waktu untuk menyiapkan kader terbaik di pilkada hingga tenggelamnya isu pembangunan di daerah oleh isu nasional dan lain-lain.
Salah satu yang bagus dan maju, mungkin ini bagian dari "angsa hitam", adalah poin MK menyatukan pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dengan pemilihan kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota).
Dengan cara ini kader atau tokoh yang maju sebagai caleg dituntut memiliki ide, konsep dan kreativitas mandiri untuk meyakinkan pemilih di provinsi/kabupaten/kota tempat ia bertarung.
Tak ada lagi "menumpang" kampanye pada caleg DPR atau pusat. Caleg dipandu untuk fokus mendalami masalah pembangunan di tingkat lokal dan mencari solusi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat lokal.
Namun demikian, harus dikatakan berulang-ulang: Bongkar pasang soal keserentakan pemilu menembak hal yang cukup serius. Selama ini racikan penyelenggaraan pemilu di negeri kita tambal sulam. Seolah-olah tanpa arsitek.
Saya mengikuti gonta-ganti sistem pemilihan anggota DPR sejak 2003. Saking tanpa arsiteknya, sistem proporsional tertutup yang dijalankan di masa Orde Baru sempat diusulkan kembali.
Sekarang, DPR mungkin menjadi alamat kritik dan harapan publik. Terutama karena banyaknya hal yang harus diatur ulang: Mulai berapa besaran parliamentary threshold yang pas; rekayasa sistem agar pencalonan capres dan cawapres tidak memasung, tapi tidak meledak sampai tak masuk akal; serta menerjemahkan dua pemilu yang harus diselenggarakan secara terpisah.
Seluruh pihak, wabilkhusus partai politik dan DPR, tak perlu reaktif merespons putusan MK yang terakhir.
MK adalah lembaga negara produk amandemen UUD 1945. Keberadaannya vital dan superpenting sebagai benteng konstitusi. Jangan sampai niat, seperti diungkapkan Nasdem, agar DPR memanggil MK berujung konflik antarlembaga.
Dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya, MK itu menggunakan prinsip independensi dan imparsialitas.
Saya kira keputusan terbaru itulah penjelasan resmi MK. Mereka tak perlu datang ke gedung DPR untuk menjelaskan atau berdiskusi lagi. Independensi dan muruah MK harus dijaga dan dihormati.
Saat ini mungkin sebagian pihak masih kaget, tapi masih cukup waktu untuk meredesain pemilihan umum 2029 secara berkualitas dan diterima banyak pihak. Bagaimana pun keputusan MK itu final dan mengikat.
Karena itu interpretasi atau tafsir yang bertolak belakang dengan putusan MK yang sudah terang-benderang, wajib diredam.
Ide atau gagasan memisah pemilu eksekutif dan legislatif contohnya yang mencuat dari seorang politikus tentu saja tidak relevan. Itu sama saja dengan kembali pada praktik pemilu 2004-2014. Pendek kata pemilu kita cuma ada dua, yakni pemilu nasional dan pemilu lokal.
Meski tahun 2029 masih lama, putusan terbaru MK yang mengguncang ihwal pemisahan pemilu, memberi alasan DPR dan pemerintah untuk selekas mungkin merevisi UU Pemilu, UU Pilkada dan Undang-Undang terkait.
Revisi dua beleid pertama masuk program legislasi nasional tahun 2026. Apakah ini harga mati? Tidakkah situasi dan kondisi saat ini mendesak, genting dan urgen untuk dipercepat?
Lebih cepat lebih baik, setidaknya dapat mendinginkan suasana. Terlebih lagi banyak yang harus dikaji, dibahas dan dikonsolidasikan. Iya, sembari berharap tak ada lagi guncangan "angsa hitam".
Tag: #angsa #hitam #balik #progresivitas