



12 Posisi Dubes Kosong di Tengah Krisis Global
INDONESIA kini menghadapi tantangan serius dalam tata kelola diplomasi luar negeri. Sebanyak 12 pos kedutaan besar Republik Indonesia saat ini tidak memiliki duta besar definitif.
Kekosongan ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan berpotensi melemahkan daya tawar dan kehadiran strategis Indonesia di kancah global, terutama di tengah dinamika geo-politik dan geo-ekonomi yang terus berubah secara cepat dan tak menentu.
Fakta ini terungkap dalam rapat Komisi I DPR RI bersama Menteri Luar Negeri Sugiono pada 30 Juni 2025.
Wakil Ketua Komisi I DPR, Anton Sukartono Suratto, mengungkapkan bahwa kursi dubes RI di sejumlah negara mitra penting seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, hingga PBB di New York dan Jenewa masih kosong.
Bahkan posisi dubes RI untuk Korea Utara telah kosong sejak 2021, akibat pandemi dan belum juga diisi hingga kini. Selain itu, beberapa dubes lainnya segera akan memasuki akhir masa tugas.
Kekosongan posisi ini sangat mengkhawatirkan karena kedutaan besar merupakan representasi utama negara dalam hubungan bilateral maupun multilateral.
Di tengah lanskap dunia yang kian penuh ketegangan dan persaingan, diplomasi tidak bisa dijalankan dengan autopilot.
Ketidakhadiran seorang dubes di negara tujuan membuat komunikasi tingkat tinggi terhambat, kerja sama strategis stagnan, dan perlindungan warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri menjadi kurang optimal.
Pilar utama diplomasi global
Dalam kerangka politik luar negeri bebas-aktif, posisi duta besar memiliki tiga fungsi utama yang tak tergantikan, yakni menjembatani hubungan politik, memperkuat kerja sama ekonomi, dan melindungi WNI di negara tujuan.
Tanpa dubes, fungsi-fungsi tersebut tidak bisa dijalankan secara maksimal, terlebih di negara-negara dengan kepentingan strategis tinggi bagi Indonesia.
Sebagai contoh, ketiadaan dubes Indonesia di Amerika Serikat (mitra utama dalam bidang pertahanan, perdagangan, dan teknologi) sejak 2023, membuat kita kehilangan peluang untuk memperkuat hubungan bilateral yang dinamis.
Hal yang sama terjadi di Jerman dan Jepang, dua kekuatan ekonomi dunia yang memiliki kedekatan historis dan kepentingan ekonomi besar dengan Indonesia.
Ketidakhadiran duta besar di PBB, baik di New York maupun Jenewa, juga melemahkan posisi Indonesia dalam diplomasi multilateral, terutama dalam isu-isu hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan perdamaian global.
Di Korea Utara, meskipun hubungan diplomatik terbatas, keberadaan kedutaan besar tetap penting sebagai bagian dari misi perdamaian dan stabilitas kawasan.
Penarikan dubes sejak pandemi tanpa pengganti hingga kini mencerminkan kurangnya perhatian terhadap kelengkapan struktur perwakilan Indonesia di luar negeri.
Ironisnya, kekosongan posisi dubes ini terjadi pada saat dunia sedang memasuki fase ketidakpastian geopolitik yang sangat tinggi.
Ketegangan antara Amerika Serikat dan China di kawasan Indo-Pasifik terus meningkat, terutama di sekitar Selat Taiwan, yang kini menjadi salah satu hot spot keamanan global.
Indonesia memang tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan, tapi lebih dari 300.000 WNI bekerja di sana.
Jika konflik terbuka pecah, Indonesia harus siap dengan skenario evakuasi besar-besaran yang tentu memerlukan kecepatan dan akurasi informasi dari jalur diplomatik.
Konflik semacam ini juga bisa memicu disrupsi ekonomi besar-besaran di Asia Timur, yang secara langsung memengaruhi ekspor-impor Indonesia, stabilitas mata uang, hingga pasokan energi dan pangan.
Oleh karena itu, kesiapsiagaan diplomatik Indonesia sangatlah penting. Dan itu dimulai dari kelengkapan personel serta kualitas kepemimpinan di kedutaan besar.
Memperkuat kepemimpinan diplomatik
Situasi ini menjadi pengingat bahwa di tengah dinamika global yang kian kompleks, Indonesia membutuhkan Menteri Luar Negeri yang mampu memainkan peran sebagai arsitek utama kebijakan luar negeri, bukan hanya manajer diplomatik semata.
Di bawah kepemimpinan Menlu Sugiono, publik menaruh harapan agar proses diplomasi Indonesia ke depan bisa berjalan lebih proaktif, sistematis, dan strategis.
Terlebih di dalam kondisi dinamika global yang tidak menentu saat ini, Menlu harus menunjukkan kapasitas analitis yang tajam dan kemampuan membaca gejala-gejala (symptom) perubahan politik, keamanan, dan ekonomi global.
Sebab, tantangan ke depan tidak hanya datang dari perang terbuka, tetapi juga dari perubahan iklim, disinformasi, krisis energi, dan teknologi disruptif.
Maka, diplomasi Indonesia perlu dikelola oleh tim yang solid, cepat tanggap, dan mampu membangun aliansi strategis berdasarkan kepentingan nasional jangka panjang.
Di tengah dunia yang bergejolak, diplomasi tidak bisa dijalankan secara setengah hati. Kekosongan posisi duta besar di 12 negara sahabat bukanlah sekadar kelalaian administratif, tetapi alarm keras yang menandakan lemahnya antisipasi strategis dalam penugasan pejabat luar negeri.
Padahal, dalam konteks politik luar negeri Indonesia yang menganut prinsip bebas aktif, kehadiran duta besar di setiap negara mitra merupakan representasi konkret dari keaktifan Indonesia dalam tatanan dunia internasional.
Apresiasi layak diberikan kepada Komisi I DPR RI yang bersikap kritis dan responsif terhadap masalah ini.
Mereka tidak hanya menyoroti kekosongan, tetapi juga mendorong percepatan proses penunjukan melalui mekanisme fit and proper test.
Fungsi pengawasan yang dijalankan Komisi I merupakan bagian integral dari sistem checks and balances dalam sistem demokrasi presidensial.
Dalam kerangka teoritis, peran legislatif sebagai accountability agent terhadap kebijakan luar negeri eksekutif, sebagaimana dijelaskan oleh John G. Ikenberry dalam kajian institusionalisme liberal, membantu mencegah konsentrasi kekuasaan dalam satu tangan dan memastikan bahwa diplomasi berjalan sesuai dengan kepentingan publik dan konstitusi.
Data dari Kementerian Luar Negeri RI menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 132 perwakilan diplomatik di luar negeri, terdiri dari 95 Kedutaan Besar (KBRI), 30 Konsulat Jenderal (KJRI), dan 7 Konsulat.
Dengan 12 posisi duta besar yang kosong, artinya sekitar 12,6 persen KBRI Indonesia tidak memiliki kepala misi definitif.
Angka ini tentu mengganggu fungsi representasi diplomatik, terutama mengingat beberapa di antaranya merupakan negara mitra strategis dalam ekonomi, keamanan, dan multilateralisme.
Dari perspektif constructivist diplomacy, identitas, persepsi, dan kehadiran simbolik negara memiliki makna signifikan dalam interaksi antarnegara.
Kekosongan dubes, khususnya di negara-negara besar, bisa ditafsirkan sebagai sinyal lemahnya perhatian atau bahkan ketidakseriusan dalam membangun hubungan bilateral.
Negara mitra mungkin mempertanyakan komitmen politik kita, yang pada gilirannya dapat berdampak pada kualitas kerja sama ekonomi, keamanan, maupun diplomasi budaya.
Sebaliknya, pengisian cepat dan tepat terhadap posisi dubes akan mengirimkan pesan kuat bahwa Indonesia siap hadir dan terlibat aktif dalam percaturan dunia.
Bukan hanya sebagai pengamat, tetapi sebagai aktor yang mampu mengartikulasikan kepentingannya secara cerdas, strategis, dan bermartabat.
Dengan kepemimpinan Kementerian Luar Negeri yang visioner, sistem seleksi dubes berbasis meritokrasi, serta penguatan fungsi legislatif dalam pengawasan kebijakan luar negeri, Indonesia dapat memperkuat diplomasi luar negeri sebagai instrumen utama untuk mencapai kepentingan nasional di tengah lanskap global yang penuh ketidakpastian.
Karena pada akhirnya, diplomasi yang kredibel hanya mungkin tercipta jika negara hadir secara utuh, baik secara kelembagaan maupun personal, di setiap titik penting dunia.