



Subsidi Pemerintah untuk Peningkatan Layanan Commuter Line
KEBERADAAN Kereta Rel Listrik Commuter (KRL CL) telah menjadi sarana transportasi pilihan warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) sejak 1 Juli 2013. Kala itu, layanan KRL Jabodetabek perdana menerapkan tiket kartu (electronic ticketing), satu kartu untuk satu orang. Langkah ini adalah buah transformasi layanan perkeretaapian yang diinisiasi Direktur Utama PT KAI kala itu, Ignasius Jonan.
Bersamaan dengan penerapan tiket kartu elektronik, dilakukan pula pembenahan pelayanan sehingga CL akan berjalan ketika semua pintu telah tertutup. Hanya calon penumpang yang sudah tap-in di gate yang dapat masuk peron. Tidak ada lagi penumpang di atas atap kereta. Semua kereta pun telah menggunakan AC. Dengan begitu, aspek keselamatan, keamanan, dan kenyamanannya terjamin.
Sebagai bentuk dukungan nyata terhadap layanan perekeretaapian nasional, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan saat itu memberikan subsidi lebih dari Rp 704 miliar kepada PT KAI. Dari angka tersebut, Rp 286 miliar dialokasikan untuk mendukung layanan KRL CL yang dioperasikan oleh PT KCJ (Kereta Commuter Jabodetabek).
Subsidi tersebut pun menjadikan tarif progresif KRL CL lebih murah. Saat itu, penumpang hanya membayar Rp 2.000 untuk lima stasiun pertama, dan setiap tiga stasiun berikutnya, hanya Rp 500.
Sebelumnya, tarif yang berlaku adalah Rp. 3.000 untuk lima stasiun pertama, dan Rp 1.000 setiap tiga stasiun berikutnya. Penurunan tarif tersebut menyebabkan para pengguna KRL CL harian bisa menghemat biaya transportasi sampai Rp. 3.000 per hari
Sebagai gambaran, tarif rute Bogor–Kota sebelumnya bisa sampai Rp. 9.000. Setelah penyesuaian, tarifnya hanya Rp. 6.000. Penyesuaian tarif terakhir dilakukan pada 2016, tapi tetap terjangkau oleh warga Jabodetabek.
Dampak dari transformasi layanan tersebut adalah jumlah pelanggan KRL CL meningkat signifikan. Hanya dalam waktu sepekan, penumpang KRL CL naik dari 456.323 orang, kemudian menjadi 503.549 orang (naik 47.226), dan setahun kemudian (Juli 2014) meningkat menjadi 693.209 orang per hari atau dalam setahun meningkat sebanyak 236.886.
Kenaikan jumlah pelanggan KRL CL berlangsung terus secara konsisten. Pada akhir 2019, total jumlah pelanggan yang diangkut selama setahun mencapai 336.045.000 orang atau rata-rata 920.671 orang per hari.
Pada 2020, tepatnya saat pandemi Covid-19 melanda, jumlah pelanggan KRL CL terkoreksi mengalami titik terendah, yaitu 154.591.000 atau rata-rata 423,537 orang per hari (2020). Tahun berikutnya, angka itu semakin menurun menjadi 126.740.000 pelanggan atau rata-rata 347.233 penumpang per hari.
Namun, seiring dengan berakhirnya pandemi Covid 19, jumlah pelanggan CL mulai meningkat kembali. Selama 2022, CL berhasil mengangkut 217.965.000 pelanggan atau rata-rata 597.164 pelanggan per hari.
Pada 2023, jumlahnya naik menjadi 290.891.000 pelanggan atau rata-rata 796.962 pelanggan per hari. Pada 2024, jumlah pelanggan CL telah mencapai 328.154.000 atau rata-rata 899.052 pelanggan per hari, dengan pelanggan tertinggi pada hari kerja telah mencapai 1,1 juta pelanggan per hari.
Layanan KRL CL sekarang tidak hanya berada di wilayah Jabodetabek saja, tapi meluas ke wilayah Banten, Bandung, Solo–Yogya, dan Surabaya–Sidoarjo. Nama PT KCJ kemudian berganti nama menjadi PT KCI (Kereta Commuter Indonesia), sesuai dengan meluasnya cakupan layanannya.
Dukungan prasarana dan sarana
Seiring bertambahnya jumlah pelanggan dan meluasnya cakupan layanan, PT KAI bersama DJKA Kementerian Perhubungan melakukan perbaikan fasilitas prasarana, seperti stasiun dan peron, serta penambahan sarana (kereta).
Sejumlah stasiun KRL CL pun telah direnovasi yang cukup signifikan. Ini tampak di Stasiun Duri, Tanah Abang, Manggarai, Jatinegara, Palmerah, Kebayoran, dan Bogor sehingga menjadi lebih aksesibel bagi semua warga.
Grafik perjalanan kereta api juga meningkat dari tahun ke tahun. Saat permulaan penerapan tiket kartu (2013), perjalanan kereta baru 575 perjalanan per hari. Setahun kemudian (2014), meningkat menjadi 645 perjalanan. Bahkan, sebelum pandemi Covid-19 melanda, tepatnya pada 2019, CL melayani 1.057 perjalanan per hari.
Meski sempat mengalami penurunan pada 2020 menjadi 997 perjalanan per hari dan 2021 turun lagi menjadi 839 perjalanan per hari, perjalanan kereta kembali naik menjadi 1.100 per hari seiring berakhirnya pandemi Covid-19.
Manager Public Relations KAI Commuter Leza Arlan memaparkan pada 2025, KCI diproyeksikan akan melayani 370,92 juta pengguna. Jumlah tersebut meningkat sebesar 11 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 334,29 juta pengguna.
Leza juga menambahkan bahwa dalam kurun 5 tahun terakhir, tren pengguna KRL terus mengalami peningkatan seiring bertambahnya wilayah operasional layanan kereta komuter di wilayah Pulau Jawa.
Saat ini, layanan kereta komuter yang dikelola KAI Commuter tersebar di sejumlah wilayah di Pulau Jawa.
Di kawasan Jabodetabek dan sekitarnya, tersedia layanan Commuter Line Jabodetabek, Commuter Line Merak (Banten), serta Commuter Line Walahar dan Jatiluhur yang melayani wilayah Karawang, Cikampek, dan Purwakarta.
Untuk wilayah Bandung dan sekitarnya, tersedia Commuter Line Bandung Raya dan Commuter Line Cibatuan yang menjangkau hingga Garut.
Sementara itu, di kawasan Kutoarjo, Yogyakarta, Surakarta, dan Karanganyar, KAI Commuter mengoperasikan Commuter Line Yogya–Palur dan Prameks. Adapun layanan Commuter Line yang menghubungkan Surabaya dengan berbagai kota di Jawa Timur juga berada di bawah pengelolaan KAI Commuter.
Meningkatnya jumlah perjalanan tentu dapat terwujud karena dukungan prasarana dan sarana yang memadai. Tanpa prasarana dan sarana memadai, manajemen PT KCI tidak mungkin dapat menambah frekuensi perjalanan kereta harian.
Saat ini, dukungan yang diberikan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan sarana adalah diizinkannya PT KAI melalui PT KCI melakukan pengadaan sarana baru, baik dari China maupun dari dalam negeri (PT INKA). Pengadaan sarana baru ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan perjalanan warga Jabodetabek, Bandung, Banten, Yogya–Solo, dan Surabaya.
Dukungan PSO
Public service obligation (PSO) adalah suatu bentuk kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi operator layanan publik,
Kebijakan itu diterapkan karena ada disparitas (perbedaan) harga pokok penjualan BUMN dengan harga yang ditetapkan pemerintah agar pelayanan produk atau jasa tetap terjamin dan terjangkau oleh publik.
Leza menyampaikan bahwa layanan kereta perkotaan PSO merupakan peran pemerintah, dalam hal ini DJKA, dalam menyediakan transportasi yang terjangkau dan dapat dinikmati oleh semua kalangan masyarakat, terutama para pekerja harian atau pekerja dari sektor riil, seperti pedagang dan petani.
“Layanan ini juga merupakan bagian dari upaya KAI Commuter dalam mendukung perekonomian rakyat dengan menyediakan transportasi yang terjangkau, aman, dan nyaman, serta mendukung upaya Pemerintah dalam mengurangi kemacetan di area perkotaan,” ujarnya.
Leza Arlan menambahkan, keberadaan kereta perkotaan dengan skema PSO memungkinkan masyarakat dari berbagai lapisan ekonomi menikmati layanan transportasi yang terjangkau dan nyaman. Layanan ini juga mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang dilalui serta membuka peluang usaha bagi masyarakat sekitar.
“Dengan tarif yang lebih murah, pelajar, pekerja, dan pelaku usaha kecil dapat bepergian tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam. Mereka bisa lebih berhemat dan mengalokasikan anggaran untuk kebutuhan lainnya,” ujar Leza.
Ia menegaskan, KAI Commuter terus berupaya menjadikan kereta perkotaan PSO sebagai layanan transportasi yang inklusif, kompetitif, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat luas.
“Layanan ini juga berkontribusi pada penguatan ekonomi kerakyatan sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia,” tutup Leza.
PSO yang diberikan kepada PT KCI melalui PT KAI sebagai induknya dimaksudkan agar PT KCI tetap dapat menjaga atau bahkan meningkatkan kualitas layanan tanpa menambah beban tarif kepada pengguna.
Jika operator (PT KCI) tidak diperbolehkan menaikkan tarif untuk menjaga mutu layanan, maka konsekuensi logisnya adalah pemerintah perlu menambah PSO. Ini mengingat kebutuhan operasional dan layanan meningkat.
Bila mencermati perkembangan PSO yang diterima oleh PT KCI selama lima tahun terakhir (2020-2024), tampak jelas ada dinamika naik turun.
2020: Rp 1.551.824.392.000
2021: Rp 2.250.393.357.785
2022: Rp 1.617.651.766.169
2023: Rp 2.120.077. 105.800
2024: Rp 2.183.880. 490.000
Demi menjaga dan meningkatkan layanan PT KCI, besaran PSO itu seharusnya tidak fluktuatif, tetapi berbanding lurus dengan jumlah pelanggan yang diangkut atau ditargetkan untuk diangkut setiap tahunnya.
Sebab, bila besaran PSO fluktuatif, sedangkan target jumlah pelanggan yang harus diangkut meningkat dan KCI tidak boleh menaikkan tarif, siapa yang harus menanggung kekurangan biaya operasionalnya?
Jadi, komitmen pemerintah untuk menjaga konsistensi kenaikan PSO amat penting dan mutlak diperlukan apabila pemerintah mengharapkan makin banyak jumlah pelanggan yang harus diangkut oleh PT KCI setiap tahunnya, tanpa menaikkan tarif.
Besaran PSO boleh saja turun, tetapi PT KCI perlu diberikan hak untuk penyesuaian tarif.
Tag: #subsidi #pemerintah #untuk #peningkatan #layanan #commuter #line