Pembaruan Perspektif Penulisan Sejarah Kebangsaan Indonesia di Era Digital
Kongres pemuda seluruh Indonesia yang digelar di Yogyakarta pada 10 November 1945.(Wikipedia)
07:02
23 Juni 2025

Pembaruan Perspektif Penulisan Sejarah Kebangsaan Indonesia di Era Digital

RENCANA penulisan ulang Sejarah Kebangsaan Indonesia menuai beragam tanggapan dari berbagai kalangan.

Dianggap sebagai peluang untuk mengoreksi historiografi yang sentralistis dan elitis, inisiatif ini juga memunculkan kekhawatiran terhadap motif, arah, dan metode yang digunakan dalam prosesnya.

Kegiatan ini dikhawatirkan menjadi proyek kejar tayang sekaligus menjadi semacam kegiatan seremonial prestisius semata. Kegiatan ini juga dicurigai akan memasukkan Soeharto sebagai pahlawan nasional.

Demikian juga proyek penulisan kembali sejarah kebangsaan Indonesia ini dicurigai akan menggelapkan Sejarah Perempuan dan peristiwa besar lain yang merupakan prestasi Presiden Sukarno.

Di luar itu banyak masukan dan kritik yang muncul karena kekhawatiran yang menekankan perlunya menjaga sejarah dari manipulasi untuk propaganda atau legitimasi kekuasaan.

Sejarah harus jujur, terbuka, dan berani mengakui sisi-sisi kelam masa lalu demi integritas akademik dan keadilan ingatan kolektif.

Dalam konteks ini, muncul dorongan yang semakin kuat agar penulisan ulang sejarah kebangsaan dilakukan dengan pendekatan yang lebih inklusif, adil, demokratis, dan reflektif.

Artinya, narasi sejarah harus memberi tempat bagi kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan, seperti masyarakat adat, perempuan, minoritas, dan komunitas lokal, yang kontribusinya sering diabaikan.

Dengan cara ini, sejarah bukan sekadar karya ilmiah, tetapi juga sarana rekonsiliasi memori kolektif dan pembentukan masa depan yang lebih setara.

Di tengah perubahan besar abad ke-21, mulai dari derasnya arus globalisasi, kebangkitan identitas lokal, hingga transformasi teknologi digital, penulisan Sejarah Kebangsaan Indonesia harus mengalami pembaruan.

Hal ini mencakup penguatan pada aspek pengayaan fakta, penggunaan sumber sejarah yang kredibel, dan penyempurnaan metodologis.

Model historiografi lama yang dinilai bersifat sentralistik dan normatif, seperti yang tampak dalam SNI 1975, kini dianggap tidak lagi memadai.

Diperlukan suatu pendekatan baru yang lebih inklusif, multivokal, partisipatif, serta adaptif terhadap ekosistem digital.

Tujuannya adalah menghasilkan narasi sejarah yang mampu merangkul aspirasi lokal, membangun identitas nasional, dan menginternalisasi nilai-nilai global secara bermakna bagi generasi muda.

Karena itu, artikel ini akan fokus pada inovasi metodologi yang bisa dilakukan oleh Tim Penulis Sejarah Kebangsaan Indonesia yang terutama mencakup paling tidak tiga aspek utama: keterbukaan terhadap keberagaman suara (inklusif dan multivokal), penguatan sejarah lokal sebagai fondasi kebangsaan, serta pembentukan narasi yang kritis dan reflektif.

Perspektif inklusif dan multivokal

Tidak bisa dipungkiri bahwa konsep kebangsaan Indonesia memang bukan berwajah monolit tunggal, melainkan lukisan yang terbentuk dari berbagai suara, pengalaman, dan interpretasi yang saling berinteraksi.

Oleh sebab itu, upaya untuk memahami sejarah kebangsaan Indonesia secara inklusif dan multivokal berarti mengakui keragaman narasi, melampaui versi resmi yang secara konvensional selama ini seringkali disederhanakan, dan memberi ruang bagi kelompok serta perspektif yang selama ini merasa terpinggirkan.

Hal ini disasari atas pemikiran sebagaimana yang digagas oleh Anderson mengenai nasionalisme sebagai "komunitas terbayang" yang inklusif (Anderson: 2006).

Anderson berargumen bahwa Nasionalisme Indonesia lahir dari proses membayangkan komunitas bersama yang melampaui ikatan lokal (suku, ras, agama, kelompok) meskipun para anggotanya tidak saling kenal.

Proses "pembayangan" ini sudah barang tentu secara inheren bersifat inklusif karena terbuka bagi siapa saja yang merasa bagian dari "Indonesia" yang dibayangkan itu, terlepas dari latar belakangnya.

Mereka bisa mencakup keturunan orang Belanda yang sebelumnya dikategorikan sebagai penjajah, keturunan Timur Asing yang secara umum ‘lebih dekat’ dengan penjajah, atau pun mungkin orang-orang yang sebelumnya berkedudukan sebagai ‘antek’ penjajah, dan tentu saja orang-orang pribumi.

Inklusivitas awal yang muncul sejak awal abad ke-20 berupa gerakan kebangsaan awal seperti Sarekat Islam, Budi Utomo, Indische Partij, dan sebagainya yang mencoba merangkul berbagai kelompok (meski dengan dinamika internalnya sendiri).

Sumpah Pemuda 1928 adalah puncak simbolis inklusivitas ini, yang menggelorakan satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung tinggi satu bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang mampu menjembatani keragaman etnis dan budaya.

Imajinasi ‘Keindonesiaan’ telah mempersatukan mereka untuk menapaki era baru sebagai sebuah bangsa untuk mewujudkan cita-cita mereka bersama, yaitu kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, dalam wadah negara-bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Harus diakui bahwa inklusivitas dalam pembentukan identitas nasional merupakan proses dinamis yang sarat problematika.

George McTurnan Kahin (1952) dalam Nationalism and Revolution in Indonesia menyoroti ketegangan antara kebutuhan akan persatuan melawan kolonialisme dan realitas sosial yang penuh keragaman serta konflik internal, seperti pemberontakan PKI/Muso 1948 dan DI/TII.

Meskipun Proklamasi 1945 menjadi titik pemersatu yang relatif inklusif, dinamika perpecahan tetap berlangsung.

Perdebatan seputar identitas nasional terus berlanjut hingga kini—apakah Indonesia adalah negara Muslim, negara sekuler, atau negara Pancasila—melibatkan berbagai kelompok ideologis dan agama (Sidel, 2012).

Henk Schulte Nordholt (2003) bahkan mencatat bangkitnya kembali identitas lokal dan etnis pasca-Reformasi yang menuntut ruang dalam narasi nasional.

Fenomena ini menunjukkan bahwa identitas kebangsaan selalu berada dalam proses negosiasi yang rentan ditarik oleh kepentingan dominan.

Tanpa peran aktif negara dalam merawat inklusivitas, tidak tertutup kemungkinan identitas keindonesiaan mengalami disrupsi di tengah jalan.

Dalam tataran realitas sejarah, inklusifitas mendapatkan tantangan dalam konteks ketidaksetaraan yang berupa dominasi dan marginalisasi.

Meskipun Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dirancang sebagai payung inklusif, namun sejarah menunjukkan bahwa inklusivitas seringkali bersyarat dan tidak merata.

Kelompok tertentu (minoritas agama tertentu, penganut kepercayaan tradisional, masyarakat adat, perempuan, kelompok sosial ekonomi bawah) kerap mengalami marginalisasi dalam narasi dan praktik kebangsaan.

Dengan demikian, historiografi kebangsaan yang kritis harus berusaha mengonstruksi narasi yang inklusif sebagaimana nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Pendekatan multivokal dalam menarasikan sejarah kebangsaan bertujuan melampaui narasi tunggal yang selama ini cenderung Jakarta-sentris atau Jawa-sentris.

Sejarah Indonesia perlu ditulis sebagai sejarah dari “banyak pusat” (multicenters), mengingat kontribusi terhadap kebangsaan berasal dari berbagai daerah, etnis, agama, kelas sosial, dan ideologi.

Karya Reid (1979) dan Schulte Nordholt (1996) menegaskan bahwa perjuangan lokal di Aceh, Sumatera Timur, atau Bali memiliki dinamika tersendiri yang tak selalu sejalan dengan narasi pusat.

Sandra Pannell (2006) bahkan menunjukkan bahwa masyarakat adat di Maluku Tenggara kerap mengalami negara secara berbeda, bahkan dalam bentuk resistensi.

Oleh karena itu, sejarah kebangsaan yang inklusif harus memberi ruang bagi keberagaman perspektif, tanpa kehilangan orientasi dalam kerangka formasi identitas nasional dan proses menjadi Indonesia.

Sejarah kebangsaan Indonesia yang inklusif dan multivokal harus mengakui bahwa bangsa ini adalah komunitas terbayang yang terus mengalami proses formasi, sebagaimana dikemukakan oleh Anderson.

Narasi sejarah tidak boleh bersifat sentralistik dan monolitik, melainkan perlu membuka ruang bagi kajian-kajian regional, kelompok marginal, naskah tradisional, serta dinamika agama-politik untuk memperkaya perspektif.

Dalam konteks era digital, sejarah kebangsaan harus mengakomodasi tarik-ulur dan ketegangan dalam proses inklusivitas, serta bersikap kritis terhadap dominasi, marginalisasi, dan bias dalam sumber-sumber sejarah.

Mewujudkan historiografi yang multivokal bukanlah bentuk penolakan terhadap Pancasila atau persatuan, melainkan justru menegaskan bahwa kekuatan Indonesia terletak pada kemampuannya merangkul keragaman sebagai inti dari jati dirinya, dalam bingkai Pancasila dan keindonesiaan yang hidup serta terus diperbarui.

Lokalitas sebagai pilar identitas nasional

Identitas nasional Indonesia sering diasumsikan sebagai kesatuan monolitik yang menenggelamkan perbedaan lokal.

Namun, kajian historis dan kultural menunjukkan bahwa kekuatan bangsa justru muncul dari kemampuan mengintegrasikan pluralitas lokal.

Dalam era digital, penulisan sejarah kebangsaan harus mengakui bahwa lokalitas bukanlah hambatan, melainkan fondasi esensial identitas nasional.

Sejarah nasional harus menggali peran lokal yang bisa meliputi tradisi, nilai-nilai, struktur sosial, dan pengalaman sejarah daerah yang berkontribusi secara fundamental terhadap makna kebangsaan.

 

Konsep “komunitas terbayang” yang diperkenalkan oleh Anderson menekankan bahwa bangsa dibentuk melalui imajinasi bersama, dan keragaman lokal justru menjadi bahan konstruksi utama identitas nasional melalui bahasa, media, dan birokrasi kolonial yang merengkuh berbagai komunitas di Nusantara (Anderson: 2006).

Setiap lokalitas seperti Aceh, Minangkabau, Bali, Sulawesi, Maluku, Papua memiliki narasi unik (pahlawan, tragedi, kontribusi historis) yang tidak cukup hanya dianggap pelengkap; mereka bisa dipandang sebagai inti dari narasi nasional.

Konsep “Wawasan Nusantara” juga mempertegas pentingnya mengakui dan menghormati keragaman lokal sebagai pilar kesatuan bangsa .

Perspektif dalam penulisan sejarah kebangsaan di era abad ke-21 ini juga perlu melihat bahwa lokalitas ditempatkan sebagai fondasi identitas nasional. Ini bisa dilihat dari fenomena Sumpah Pemuda 1928 yang merupakan bentuk sintesis keragaman lokal.

Momentum Sumpah Pemuda perlu dilihat bukan sebagai upaya penyeragaman, melainkan pengakuan politik akan keragaman lokal (suku, bahasa daerah) di bawah satu payung identitas baru, yaitu Bangsa Indonesia.

Bahasa Melayu (menjadi Bahasa Indonesia) dipilih sebagai lingua franca karena kemampuannya menjembatani keragaman lokal, bukan menghapusnya.

Selain itu, nilai dan institusi lokal juga memiliki peran yang penting dalam perjuangan. Misalnya, nilai musyawarah dan mufakat serta struktur nagari pada masyarakat Minangkabau yang memengaruhi pola perjuangan dan pemikiran tokoh seperti Haji Agus Salim, Muhammad Hatta, Hamka, Muhammad Yamin, Sutan Sjahrir, dll. yang kemudian membentuk fondasi bagi dinamika demokrasi Indonesia (John T. Sidel: 2010).

Masyarakat Jawa barangkali memiliki kontribusi dalam nilai-nilai gotong royong dan etos kepemimpinan seperti termanifestasi dalam perjuangan Pangeran Diponegoro yang mungkin memberikan kerangka budaya bagi konsep solidaritas sosial dan kepemimpinan nasional.

Sistem banjar dan konsep keseimbangan dalam budaya Bali memberikan sumbangan mengenai model tata kelola komunitas yang unik, berkontribusi pada wacana tentang otonomi daerah dan harmoni sosial dalam konteks nasional.

Sejarah kebangsaan juga perlu menerapkan perspektif bahwa revolusi kemerdekaan merupakan hasil perjuangan yang bersifat multilokasi, bukan hanya terjadi di Jawa saja.

Perang mempertahankan kemerdekaan (1945-1949) terjadi di berbagai medan tempur lokal dengan strategi dan kepemimpinan khas daerah.

Pertempuran Surabaya, perang gerilya di Jawa Barat, perjuangan rakyat Aceh, dan perlawanan di Sulawesi Selatan oleh Kahar Muzakkar dan lain-lain, meski kompleks, menunjukkan betapa lokalitas menjadi arena aktualisasi semangat nasional.

Dalam perspektif ini Pancasila berkedudukan sebagai identitas bangsa dan sebagai payung inklusif bagi keragaman lokal.

Dengan demikian, sila "Persatuan Indonesia" tidak dimaksudkan sebagai penyeragaman, tetapi sebagai komitmen untuk bersatu dalam keragaman.

Pancasila dirumuskan sebagai philosophische grondslag (dasar filosofis) yang cukup abstrak dan fleksibel untuk menampung nilai-nilai luhur dari berbagai tradisi lokal.

Perspektif kritis-refleksif

Corak kritis-refleksif dalam penulisan sejarah kebangsaan mengacu pada pendekatan historiografis yang tidak sekadar mendeskripsikan peristiwa masa lalu, tetapi juga menganalisis, mengevaluasi, dan menginterpretasikan narasi sejarah secara sadar terhadap kepentingan ideologis, kekuasaan, dan konstruksi sosial yang menyertainya.

Pendekatan ini menempatkan sejarah sebagai wacana dinamis, yang terus dibentuk, diperdebatkan, dan direvisi berdasarkan konteks zaman.

Jadi pendekatan ini juga membuka ruang bagi rekonsiliasi, inklusivitas, dan pemahaman lebih autentik atas kompleksitas identitas nasional.

Sejarah merupakan ranah terbuka yang dapat diakses dan diproduksi oleh berbagai aktor—negara, lembaga nonpemerintah, korporasi, partai politik, maupun individu dengan beragam kepentingan (Abdullah, 2010).

Klaim bahwa suatu narasi sejarah bersifat lurus, objektif, dan bebas nilai sering kali menutupi kenyataan bahwa sejarah adalah konstruksi yang tak lepas dari posisi dan kepentingan penulisnya.

 

Foucault menegaskan bahwa sejarah dibentuk oleh praktik wacana yang menentukan siapa boleh bicara dan bagaimana peristiwa dikisahkan, sementara Kennedy (1979) dan Gardiner (1952) menekankan bahwa narasi sejarah berbeda dari masa lalu itu sendiri, ia adalah konstruksi dalam konteks sosial tertentu.

Oleh karena itu, kejujuran epistemologis penulis sejarah menjadi penting, termasuk dalam menyatakan posisi filsafat dan perspektifnya secara terbuka, agar pembaca dapat membaca dengan kritis.

Tidak ada sejarah yang final, absolut, atau sepenuhnya objektif; realitas masa lalu hanya dapat diakses secara terbatas melalui sumber yang selalu terbuka terhadap interpretasi (Purwanto & Adam, 2005).

Maka, klaim pelurusan sejarah justru bisa menyesatkan jika tidak disertai kesadaran atas batasan dan konstruktifitas sejarah itu sendiri.

Pertanyaan yang menggelitik adalah mengapa pendekatan kritis-refleksif ini diperlukan dalam penulisan sejarah kebangsaan Indonesia di era digital sekarang ini?

Seperti diketahui bahwa Sejarah Nasional Indonesia kerap dibentuk oleh narasi resmi yang didominasi oleh kepetingan rezim tertentu, bukan kepentingan negara. Ini terutama terjadi pada masa Orde Baru.

Selama ini, narasi ini dinilai cenderung memonopoli kebenaran dengan melarang berbagai narasi sejarah yang berbeda dengan versi pemerintah.

Selain itu, historiografi sejarah nasional masa Orde Baru juga dipandang meminggirkan kelompok subaltern (korban kekerasan negara, etnis minoritas, penganut kepercayaan adat), serta dipandang mengaburkan kepentingan politik di balik konstruksi sejarah.

Oleh sebab itu, pendekatan kritis-refleksif diperlukan sebagai respons terhadap problem ini, dengan menekankan bahwa sejarah bukanlah fakta objektif yang statis, melainkan konstruksi sosial yang dinamis, sarat kepentingan, dan oleh sebab itu perlu terus-menerus dikritisi dan ditulis ulang.

Pertanyaan penting yang muncul adalah: apa landasan epistemologis bagi historiografi sejarah kebangsaan yang kritis dan reflektif?

Dalam hal ini, dekonstruksi narasi sebagaimana dikemukakan Michel Foucault menjadi krusial. Ia menunjukkan bahwa narasi sejarah sering kali berfungsi sebagai alat legitimasi kekuasaan, dibentuk oleh wacana dominan yang membawa agenda tertentu (Foucault, 1972).

Senada dengan itu, Hans Küng (2002) menyatakan bahwa ilmu, termasuk sejarah, tidak pernah menghasilkan konsensus tetap dan senantiasa bergantung pada dinamika eksternal.

Oleh karena itu, proses konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi dalam penulisan sejarah adalah niscaya.

Misalnya, narasi sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia kerap mengutamakan pendekatan diplomatik yang dianggap rasional dan moderat, sementara perjuangan akar rumput tanpa kompromi kerap dicap ekstremis.

Narasi ini menunjukkan bias ideologis yang mereproduksi sudut pandang kolonial secara tidak langsung.

Dengan demikian, historiografi kebangsaan harus disadari sebagai produk seleksi narasi yang tidak netral, dan perlu dibaca secara kritis untuk membongkar relasi kuasa di baliknya.

Pandangan hegemonik dalam historiografi juga tertanam kuat dalam sistem pendidikan nasional. Guru-guru sejarah kerap mereproduksi narasi dominan secara tak sadar, menjadikan kompromi diplomatik sebagai simbol keunggulan moral, sementara perlawanan rakyat dipinggirkan sebagai tindakan radikal.

Hal serupa terjadi dalam penilaian terhadap kebijakan ekonomi berdikari, yang kerap dicitrakan negatif sebagai konservatif atau antiliberalisme, meskipun merupakan bagian dari proyek nasionalisme ekonomi.

Narasi semacam ini memperlihatkan pengaruh ideologi global, khususnya kapitalisme Barat, dalam membentuk wacana sejarah nasional.

Edward Said (1985) menunjukkan bahwa pengetahuan sering diproduksi dalam relasi kuasa, dan warisan kolonial masih membekas dalam narasi sejarah pascakolonial.

Kesadaran kritis terhadap hal ini baru menguat belakangan, seiring dengan disadarinya dampak negatif ketergantungan pada sistem ekonomi global.

Strategi diplomatik yang dulu dipuja kini dilihat sebagai faktor melemahnya kedaulatan nasional, ketika Indonesia harus menyesuaikan kebijakan dalam negeri demi kepentingan kekuatan hegemonik dunia.

Dalam dekade-dekade awal pasca-kemerdekaan, penulisan sejarah nasional Indonesia sangat dipengaruhi oleh pendekatan naratif yang berpusat pada negara dan elite politik.

Model ini dikenal sebagai history from above, yakni pendekatan yang menyoroti peran aktor-aktor besar seperti pemimpin nasional, institusi negara, serta struktur politik formal (Sartono Kartodirdjo: 1993).

Kritik terhadap pendekatan ini berkembang seiring dengan munculnya kesadaran bahwa kontribusi kelompok-kelompok sosial di luar lingkaran kekuasaan seperti petani, buruh, perempuan, masyarakat adat, dan komunitas marjinal lainnya telah terpinggirkan dari narasi sejarah dominan (R. Guha: 1982; S. Blackburn: 2004).

Sebagai tanggapan terhadap eksklusi tersebut, berbagai sejarawan dan akademisi mengadvokasi pendekatan history from below dan studi subaltern, yang memandang rakyat biasa sebagai subjek sejarah yang memiliki agensi.

Pendekatan ini menekankan pentingnya rekonstruksi historiografi yang inklusif dan demokratis, yang mampu menangkap pengalaman sejarah dari berbagai perspektif dan bukan hanya narasi hegemonik negara (A. L. Stoler: 2002).

Namun, penekanan berlebihan terhadap dikotomi antara elite dan rakyat dalam historiografi juga berisiko menciptakan oposisi biner yang menyederhanakan realitas sosial.

Dalam praktiknya, elite dan massa tidak selalu berada dalam relasi yang sepenuhnya kontradiktif; mereka adalah bagian dari rakyat Indonesia yang kompleks dan dinamis.

Oleh karena itu, mengedepankan semangat historiografi yang fair tidak harus berarti menegasikan peran elite atau aktor negara, tetapi justru menempatkan seluruh entitas sosial dalam relasi historis yang kritis dan reflektif (Singgih Tri Sulistiyono: 2008).

Selain itu, penyusunan sejarah dari bawah harus menghindari jebakan deskriptif yang hanya mencatat kehidupan sehari-hari tanpa mengekstraksi nilai-nilai perjuangan sosial dan aspirasi keadilan yang dikandung di dalamnya.

Narasi sejarah yang kritis-reflektif tidak hanya merekam penderitaan, tetapi juga harus menampilkan bagaimana rakyat merespons, melawan, dan menegosiasikan kekuasaan dalam berbagai bentuknya (J. C. Scott: 1985).

Lebih jauh lagi, upaya mereformulasi historiografi nasional harus menyentuh akar-akar struktural yang menyebabkan maraknya ketimpangan, ketergantungan, dan subordinasi.

Fenomena-fenomena ini bukan hanya menimpa masyarakat kelas bawah, tetapi juga melibatkan elite yang turut terseret dalam pusaran globalisasi kapitalistik.

Dengan demikian, pendekatan emansipatoris dalam historiografi kebangsaan tidak cukup hanya berfokus pada rakyat biasa, melainkan harus mencermati secara kritis struktur sosial dan politik yang mereproduksi ketidakadilan dalam lintas kelas dan kelompok sosial.

Aspek metodologis lain yang perlu dipertimbangkan dalam penulisan sejarah nasional adalah soal reflektivitas.

Konsep refleksivitas yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu memiliki relevansi yang sangat penting dalam konteks penulisan sejarah kebangsaan Indonesia.

Refleksivitas dalam pemikiran Bourdieu mengacu pada kesadaran kritis terhadap posisi, bias, dan kepentingan penulis atau peneliti dalam proses produksi pengetahuan.

Dalam hal ini, sejarawan tidak hanya sebagai pencatat fakta, melainkan juga sebagai subjek sosial yang membawa modal budaya, ideologi, dan posisi dalam struktur sosial tertentu.

Ia menyatakan bahwa ilmu sosial harus merefleksikan dirinya sendiri dengan membongkar struktur sosial yang turut membentuk cara berpikir sang ilmuwan atau penulis.

Dalam konteks sejarah, ini berarti sejarawan perlu menyadari habitus, modal sosial, dan modal simbolik yang mereka bawa ke dalam narasi historis.

Dengan demikian, refleksivitas bukan sekadar metode teknis, melainkan etika epistemologis, sebuah kewajiban untuk mengkritisi keterlibatan dan posisi sosial penulis dalam membentuk narasi sejarah.

Bourdieu menyatakan bahwa objektivitas sosiolog bergantung pada kemampuan mereka untuk mengobjektifikasi subjektivitas mereka sendiri (Pierre Bourdieu: 1990). Hal yang sama juga menjadi tantangan bagi sejarawan untuk menerapkan etika epistemologis ini.

Refleksivitas dalam sejarah kebangsaan Indonesia mendorong kritik terhadap narasi dominan yang elitis dan sentralistik.

Historiografi resmi, seperti Sejarah Nasional Indonesia versi Orde Baru, disusun oleh sejarawan yang dekat dengan kekuasaan dan sarat dengan modal simbolik negara.

Hal ini tampak, misalnya, dalam penonjolan tokoh-tokoh seperti Sukarno dan Hatta dibanding Tan Malaka atau Sutan Sjahrir, serta marginalisasi laskar rakyat dibandingkan TNI.

Meskipun muncul kritik dan upaya koreksi terhadap narasi tersebut, menonjolkan kelompok marginal sambil menghapus peran aktor dominan juga berisiko mengulang pola eksklusivitas.

Karena itu, pendekatan sejarah kebangsaan ke depan harus bersifat reflektif dan inklusif, membuka ruang bagi perspektif alternatif, dan mengakui kontribusi semua elemen sosial dalam proses menjadi Indonesia.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pendekatan refleksifitas memiliki kedudukan penting dalam pembentukan identitas kebangsaan terutama dalam konteks penulisan sejarah, konstruksi narasi nasional, dan pendidikan kewarganegaraan.

Refleksivitas, dalam pengertian yang digagas oleh Pierre Bourdieu mengacu pada kesadaran kritis terhadap posisi sosial, nilai-nilai ideologis, dan struktur kekuasaan yang membentuk pandangan dan praktik kita dalam memproduksi pengetahuan, termasuk pengetahuan historis dan identitas kebangsaan.

Dalam konteks ilmu sosial, refleksivitas berarti kesadaran dan kritik terhadap bagaimana posisi sosial, pengalaman historis, dan struktur kekuasaan memengaruhi cara kita melihat dunia, termasuk bagaimana kita memahami masa lalu.

Artinya, pembentukan identitas kebangsaan bukanlah sesuatu yang netral atau objektif sepenuhnya, tetapi selalu dibentuk oleh narasi yang diciptakan oleh aktor-aktor sosial (negara, sejarawan, pendidik, media) yang berada dalam struktur kekuasaan tertentu.

Pendekatan refleksivitas juga sangat penting dalam proses pembentukan identitas kebangsaan.

Dalam hal ini identitas kebangsaan merupakan konstruksi sosial yang dibangun melalui proses historis, simbolik, dan politik.

Refleksivitas memungkinkan sejarawan untuk mengkaji ulang narasi dominan yang sering kali sentralistik dan homogen, mewadahi keragaman lokal dan kultural sebagai bagian sah dari identitas Indonesia, serta menyadari adanya relasi kuasa dalam definisi “keindonesiaan”, siapa yang menentukan siapa yang “nasionalis” dan siapa yang “separatis”.

Refleksivitas memampukan kita untuk tidak menelan mentah-mentah narasi sejarah resmi model lama, tetapi mengkritisi bagaimana identitas nasional dibentuk dan dimanfaatkan dalam berbagai konteks (politik, ekonomi, pendidikan).

Catatan akhir

Sejarah Kebangsaan Indonesia tetap menjadi pilar fundamental dalam menopang eksistensi NKRI, terutama sebagai medium pembentukan identitas kolektif, penguat solidaritas sosial, dan wahana pewarisan nilai-nilai Pancasila.

Namun, di tengah disrupsi digital, globalisasi, dan meningkatnya krisis otoritas narasi sejarah, historiografi kebangsaan perlu ditransformasi secara konseptual dan metodologis.

Narasi yang inklusif, multivokal, dan reflektif, yang mengakui kontribusi lokalitas serta menggunakan pendekatan pedagogis dan teknologi yang adaptif, merupakan prasyarat bagi sejarah untuk tetap relevan.

Sejarah kebangsaan tidak boleh lagi dipahami sebagai konstruksi tunggal yang tertutup, melainkan sebagai narasi hidup (living narrative) yang dinamis dan terbuka terhadap keberagaman.

Mengabaikan sejarah kebangsaan yang ditulis secara akademik dan berlandaskan nilai moral berisiko melemahkan memori kolektif bangsa dan melepas institusi yang selama ini menjaga kesadaran historis nasional.

Oleh sebab itu, masa depan NKRI sangat bergantung pada kemampuan historiografi kebangsaan untuk mentransmisikan nilai-nilai Pancasila dan konstitusi secara kontekstual kepada generasi mendatang.

 

Tag:  #pembaruan #perspektif #penulisan #sejarah #kebangsaan #indonesia #digital

KOMENTAR