Berkaca dari Kasus Imam Samudra, Penanganan Kejahatan Terorisme Harus Hati-hati
Petugas merapikan barang bukti tindak pidana terorisme di Gedung Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta, Rabu (20/12/2023). (SALMAN TOYIBI/JAWA POS)
21:32
9 Oktober 2024

Berkaca dari Kasus Imam Samudra, Penanganan Kejahatan Terorisme Harus Hati-hati

- Penerapan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP, terutama yang mengatur kejahatan ideologi seperti teroris harus dilaksanakan hati-hati. Sehingga, tidak memantik pelaku lain untuk melakukan kejahatan serupa.   Ketua Program Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (UI), Muhamad Syauqillah menilai, tindak pidana terhadap ideologi negara yang diatur dalam Pasal 188, 189, dan 190 perlu pengaturan lebih lanjut dalam konteks tindak pidana terorisme. Sebab, banyak tindakan terorisme dimotivasi oleh ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.     “Kejelasan dan rencana implementasi KUHP ini penting karena sebagai pengkaji terorisme, KUHP yang akan diberlakukan pada 2026 khususnya pasal 188, 189, dan 190 dengan tegas mengatur pidana Ideologi yang bertentangan atau bahkan meniadakan Pancasila. Kalau di UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang perilakunya. Nah KUHP ini mau bagaimana diimplementasikan,” ucap Syauqillah, Rabu (9/10).   Wakil Direktur SKSG UI, Eva Achjani Zulfa mengatakan, kebebasan individu untuk menganut ideologi tertentu dilindungi HAM, namun dibatasi dengan aturan tidak merugikan orang lain. Untuk itu penanganan pidana ideologi harus hati-hati.    “Ketika tindak pidana ini negara terlalu over reaktif atau over kriminal. Maka bukan bikin takut malah bikin lancar. Perlu juga dicermati soal pengkhianatan, penghasutan, mengancam ketertiban umum,” ujar Eva.   Dia menjelaskan, tidak mudahnya mempidanakan ideologi dengan mengambil contoh hukuman mati Imam Samudra yang justru menginspirasi jaringannya. Selain itu dijelaskan juga tentang Socrates yang dihukum mati karena ideologinya tapi pikirannya masih dipakai sampai sekarang. Demikian juga Copernicus yang dihukum mati karena teori heliosentrisnya tapi teori tersebut terus dipakai.    “Ada yang perlu dicermati juga jika pasal 188-190 ini diterapkan sebagai ordinary crime sementara terorisme extraordinary crime maka bagaimana denan lapas super maximum security?,” ucap Eva.   Senada dengan itu, Ketua Program Doktor SKSG UI, Margaretha Hanita mengungkapkan disertasi yang pernah disusunnya tentang makar organisasi Papua Merdeka. Pada level tertentu seseorang yang dipidana dengan kejahatan makar justru meningkatkan keterkenalan dan pengaruh dikelompoknya.    “Kita perlu cermat (menempatkan) mana makar mana terorisme,” ucap Margaretha.    Dalam bagian penjelasan UU Nomor 1 Tahun 2023, sebenarnya pasal 188, 189, dan 190 telah ada. Namun, masih terlihat masih perlunya penjelasan lebih detail. Penjelasan mengenai pembuktian unsur delik, hingga lembaga yang memiliki kewenangan sebagai penginterpretasi Pancasila sangat diperlukan.

Editor: Estu Suryowati

Tag:  #berkaca #dari #kasus #imam #samudra #penanganan #kejahatan #terorisme #harus #hati #hati

KOMENTAR