



Polusi Udara Jabodetabek Bisa Turun 5 Persen Lewat Penggunaan Transportasi Umum, Apakah Cukup?
Harapan terhadap kualitas udara Jabodetabek yang lebih sehat bukan lagi sebatas wacana. Pemerintah mulai menyiapkan sejumlah langkah konkret, termasuk mendorong penggunaan transportasi umum dan bahan bakar ramah lingkungan.
Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Edward Nixon Pakpahan, menyebut bahwa jika kendaraan pribadi berkurang dan kualitas bahan bakar membaik, maka polusi udara di Jabodetabek bisa turun hingga 5 persen.
“Dengan penggunaan transportasi umum, jumlah kendaraan pribadi artinya berkurang. Apabila kualitas bahan bakar kita juga bagus, sulfur sudah rendah, maka paling tidak itu dari penggunaan kendaraan umum, termasuk kendaraan umum yang elektrifikasi listrik, maka itu bisa sampai 5 persen, itu kalau hitung-hitungan dari kajian,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (4/6).
Angka 5 persen tersebut mungkin terdengar kecil. Namun dalam skala Jabodetabek, dampaknya sangat signifikan terhadap kesehatan jutaan warga.

Nixon menjelaskan, sektor transportasi menyumbang porsi terbesar dalam pencemaran udara. Emisi kendaraan bermotor mencakup 32–41 persen pada musim hujan dan meningkat hingga 42–57 persen pada musim kemarau.
Industri berbahan bakar batu bara menyumbang sekitar 14 persen. Sisanya berasal dari pembakaran sampah dan lahan, debu konstruksi, serta aerosol sekunder.
Sayangnya, kualitas bahan bakar kendaraan di Indonesia masih jauh dari ideal.
“Kami sampaikan informasinya bahwa untuk jenis bahan bakar bensin, di Indonesia itu kisaran sulfurnya antara 350 sampai 550 ppm, kemudian yang solar itu di kisaran hingga 1.200 ppm,” tambahnya.
Itu sebabnya, KLH mendorong kebijakan bahan bakar rendah sulfur tak hanya diterapkan di Jabodetabek, tapi juga nasional. Dukungan pemerintah daerah sangat dibutuhkan agar kebijakan ini berjalan efektif.
Di sisi lain, KLH juga menyiapkan langkah antisipatif untuk melindungi masyarakat ketika kualitas udara memburuk. Dalam aturan Peraturan Menteri LHK Nomor 14 Tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU), masyarakat diminta mengurangi aktivitas luar ruang saat ISPU > 100 (tidak sehat), dan sebisa mungkin tetap di dalam ruangan saat ISPU > 200 (sangat tidak sehat).
Masyarakat juga disarankan menggunakan masker (N95/KN95), sementara kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, ibu hamil, serta penderita gangguan pernapasan diminta tidak beraktivitas di luar. Pemerintah daerah dan swasta didorong menyediakan ruang publik bebas polusi serta mendistribusikan masker gratis atau bersubsidi.
Langkah korektif juga dilakukan lewat penegakan hukum. Deputi Penegakan Hukum KLH, Rizal Irawan, menyebut pihaknya telah menindak 116 industri pencemar udara selama 2023–2025.
“Tahun 2023 terdapat 63 badan usaha atau kegiatan yang telah ditindak, 2024 sebanyak 44, dan 2025 ada sembilan,” katanya.
Beberapa di antaranya termasuk industri peleburan logam, pembuatan tahu, tekstil, hingga pengolahan limbah B3 di wilayah Bekasi, Tangerang, Bogor, dan sekitarnya.
Rizal menegaskan penindakan dilakukan secara terintegrasi, mulai dari administratif, perdata, hingga pidana. Pendekatan ini dikenal dengan sebutan multidoor.
Namun upaya penindakan bukan satu-satunya kunci. Pencegahan tetap yang utama. KLH mencatat bahwa dari 1 Mei–3 Juni 2025, ada 35 titik pemantauan di Jabodetabek yang menunjukkan status ISPU kuning akibat kenaikan partikulat PM 2,5.
Sumber utama partikulat ini tetap sama: kendaraan bermotor, industri, dan pembakaran sampah.
“Pencemar udara yang paling dominan ini dari sektor transportasi, artinya emisi yang dilepaskan oleh kendaraan bermotor yang menggunakan kualitas bahan bakar dengan kualitas sulfur cukup tinggi,” ujar Nixon.
Ia menambahkan, kerja sama dengan pemerintah daerah menjadi krusial. Daerah harus aktif mengawasi dan memberi sanksi sesuai kewenangannya. Harapannya, sanksi yang proporsional dapat mendorong perbaikan kualitas udara secara nyata.
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa solusi atas krisis polusi udara tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga kemauan politik, kebijakan yang tepat sasaran, dan partisipasi publik.
Perubahan tidak terjadi dalam semalam. Tapi jika semua pihak bergerak bersama, udara bersih di Jabodetabek bukan mustahil untuk dicapai.
Tag: #polusi #udara #jabodetabek #bisa #turun #persen #lewat #penggunaan #transportasi #umum #apakah #cukup