Desentralisasi Terorisme
DESENTRALISASI yang pertama kali diterapkan dalam tubuh al-Qaeda untuk memungkinkan cabang-cabang lokal beroperasi dengan otonomi terbatas, kembali menemui relevansinya pada 2024, ketika Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), yang dipimpin oleh Abu Muhammad al-Julani, berusaha mengambil alih kekuasaan di Suriah.
Upaya tersebut menunjukkan betapa gagasan desentralisasi masih tetap menjadi elemen kunci dalam strategi HTS.
Pada 2011, al-Julani mendirikan Jabhat al-Nusra sebagai cabang al-Qaeda di Suriah untuk memperkuat gerakan jihad di wilayah tersebut. Kelompok ini tumbuh pesat dengan dukungan pejuang lokal dan internasional.
Pada 2016, al-Julani memutuskan memisahkan diri dari al-Qaeda dan mengganti nama organisasi menjadi Jabhat Fath al-Sham, yang kemudian menjadi HTS.
Struktur desentralisasi ala al-Qaeda tetap dipertahankan, tetapi diterapkan dengan lebih fleksibel.
Pada 2024, HTS menggunakan strategi desentralisasi untuk merebut wilayah strategis di Suriah.
Kelompok lokal diberi otonomi penuh untuk memilih taktik sesuai kondisi wilayah masing-masing. Pendekatan ini memungkinkan HTS memperluas pengaruh dan menghadapi lawan, termasuk rezim Assad yang lebih tampak terorganisir.
Darimana gagasan desentralisasi lahir? Desentralisasi dalam konteks terorisme merupakan rumusan Abu Mus’ab al-Suri yang ditawarkannya ke dalam dunia jihad modern.
Dengan pendekatan yang menanggalkan struktur hierarkis organisasi teror tradisional, al-Suri menawarkan solusi untuk menjaga keberlanjutan jihad dalam menghadapi gempuran musuh.
Strategi ini, yang ia sebut sebagai non-sentralisasi (al-lâ markaziyyah), menjadi salah satu tonggak penting dalam transformasi taktik kelompok-kelompok teror di abad ke-21.
Sistem, bukan organisasi
Dalam teori al-Suri, jihad tidak membutuhkan organisasi formal yang terpusat, melainkan sistem yang mampu bertahan dari gempuran musuh. Konsep ini ia rumuskan dengan sebutan “sistem, bukan organisasi” (nizhâm lâ tanzhîm).
Sistem ini dirancang agar setiap individu atau kelompok kecil dapat beroperasi secara mandiri tanpa arahan langsung dari pusat komando.
Strategi ini memungkinkan jihad tetap hidup meskipun jaringan utama hancur atau dibubarkan oleh negara.
Artinya, konsep "sistem, bukan organisasi" memiliki cakupan yang lebih luas, karena tidak hanya mencakup prinsip desentralisasi, tetapi juga melampauinya dengan sepenuhnya bisa menolak keberadaan struktur organisasi formal.
Para pelaku pun dalam sistem ini hanya membutuhkan inspirasi ideologis sebagai panduan untuk bertindak. Inspirasi ideologis pun tidak berkutat di tataran keagamaan.
Mereka pun tidak memerlukan logistik besar, hierarki atau koordinasi rumit. Model ini memberikan fleksibilitas dan daya tahan yang lebih besar bagi gerakan jihad, sekaligus membuatnya lebih sulit dilacak oleh intelijen musuh.
Pendekatan ini melahirkan strategi lanjutan berupa operasi mandiri (‘amaliyyah mustaqillah) atau serigala tunggal (lone wolf; adh-dhi’b al-munfarid).
Kasus terkait telah banyak contohnya di Indonesia hingga tahun 2022. Dalam model ini, individu-individu bisa bergerak tanpa dukungan langsung dari organisasi besar, tetapi tetap terhubung melalui inspirasi ideologis yang disebarluaskan lewat buku, video atau propaganda daring.
Dalam dunia yang semakin digital, strategi ini terbukti sangat efektif. Al-Suri memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan ideologinya secara global, salah satunya melalui buku monumental “Da’wat al-Muqawamah” (Seruan untuk Perlawanan).
Buku ini memuat teori lengkap tentang jihad desentralisasi, menjadikannya pedoman utama bagi para jihadis pasca-serangan 9/11.
Desentralisasi pun tidak saja berkutat dalam persoalan taktik di lapangan atau dunia nyata, melainkan juga di dunia maya, seperti yang dilakukan oleh Islamic State, di mana Al-Julani pernah menjadi bagian dari kelompok tersebut.
Pendekatan ini mencerminkan respons mereka terhadap tekanan yang semakin meningkat dari platform media sosial arus utama, seperti Facebook dan Twitter, yang secara aktif menghapus konten terkait ekstremisme.
Dengan memanfaatkan platform web terdesentralisasi seperti RocketChat dan ZeroNet, Islamic State berupaya menghindari pengawasan ketat.
Teknologi ini memungkinkan konten mereka tersimpan secara tersebar di server yang dikelola pengguna atau komunitas, sehingga sulit dihapus.
Relevansi di Indonesia
Di Indonesia, konsep desentralisasi terorisme ini menemukan resonansi dalam perkembangan kelompok-kelompok radikal pascamelemahnya Jamaah Islamiyah (JI).
Ketika tekanan besar dari operasi kontra-terorisme membuat JI kehilangan daya operasionalnya, ideologi mereka tidak mati begitu saja.
Sebaliknya, ia bertransformasi ke dalam bentuk yang lebih cair dan terdesentralisasi, melahirkan kelompok-kelompok baru seperti Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
JAT, yang didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir pada 2008, awalnya berusaha merevitalisasi semangat jihad melalui organisasi tradisional. Namun, tekanan aparat keamanan membuat model ini tidak efektif.
Kemudian JAD, yang dipimpin oleh Aman Abdurrahman, justru mengadopsi strategi desentralisasi penuh, beroperasi melalui sel-sel kecil yang mandiri.
Pasca-Jamaah Islamiyah “membubarkan diri” melalui dua deklarasi di Bogor dan Solo, ancaman baru mulai muncul.
Meskipun organisasi formal tampak runtuh, lebih-lebih statusnya masih masuk ke dalam DTTOT, ideologinya tetap tidak akan hilang.
Jangan sampai lahir wadah baru, apalagi jika diberikan ruang oleh pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sebab, organisasi formal yang tampak jinak di permukaan, memungkinkan dapat menjadi tempat persemaian regenerasi ideologi yang lebih tersembunyi dan sulit dilacak.
Sebab, desentralisasi telah menyusup ke jaringan teror sejak 2001, menjadikan mereka lebih fleksibel dalam beradaptasi dengan perubahan zaman.
Pola ini membuat strategi kontra-terorisme semakin kompleks, terutama dengan masifnya penggunaan teknologi digital untuk menyebarkan ideologi teror.
Indonesia harus bersiap menghadapi tantangan yang besar. Pemerintah harus merancang strategi pencegahan yang lebih canggih, melibatkan masyarakat sipil, akademisi dan sektor teknologi dalam upaya menangkal radikalisasi.
Desentralisasi bukan hanya strategi organisasi, tetapi juga pola pikir yang terus mencari celah untuk bertahan dan berkembang. Menutup ruang tersebut adalah langkah fundamental untuk menjaga stabilitas dan keamanan nasional.
Di tengah perubahan pola ancaman ini, peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadi sangat vital.
BNPT harus segera merumuskan Satgas Deradikalisasi (sistem hibrida) yang terpadu dan lintas sektoral.
Satgas ini harus mampu menghadapi tantangan baru berupa lahirnya sel-sel kecil yang mandiri serta residivis-residivis teror yang kembali aktif di masyarakat.
Koordinasi lintas lembaga, keterlibatan sektor teknologi, serta integrasi data intelijen yang akurat menjadi kunci untuk membendung regenerasi dan penguatan jaringan terorisme di Indonesia.
Tanpa langkah strategis yang cepat dan komprehensif, desentralisasi terorisme akan bisa menjadi ancaman laten yang mampu menciptakan instabilitas di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, kolaborasi lintas sektor yang melibatkan berbagai elemen bangsa mutlak diperlukan untuk mengatasi ancaman ini secara menyeluruh.