Bukan Belajar Komputer, Ini Cara PAUD Menerapkan Berpikir Komputasional
- Selama ini, pendidikan anak usia dini (PAUD) sering kali terjebak pada pengenalan akademik dasar, seperti baca, tulis, dan hitung (calistung).
Padahal, untuk menghadapi tantangan abad ke-21 yang semakin kompleks, anak-anak membutuhkan fondasi yang lebih mendasar, yakni kemampuan berpikir kritis, sistematis, dan kreatif.
“Pendekatan ini tidak sepenuhnya keliru, tetapi menjadi tidak memadai ketika dihadapkan pada tantangan abad ke-21 yang jauh lebih kompleks,” kata anggota ECED Council Nita Priyanti, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (23/12/2025).
Menurut Nita, dunia saat ini menuntut individu yang sejak dini terbiasa memahami masalah, mencari pola, dan menyusun solusi secara logis.
Kemampuan tersebut, kata dia, tidak muncul secara instan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Sebaliknya, kemampuan itu perlu ditumbuhkan sejak awal ketika cara berpikir anak masih lentur dan rasa ingin tahunya sedang berada pada puncaknya.
“Di sinilah pentingnya menggeser fokus pembelajaran PAUD, dari sekadar penguasaan konten menuju penguatan cara berpikir,” ujar Nita.
Salah satu pendekatan yang kini semakin mendapat perhatian dalam pendidikan global adalah berpikir komputasional (computational thinking).
Konsep tersebut memang berakar dari ilmu komputer, tetapi dalam perkembangannya diakui sebagai keterampilan berpikir lintas disiplin yang relevan untuk semua jenjang pendidikan, termasuk PAUD.
Berpikir komputasional bukan tentang anak belajar komputer atau teknologi digital sejak dini, melainkan tentang bagaimana anak belajar memahami masalah, menguraikannya, mengenali pola, dan menyusun langkah penyelesaian secara logis.
Nita menyebutkan, berpikir komputasional dapat diperkenalkan kepada anak usia dini secara kontekstual, menyenangkan, dan selaras dengan prinsip belajar melalui bermain.
Hal tersebut diketahui berdasarkan pengalaman Nita memimpin Workshop Implementasi Computational Thinking melalui Eduplay bagi guru PAUD yang difasilitasi bersama oleh Irma Yuliantina dan Ali Mulyanto.
Berpikir komputasional dan dunia anak
Nita mengatakan, konsep berpikir komputasional terdengar teknis, tetapi sebenarnya sangat dekat dengan keseharian anak.
“Istilah computational thinking sering terdengar teknis dan kerap menimbulkan kekhawatiran: jangan-jangan konsep ini terlalu abstrak atau ‘berat’ bagi anak usia dini. Kekhawatiran ini wajar, tetapi tidak sepenuhnya tepat,” jelasnya.
Jeanette Wing (2006) mendefinisikan berpikir komputasional sebagai cara berpikir dalam memformulasikan masalah dan solusi sehingga solusi tersebut dapat dijalankan secara sistematis.
Definisi tersebut tidak menuntut penggunaan perangkat digital, melainkan menekankan pada proses berpikir.
Secara umum, berpikir komputasional mencakup empat komponen utama yang sesungguhnya sangat dekat dengan keseharian anak, yang terdiri dari:
- Dekomposisi (memecah masalah menjadi bagian-bagian kecil)
- Pengenalan pola
- Abstraksi (menangkap inti persoalan)
- Perancangan algoritma (menyusun langkah-langkah penyelesaian)
Nita menyampaikan, ketika anak mengelompokkan mainan berdasarkan warna atau bentuk, ia sedang melatih pengenalan pola.
Saat anak menyusun urutan langkah mencuci tangan atau mengenakan sepatu, ia sedang merancang algoritma sederhana.
Bahkan, ketika anak mencoba memahami mengapa bangunan baloknya roboh, ia sedang melakukan dekomposisi dan abstraksi terhadap masalah yang dihadapi.
“Dalam konteks PAUD, aktivitas-aktivitas ini merupakan bagian dari pengalaman belajar yang alami dan bermakna,” jelas Nita.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Ikatan Doktor PAUD Indonesia itu menjelaskan, anak tidak sekadar meniru, tetapi mengamati, mencoba, memperbaiki, dan menarik kesimpulan dari pengalamannya.
Proses tersebut sejalan dengan pandangan Piaget dan Vygotsky bahwa anak belajar secara aktif melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain.
Dengan demikian, berpikir komputasional bukanlah konsep asing yang dipaksakan dari luar, melainkan penguatan terhadap cara anak belajar secara alami.
Eduplay: menjembatani bermain dan berpikir
Pendekatan education through play (eduplay) menjadi jembatan penting dalam mengintegrasikan berpikir komputasional ke dalam pembelajaran PAUD.
Berbagai kajian, termasuk laporan UNICEF dan UNESCO, menegaskan bahwa bermain merupakan sarana utama bagi anak usia dini untuk mengembangkan kemampuan kognitif, sosial-emosional, bahasa, dan motorik secara terpadu.
Melalui bermain, anak bereksplorasi, mengambil keputusan, dan menguji ide tanpa tekanan akademik.
Dalam workshop, para guru diajak merefleksikan kembali aktivitas bermain yang selama ini dilakukan di kelas.
Permainan sederhana, seperti robot mini, yang mengajak anak mengikuti instruksi temannya untuk melangkah maju atau berbelok, ternyata efektif melatih kemampuan menyusun algoritma.
Permainan kartu warna dan bentuk melatih pengenalan pola, sedangkan kegiatan menyusun rencana kegiatan harian membantu anak memahami urutan dan hubungan sebab-akibat.
Semua aktivitas tersebut dilakukan tanpa mengubah struktur pembelajaran PAUD. Pembelajaran yang berubah adalah cara memaknai kegiatan bermain.
“Eduplay memberi ruang bagi anak untuk belajar secara aktif dan reflektif, tanpa dibebani istilah-istilah abstrak,” kata Nita.
Dekan Pascasarjana Universitas Panca Sakti itu mengatakan, anak mengalami langsung proses berpikir komputasional melalui interaksi yang menyenangkan.
“Inilah esensi pembelajaran bermakna di PAUD, yakni anak belajar tanpa merasa sedang ‘diajar’,” jelas Nita.
Kolaborasi jadi kunci penguatan mutu PAUD
Pengalaman workshop juga menegaskan pentingnya kolaborasi antara pendidik, praktisi lapangan, dan perguruan tinggi dalam meningkatkan mutu PAUD.
Guru tidak hanya menjadi penerima materi, tetapi terlibat dalam diskusi, praktik, dan refleksi bersama.
Proses tersebut membuka ruang pertukaran pengalaman yang kontekstual dan relevan dengan kondisi lapangan.
Banyak guru mengungkapkan bahwa kesempatan untuk mendiskusikan gagasan pembelajaran secara mendalam masih relatif terbatas.
Melalui workshop, mulai terbentuk embrio komunitas belajar yang saling mendukung dan berpotensi berkembang menjadi forum berbagi praktik baik.
“Kolaborasi semacam ini sejalan dengan upaya nasional untuk memperkuat kualitas layanan PAUD sebagai fondasi pembangunan sumber daya manusia unggul,” jelas Nita.
Peran guru dan orangtua
Penguatan berpikir komputasional tidak hanya bergantung pada kegiatan di kelas, tetapi juga pada ekosistem pengasuhan di rumah.
Sebab, guru dan orangtua sama-sama memiliki peran strategis dalam menuntun anak memandang dunia sebagai rangkaian pola, proses, dan peluang untuk memecahkan masalah.
Di sekolah, guru perlu menggeser peran dari sekadar “mengajar” menjadi memfasilitasi pengalaman berpikir.
Kegiatan bermain dapat diarahkan agar mengandung unsur pengamatan, percobaan, dan refleksi.
Diskusi sederhana setelah bermain, misalnya menanyakan alasan atau strategi yang digunakan anak, dapat membantu anak mulai menyadari proses berpikirnya sendiri.
Sementara itu, orangtua di rumah dapat berperan melalui aktivitas sehari-hari, seperti mengelompokkan barang, menyusun urutan kegiatan, atau merapikan mainan berdasarkan kategori.
Prinsip yang perlu ditekankan orangtua adalah menghargai proses, bukan hanya hasil.
Dengan memberi ruang bagi anak untuk mencoba, gagal, dan memperbaiki, orangtua secara tidak langsung membantu menumbuhkan kepercayaan diri dan kemandirian anak dalam berpikir.
Menanam benih berpikir sejak dini
Nita menjelaskan, pengalaman mengimplementasikan berpikir komputasional melalui eduplay menunjukkan bahwa inovasi pendidikan tidak selalu membutuhkan teknologi canggih atau biaya besar.
Sebaliknya, hal yang dibutuhkan adalah perubahan cara pandang, yaitu melihat bermain sebagai inti pembelajaran anak usia dini.
Melalui kegiatan sederhana dan kreatif, berpikir komputasional dapat ditanamkan secara alami dan menyenangkan.
Dekomposisi, pola, abstraksi, dan algoritma bukan lagi istilah rumit, melainkan cara anak memahami dunia di sekitarnya.
Nita mengatakan, dengan konsep itu, ruang-ruang kelas kecil PAUD kini dapat menjadi tempat anak bermain dan bertanya.
“Dengan membangun ruang itu, kita sedang menanam benih generasi masa depan anak-anak yang tidak hanya mampu menghafal, tetapi juga memahami, menalar, dan berinovasi sejak dini,” jelasnya.
Tag: #bukan #belajar #komputer #cara #paud #menerapkan #berpikir #komputasional