6 Tanda Toxic Positivity yang Sering Tak Disadari, Salah Satunya Merasa Diabaikan
Ilustrasi cara mengatasi toxic positivity.(iStockphoto/vittaya25)
22:05
27 November 2025

6 Tanda Toxic Positivity yang Sering Tak Disadari, Salah Satunya Merasa Diabaikan

Sikap positif sering dianggap sebagai kunci hidup bahagia. Namun, ketika dorongan untuk selalu bahagia justru membuat seseorang menekan emosi negatifnya, kondisi ini berubah menjadi sesuatu yang tidak sehat. 

Fenomena ini dikenal sebagai toxic positivity, sebuah pola yang semakin sering muncul di media sosial maupun percakapan sehari-hari.

Toxic positivity adalah tekanan yang tak henti-hentinya untuk berbahagia atau mengejar kebahagiaan, apa pun situasinya,” kata terapis pernikahan dan keluarga, Whitney Goodman, dilansir dari Everyday Health, Kamis (27/11/2025).

Tekanan ini sering muncul sebagai respons terhadap perasaan menyakitkan, namun mengabaikan konteks dan realitas sesungguhnya.

Menurut Asosiasi Kecemasan & Depresi Amerika (ADAA), sikap positif menjadi toxic ketika digunakan untuk menggantikan, bukan menemani emosi negatif. 

Hal ini berbeda dengan optimisme sehat yang tetap mengakui bahwa keadaan memang sulit, namun keadaan tersebut dapat berubah.

Berikut beberapa tanda toxic positivity yang perlu diwaspadai, baik dalam cara kita memperlakukan diri sendiri maupun orang lain.

Tanda-tanda toxic positivity 

1. Tekanan untuk merasa positif sepanjang waktu

Salah satu tanda paling umum adalah munculnya tekanan, baik dari dalam diri maupun dari orang lain, untuk selalu merasa baik. Padahal, perasaan manusia bersifat kompleks.

Goodman menjelaskan, di balik ungkapan seperti “Ayo, lihat sisi baiknya!” terdapat pesan tersembunyi yang menyakitkan. 

“Pesan itu seolah mengatakan bahwa kamu seharusnya merasa berbeda dari yang sebenarnya kamu rasakan,” jelasnya.

Tekanan ini membuat seseorang merasa salah karena merasakan kesedihan, kecewa, atau marah. 

Dalam jangka panjang, perasaan yang ditekan dapat berubah menjadi stres atau bahkan gangguan kecemasan.

2. Merasa diabaikan atau tidak didengarkan

Profesor keperawatan dan direktur Earl E. Bakken Center for Spirituality and Healing di University of Minnesota, Mary Jo Kreitzer menyebut, toxic positivity sering kali membuat seseorang merasa tidak dipahami.

“Ketika kamu menghadapi toxic positivity, perasaan kamu sebenarnya disangkal dan diremehkan,” ujar dia. 

Hal ini terjadi karena respons seperti “Semuanya akan baik-baik saja” dianggap positif, namun pada kenyataannya tidak memberikan ruang bagi seseorang untuk memproses emosinya.

Akibatnya, individu dapat merasa semakin terisolasi ketika membutuhkan empati dari lingkungan sekitarnya.

3. Merasa diremehkan karena situasi dianggap sederhana

Situasi emosional yang rumit sering kali disederhanakan oleh komentar positif. Misalnya, ketika seseorang mengalami kehilangan atau tekanan berat, namun hanya diberi respons “Ini juga akan berlalu.”

Menurut Kreitzer, pola ini mengabaikan kenyataan sulit yang sedang dihadapi seseorang. 

“Sikap positif yang toksik cenderung bersikap dangkal terhadap situasi yang rumit,” ungkap Kreitzer. 

Bentuk respons seperti itu dapat membuat penerimanya merasa tidak dihargai dan tidak diberi ruang untuk merasakan emosi apa pun selain positif.

4. Ketidaknyamanan menghadapi emosi sendiri

Tak hanya muncul dari orang lain, toxic positivity juga dapat berasal dari diri sendiri. Terlebih jika kamu sering menyangkal perasaan sendiri.

“Ketidakmampuan menerima perasaan apa adanya adalah tanda kuat bahwa seseorang sedang menerapkan toxic positivity pada dirinya sendiri,” kata psikolog berlisensi, Michele Leno, seperti dilansir CNet, Kamis (27/11/2025).

Hal ini biasanya terjadi pada orang yang merasa tidak pantas untuk merasa sedih atau marah. 

Mereka terbiasa memaksa diri untuk tetap kuat, padahal itu hanya cara untuk menekan emosi.

“Jika ketidaknyamanan ini membuat kamu meremehkan perasaan negatif dan melebihkan hal-hal positif, kamu kemungkinan sedang menekan diri sendiri,” tambah dia.

5. Mengabaikan atau mengecilkan pengalaman negatif orang lain

Tanda lainnya adalah ketika seseorang menolak mendengarkan cerita negatif hanya karena tidak ingin bersinggungan dengan emosi yang berat. 

Respons seperti “Kamu terlalu sensitif” atau “Kamu harus lebih kuat” adalah contoh sikap yang disebut Leno sebagai bentuk puncak toxic positivity.

“Menganggap seseorang inferior karena emosi negatifnya adalah bentuk penyisihan yang sangat toxic,” jelas Leno.

Ini membuat seseorang merasa malu atau bersalah atas perasaan yang sebenarnya valid.

6. Ketidaksesuaian konteks emosional

Optimisme memang baik, namun tidak cocok untuk semua situasi. Kreitzer menegaskan bahwa toxic positivity adalah generalisasi berlebihan dari keadaan bahagia di semua situasi.

Ketika seseorang kehilangan pekerjaan, mengalami trauma, atau berada dalam masa berduka, mereka membutuhkan empati, bukan dorongan untuk berpikir positif tanpa makna.

Memahami tanda toxic positivity penting agar kita bisa lebih bijak dalam memberikan dukungan. 

Positivitas bukanlah sesuatu yang salah, namun akan menjadi masalah ketika digunakan untuk menutupi atau menekan emosi yang sebenarnya perlu diakui. 

Memberi ruang untuk kesedihan, kekecewaan, atau kemarahan justru membantu proses penyembuhan. 

Positivitas yang sehat adalah ketika kita bisa mengatakan, “Ini memang sulit, dan itu tidak apa-apa,” sambil tetap percaya bahwa keadaan bisa berubah menjadi lebih baik.

Tag:  #tanda #toxic #positivity #yang #sering #disadari #salah #satunya #merasa #diabaikan

KOMENTAR