Memahami “Topeng” dalam Psikologi, Adaptasi Diri atau Pura-pura?
- Pernahkah harus merasa memakai "topeng" ketika menghadapi orang lain? Dari sisi psikologis, memakai topeng kerap dinilai buruk karena terkesan berpura-pura.
Topeng yang dipakai pun dianggap bisa membuat orang lain kebingungan karena tidak tahu kepribadian asli seseorang seperti apa. Alhasil, ada anggapan seseorang punya “banyak muka”, padahal sesungguhnya memakai topeng adalah hal yang wajar.
“Dari sisi psikologi, ‘topeng’ itu wajah yang diperlihatkan pada dunia luar. Bisa dibilang wajah sosial. Jadi, kita menampilkan diri kita sesuai dengan lingkungan yang sedang kita hadapi,” kata psikolog Ina Luthfie, S.Psi., M.A saat ditemui di Aula Majapahit, Museum Mandiri, Jakarta Barat pada Minggu (23/11/2025).
Wajah sosial dan lingkungan yang dihadapi
Topeng dalam dunia psikologi
Ada seorang psikolog asal Swiss bernama Carl Jung yang mengartikan topeng sebagai persona, alias wajah sosial yang ditampilkan oleh seseorang ketika mereka berhadapan dengan suatu lingkungan.
Ina menjelaskan lebih lanjut bahwa setiap orang memiliki lebih dari topeng, tergantung berapa banyak lingkungan yang dihadapi sehari-hari.
Psikolog Ina Luthfie, S.Psi., M.A, saat ditemui dalam perayaan ulang tahun anggota boyband BTS bernama Park Jimin bertajuk Face of the Night, di Aula Majapahit, Museum Mandiri, Jakarta Barat pada Minggu (23/11/2025).
Misalnya adalah topeng yang dipakai dalam lingkungan pekerjaan, serta saat sedang bersama teman dan keluarga.
Tentunya, seseorang tidak akan selalu menunjukkan humornya ketika sedang bekerja di kantor, dan tidak akan selalu serius seperti sedang bekerja saat bersama keluarga atau teman.
“Itu sisi alam bawah sadar kita untuk menciptakan topeng-topeng yang sejalan dengan apa yang ada di lingkungan sosial kita, supaya kita tidak memperlihatkan sisi buruk kita lah istilahnya. Kita kan selalu ingin dilihat baik, positif, jadi kita ngumpetin dengan cara bertopeng,” jelas Ina.
Apakah harus selalu pakai topeng?
Menilik penjelasan tentang topeng, mungkin kamu bertanya-tanya apakah artinya seseorang harus berpura-pura saat berhadapan dengan orang-orang di lingkungan tertentu?
Akan tetapi, Ina menerangkan bahwa menggunakan topeng bukan berarti seseorang berpura-pura. Bahkan, ketika sudah berpura-pura dengan menyesuaikan diri sesuai keinginan orang lain, hal ini termasuk hal yang buruk.
Holistic wellbeing practitioner, Hani Amalia, saat ditemui dalam perayaan ulang tahun anggota boyband BTS bernama Park Jimin bertajuk Face of the Night, di Aula Majapahit, Museum Mandiri, Jakarta Barat pada Minggu (23/11/2025).
Sebab, topeng sudah membuat seseorang menjadi lupa pada diri sendiri demi memuaskan keinginan orang lain.
“Topeng adalah apa yang mau kita kasih lihat tentang diri kita di hadapan orang lain. Kita menyesuaikan dengan lingkungan. Enggak harus berpura-pura, tapi sisi kita yang ingin kita perlihatkan aja,” ucap Ina.
“Jangan sampai topeng itu sudah membuat kita jadi pura-pura, kita ‘menopengkan’ ekspektasi orang ke diri kita, padahal itu bukan kita yang sebenarnya,” lanjut dia.
Topeng sebagai mekanisme pertahanan diri
Topeng membuat seseorang bisa beradaptasi dengan lingkungan, tapi jangan sampai emosi yang sedang disembunyikan dipendam terlalu lama sampai meledak.
Seorang holistic wellbeing practitioner bernama Hani Amalia menambahkan bahwa topeng adalah pola adaptasi emosional seseorang, dan merupakan mekanisme pertahanan diri.
“Kenapa kita pakai topeng? Karena ada emosi-emosi yang kita tidak ingin keluarkan sepenuhnya. Dalam pandangan holistic self-healing, memakai topeng bukan kesalahan tapi mekanisme bertahan hidup yang menyelamatkan kita,” tutur Hani.
Menurut dia, topeng sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, manusia memiliki banyak emosi di dalam diri, yang mana tidak semua emosi tersebut termasuk positif.
Ketika emosi negatif sedang lebih bergejolak dibandingkan dengan emosi lainnya, manusia perlu memakai topeng untuk membantu memproses dan mengolah emosi itu agar tidak melukai orang lain.
“Kalau enggak pakai topeng, bisa bablas. Misalnya ketika kita marah, lalu di depan kita ada orang mengatakan sesuatu yang kita enggak suka, tapi kita senyum karena kita pakai topeng walaupun sebenarnya mau nabok itu orang,” kata Hani.
“Topeng itu mekanisme yang kita butuhkan untuk mengolah emosi internal kita dulu. Kalau enggak, kita bisa langsung nyakar itu orang di depan kita,” sambung dia.
Hati-hati dengan emosi yang terpendam
Holistic wellbeing practitioner, Shinta Soetardjo, saat ditemui dalam perayaan ulang tahun anggota boyband BTS bernama Park Jimin bertajuk Face of the Night, di Aula Majapahit, Museum Mandiri, Jakarta Barat pada Minggu (23/11/2025).
Holistic wellbeing practitioner lainnya bernama Shinta Soetardjo mengamini penggunaan topeng sebagai cara untuk membantu memproses dan mengolah gejolak emosi di dalam diri.
Topeng juga bisa digunakan untuk membantu menyesuaikan diri saat berhadapan dengan momen-momen tertentu agar tidak menimbulkan konflik sosial.
“Tapi, emosi yang terlalu lama dipendam atau tidak diakui bahwa emosi itu ada, karena saking asyiknya berpura-pura, kita lupa bahwa kita punya emosi itu. Ketika dipendam lama-lama, emosi itu akan merusak keharmonisan aliran energi di tubuh kita,” jelas Shinta.
Dalam pendekatan kesehatan holistik, Shinta menjelaskan bahwa tubuh manusia terdiri dari empat pilar, yaitu jiwa yang terhubung langsung dengan Tuhan, fisik, mental atau pikiran, dan energi.
Dari empat pilar tersebut, energi adalah hal terpenting supaya tiga pilar lainnya bekerja dengan baik di dalam tubuh. Ibaratnya adalah HP yang baru bisa berfungsi dengan baik saat sudah dipenuhi energi.
“Kalau energi di tubuh manusia terganggu, tentunya itu akan memengaruhi kesehatan tubuh kita, baik secara mental maupun fisik,” kata Shinta.
Aliran energi yang terganggu karena emosi yang dipendam, bisa menyebabkan seseorang merasa kewalahan secara mental, cemas, menjadi cepat marah, kecewa, atau sedih, serta merasa tegang di area leher atau bahu, asam lambung naik, sakit kepala, atau tidak bisa tidur.
Ketika seseorang secara tiba-tiba merasakan satu atau beberapa hal tersebut, kemungkinan penyebabnya adalah emosi yang terpendam.
“Kadang teman-teman lupa ada emosi yang dipendam terus-terusan karena keasyikan pakai topeng. Memang memakai topeng itu penting supaya kita bisa bertahan hidup di tengah masyarakat, tapi jangan lupa, sadari dan proses emosi-emosi yang kita miliki,” pungkas Shinta.
Tag: #memahami #topeng #dalam #psikologi #adaptasi #diri #atau #pura #pura