



Gen Z, Milenial, dan Paradoks Fleksibilitas Kerja di Era Digital
KETIKA pandemi memaksa dunia berhenti sejenak, jutaan orang mendadak menemukan cara baru untuk bekerja: dari rumah, dari layar ponsel, dari mana saja. Namun setelah pandemi berlalu, kebiasaan itu tidak benar-benar hilang. Terutama bagi generasi muda—milenial dan Gen Z—yang enggan sepenuhnya kembali ke rutinitas kantor.
Fenomena ini bukan sekadar perubahan teknis dalam pola kerja, tetapi pergeseran mendasar dalam cara generasi muda memaknai pekerjaan itu sendiri. Bagi mereka, kerja bukan lagi sekadar tempat mencari nafkah, melainkan ruang untuk menegosiasikan identitas, kebebasan, dan keseimbangan hidup (work-life balance) yang selama ini mereka dambakan. Kantor pun kehilangan simbolnya sebagai pusat produktivitas, digantikan oleh ruang digital yang cair dan personal.
Kerja Remote Sebagai Gaya Hidup Baru
Survei Gallup (2025) mencatat lebih dari 60 persen pekerja di bawah usia 35 tahun kini lebih memilih sistem kerja fleksibel—baik hybrid maupun sepenuhnya remote. Hasil serupa muncul di banyak negara. Laporan The Times (2024) menyebut hanya satu dari sepuluh pekerja Gen Z yang ingin kembali bekerja penuh waktu di kantor.
Di Indonesia, arah yang sama terlihat. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2025) menunjukkan 59,4 persen dari total penduduk bekerja merupakan pekerja informal—sekitar 86,5 juta orang. Banyak di antaranya memilih jalur freelance karena fleksibilitas waktu dan lokasi yang lebih sesuai dengan gaya hidup mereka. Artinya, bagi generasi muda, fleksibilitas bukan sekadar fasilitas, melainkan filosofi hidup. Mereka menghargai efisiensi, otonomi, dan kendali atas ritme kerja sebagai bentuk kebebasan baru.
Namun, kebebasan itu ternyata juga membawa konsekuensi. Mereka tetap mencari ruang sosial—kopi darat, co-working space, hingga komunitas digital—karena bekerja sendiri tanpa batas sering kali menimbulkan burnout: kelelahan mental dan emosional akibat hilangnya sekat antara kerja dan hidup pribadi. Di sinilah paradoks itu muncul: generasi paling terkoneksi secara digital justru kerap merasa paling terisolasi secara sosial—haus akan makna, interaksi, dan sense of belonging.
Paradoks ini tidak bisa dilepaskan dari peran media sosial. Platform seperti LinkedIn, TikTok, dan Instagram kini menjadi panggung identitas profesional. Di sana, banyak anak muda mendefinisikan dirinya bukan lewat jabatan, melainkan portofolio digital, proyek kolaboratif, dan jumlah pengikut. Kerja di era media sosial adalah kerja yang terlihat.
Aktivitas profesional kini tampil di layar publik dalam bentuk unggahan, video, atau konten kreatif. Portofolio digital pun berfungsi sebagai CV baru—bukti kemampuan sekaligus alat membangun kepercayaan dan citra profesional. Maka tidak mengherankan jika pekerjaan yang paling diminati berakar pada ekonomi digital: desainer grafis, kreator konten, digital marketer, analis data, UI/UX designer, sosial media strategis, KOL spesialist hingga influencer manager.
Bagi generasi ini, produktivitas bukan hanya soal hasil, tetapi juga tentang bagaimana karya mereka dilihat dan diakui oleh publik.
Kerja Bebas, Tapi Tak Selalu Merdeka
Dalam teori Self-Determination (Deci & Ryan, 1985), manusia memiliki tiga kebutuhan psikologis dasar: otonomi, kompetensi, dan keterhubungan. Sistem kerja fleksibel memang memberi otonomi tinggi, tetapi sering kali mengikis rasa keterhubungan sosial.
Banyak pekerja muda melaporkan rasa terisolasi meski terhubung secara daring. Mereka kehilangan spontanitas obrolan di kantor, dukungan informal dari rekan kerja, dan sense of community yang selama ini menjadi sumber makna dan motivasi.
Bagi milenial yang telah berkeluarga, fleksibilitas justru menjadi strategi bertahan. Dalam kerangka Boundary Theory, bekerja jarak jauh membantu mereka mengatur batas antara kehidupan profesional dan pribadi, karena memberikan fleksibilitas untuk mengelola waktu dan ruang kerja mereka.
Namun batas itu semakin kabur—laptop yang tak pernah mati membuat ruang privat dan publik menyatu tanpa sadar. Sosiolog Manuel Castells menyebut kita kini hidup dalam network society—masyarakat yang dibangun dari jaringan digital. Kerja menjadi modular, kolaboratif, lintas waktu, dan lintas batas. Tapi di balik kebebasan itu muncul tekanan baru: untuk selalu online, selalu siap, selalu terlihat produktif.
Media sosial menambah lapisan tekanan itu. Identitas profesional berubah menjadi personal brand yang harus terus dirawat. Terbentuklah fenomena baru: produktivitas performatif—bekerja bukan hanya agar hasilnya baik, tapi agar terlihat baik. Unggahan “kerja dari kafe” atau “meeting virtual estetik” menjadi simbol gaya hidup fleksibel, meski sering kali menutupi realitas kelelahan digital di baliknya.
Dampak Sosial dan Tantangan Struktural
Pergeseran cara pandang terhadap kerja ini tentu tidak berhenti pada level individu. Ia ikut mengguncang tatanan dunia kerja secara lebih luas—dari cara perusahaan mengelola sumber daya manusia, hingga bagaimana negara merumuskan kebijakan ketenagakerjaan di era digital.
Fleksibilitas yang lahir dari kemajuan teknologi membawa peluang besar bagi ekonomi: membuka lapangan kerja baru, mendorong inovasi, dan mempercepat mobilitas talenta. Namun, di sisi lain, muncul pula tantangan serius yang tak bisa diabaikan.
Regulasi di Indonesia, misalnya, masih berfokus pada pekerja formal, sementara jutaan pekerja digital, freelancer, dan kreator konten belum memiliki perlindungan hukum yang memadai.
Tanpa kebijakan baru yang adaptif, fleksibilitas mudah berubah menjadi ketidakpastian—dalam bentuk jam kerja tak terbatas, penghasilan tidak stabil, hingga ketiadaan jaminan sosial.
Perusahaan pun perlu bertransformasi dari budaya kerja yang menekankan pengawasan ketat menuju budaya yang menumbuhkan kepercayaan dan tanggung jawab. Sistem kerja hybrid menuntut pendekatan baru dalam manajemen kinerja, kesehatan mental, serta dukungan sosial yang selama ini hanya hadir di lingkungan kantor fisik.
Artinya, keberhasilan dunia kerja masa depan tidak hanya bergantung pada kecanggihan teknologi, tetapi juga pada kemampuan institusi—baik publik maupun swasta—dalam merancang ekosistem kerja yang manusiawi.
Fleksibilitas yang sejati bukan sekadar soal tempat dan waktu, melainkan tentang bagaimana kerja tetap memberi makna, stabilitas, dan rasa aman bagi semua pihak.
Menemukan Makna di Tengah Kebebasan
Bagi generasi muda, fleksibilitas adalah simbol kemerdekaan baru. Mereka ingin menentukan cara kerja sendiri, memilih tempat yang nyaman, dan menyeimbangkan hidup dengan karier. Namun di balik layar, kebebasan itu kerap berubah menjadi tekanan yang halus—tekanan untuk selalu terlihat produktif, selalu aktif di media sosial, dan selalu relevan di mata publik.
Paradoksnya, ruang digital yang seharusnya memberi kebebasan justru membentuk standar sosial baru tentang “kerja ideal”. Di sinilah tantangan terbesar generasi muda: bagaimana tetap otentik di tengah dunia kerja yang menuntut visibilitas. Karena pada akhirnya, makna kerja bukan diukur dari seberapa fleksibel tempatnya, atau seberapa banyak pengikut di media sosial, melainkan dari sejauh mana seseorang merasa terhubung—dengan sesama, dengan karya, dan dengan tujuan yang lebih besar dari dirinya sendiri.