



Mengenal Lebih Dalam Puasa Mutih: Laku Spiritual untuk Menyucikan Diri Lahir dan Batin Menurut Kepercayaan Jawa
- Dalam tradisi spiritual Jawa, dikenal berbagai macam tirakat atau laku batin yang dilakukan demi mencapai tujuan tertentu, baik yang bersifat duniawi maupun spiritual.
Salah satu bentuk tirakat yang cukup populer adalah puasa mutih, atau dalam bahasa Jawa disebut poso mutih.
Meski terlihat sederhana, puasa ini sebenarnya menyimpan makna dan manfaat yang sangat dalam. Puasa mutih bukanlah puasa biasa. Tirakat ini bukan hanya sekadar menahan lapar dan dahaga seperti puasa pada umumnya, tetapi juga merupakan bentuk latihan spiritual yang mendalam.
Menurut penjelasan dalam salah satu video di kanal Youtube Panggilan Leluhur, dalam puasa mutih, seseorang hanya diperbolehkan makan nasi putih polos dan minum air putih saja, tanpa lauk, tanpa rasa, tanpa tambahan apapun. Kesederhanaan ini mengandung filosofi "memutihkan" atau membersihkan diri, baik secara lahir maupun batin. Tujuannya adalah untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan menguatkan spiritualitas dari dalam diri sendiri. Lalu bagaimana caranya?
Tata Cara Menjalani Puasa Mutih: Sebelum memulai puasa mutih, seseorang dianjurkan untuk melakukan mandi penyucian di sore hari sebelum malam pertama puasa. Mandi ini bukan sekadar bersih-bersih biasa, melainkan simbol pembersihan lahir sebagai persiapan menyucikan batin. Sebaiknya mandi ini juga menggunakan minyak wangi spiritual seperti minyak misik.
Setelah itu, anda bisa membaca niat puasa mutih dengan sungguh-sungguh. Ada dua versi niat yang umum digunakan, misalnya: "Niat ingsun poso mutih karena Allah Ta’ala," atau versi panjang: "Niat ingsun poso mutih supaya putih lahir lan batinku, putih koy banyu suci, kabul opo kang dadi kajatku karena Allah Ta’ala."
Selama menjalani puasa, makan dan minum hanya dilakukan saat sahur dan berbuka, itu pun hanya dengan nasi putih dan air putih. Tidak diperbolehkan teh, kopi, susu, atau makanan beraroma dan berbumbu. Puasa ini dijalankan dari subuh hingga magrib, bahkan dalam beberapa tirakat berat, ada versi di mana tidak boleh makan atau minum sama sekali dari magrib hingga sahur.
Durasi puasa mutih sangat bergantung pada arahan dari guru spiritual. Ada yang menjalani selama 1 hari, 3 hari, 7 hari, hingga 21 atau bahkan 40 hari. Semakin panjang durasi, maka semakin kuat pula pengaruhnya terhadap penyucian diri. Namun, sangat tidak dianjurkan menjalani puasa mutih dalam jangka panjang tanpa bimbingan guru, karena bisa menimbulkan ketidakseimbangan fisik maupun psikis.
Saat menjalani puasa mutih, seseorang dianjurkan untuk mengurangi interaksi duniawi. Bukan berarti mengasingkan diri sepenuhnya, tetapi lebih kepada menyepi, menjauh dari keramaian, dan fokus pada olah batin. Hal ini dilakukan agar tidak terganggu oleh hal-hal eksternal dan bisa benar-benar menyatu dengan kesadaran spiritual.
Aktivitas yang disarankan selama puasa ini antara lain: memperbanyak zikir, shalat sunnah, membaca ayat-ayat suci, serta tafakur atau meditasi. Dalam tradisi kejawen, puasa mutih sering disertai dengan kegiatan menyepi di tempat yang tenang seperti gunung, hutan, atau lokasi khusus lainnya.
Ditutup dengan Tirakat Sedekah
Setiap tirakat memiliki akhir, dan puasa mutih ditutup dengan sedekah. Sedekah ini adalah wujud syukur setelah melalui proses panjang penyucian diri. Selain sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Tuhan, sedekah juga menjadi penguat doa dan hajat yang dipanjatkan selama tirakat berlangsung.
Kesimpulannya, puasa mutih bukan hanya praktik spiritual yang unik, tetapi juga sarana untuk melatih diri dalam hal kesabaran, pengendalian nafsu, dan kesederhanaan. Dengan niat yang tulus, bimbingan guru spiritual yang tepat, serta penghayatan penuh selama menjalankannya, puasa mutih dapat menjadi jembatan untuk menyatu lebih dalam dengan diri sendiri dan Sang Pencipta.
Tag: #mengenal #lebih #dalam #puasa #mutih #laku #spiritual #untuk #menyucikan #diri #lahir #batin #menurut #kepercayaan #jawa