



Direktur JAK TV Dijerat Pasal Perintangan Penyidikan, Kejagung Harus Buktikan Penegakan Hukum Terganggu
- Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM) Zaenur Rohman menyebut Kejaksaan Agung (Kejagung) harus memiliki bukti yang bisa menunjukkan adanya gangguan terhadap proses penegakan hukum karena menggunakan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk menjerat Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar (TB).
Sebab, dalam pandangannya, pengunaan Pasal 21 UU Tipikor tentang perintangan penyidikan atau obstruction of justice, kurang tepat.
"Yang menjadi perdebatan adalah apakah ketika seorang tersangka itu berusaha untuk memengaruhi pendapat publik dengan melakukan upaya-upaya untuk menyebarkan informasi kasus yang sedang dialaminya, itu kemudian bisa berujung pada obstruction of justice? Saya lihat belum tentu,” kata Zaenur kepada Kompas.com, Rabu (23/4/2025).
Bahkan, menurut Zaenur, belum tentu Pasal 21 UU Tipikor tepat dipakai jika ada tersangka menggunakan uangnya untuk membuat media memuat berita dengan tujuan menguntungkan dirinya dan mendeskriditkan proses penegakan hukum.
Pasalnya, Zaenur mengatakan, perbuatan bisa dikatakan obstruction of justice jika disengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan proses penegakan hukum di tahap penyidikan, penuntutan hingga persidangan.
“Saya masih bertanya-tanya, apakah kalau sebuah berita negatif itu bisa berdampak misalnya, pada gagalnya atau terganggungnya, atau tercegahnya upaya penyidikan itu hingga tuntas? Saya melihat ini masih debatable ya. Saya melihat ini kok agak jauh ketika yang seperti ini kemudian dijerat menggunakan (pasal) obstruction of justice,” ujarnya.
Zanur lantas mencontohkan kasus yang mungkin bisa dijerat dengan Pasal 21 UU Tipikor, yakni jika seorang tersangka membayar media atau jurnalis untuk terus menerus menyudutkan seorang saksi. Padahal, sanksi itu merupakan saksi yang memberatkan untuk tersangka.
Kemudian, akibat pemberitaan masif tersebut, saksi yang memberatkan itu menjadi enggan bahkan takut untuk memberikan kesaksian.
“Sehingga, saksi itu menjadi tidak kooperatif dan kemudian penyidik mengalami hambatan karena saksinya dibunuh karakternya oleh media dengan sedemikian rupa hasil bayaran oleh tersangka. Menurut saya, mungkin itu bisa masuk pada obstruction of justice,” katanya.
.
Oleh karena itu, Zaenur mengatakan, Kejagung harus memiliki bukti yang memperlihatkan secara nyata proses penegakan hukum yang terganggu dengan adanya pemberitaan negatif jika ingin menggunakan Pasal 21 UU TIpikor dalam kasus Direktur Pemberitaan JAK TV.
“Untuk kasus ini, saya katakan, kecuali kejaksaan punya bukti yang menunjukkan adanya gangguan terhadap aspek penegakan hukumnya melalui jalur pemberitaan,” ujar Zaenur.
“Seharusnya kan yang menjadi poin obstruction of justice adalah merusak alat bukti, kemudian membantu melarikan diri, membantu merusak alat bukti. Tapi, kalau membangun opini media dengan cara membeli awak media atau pejabat media, menurut saya itu belum tentu merupakan obstruction of justice,” katanya lagi.
Menurut Zaenur, penting bagi Kejagung memperlihatkan bukti tersebut karena bukan hanya mengacam kebebasan pers tetapi juga kebebasan berpendapat.
“Nanti bagaimana dengan kritik yang bersifat murni terhadap penegakan hukum. Bagaimana dengan gugatan-gugatan para pakar, para ahli, atau LSM terhadap proses penegakan hukum yang misalnya dipertanyakan. Berisiko kalau Pasal 21 itu tidak digunakan dengan ketat,” ujarnya.
Pasal 21 UU Tipikor berbunyi, "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau 33 denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.
Sebagaimana diberitakan, Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar (TB) disangkakan dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah undang-undang nomor 21 tahun 2021 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar menyebut, Tian diduga membuat berita-berita berdasarkan pesanan dari Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS) selaku advokat para tersangka maupun terdakwa kasus-kasus yang diusut oleh Kejagung.
“Tersangka MS dan JS mengorder tersangka TB untuk membuat berita-berita negatif dan konten-konten negatif yang menyudutkan Kejaksaan terkait dengan penanganan perkara a quo, baik di penyidikan, penuntutan, maupun di persidangan,” ujar Qohar di Kantor Kejagung, Selasa (22/4/2025) dini hari.
Untuk hal itu, Tian diduga menerima uang sebesar Rp 478.500.000 yang masuk kantong pribadi setelah memuat konten-konten negatif terkait Kejagung. Perbuatan Tian itu dilakukan tanpa sepengetahuan jajaran JAK TV.
“Sementara yang saat ini prosesnya sedang berlangsung di pengadilan dengan biaya sebesar Rp 478.500.000 yang dibayarkan oleh Tersangka MS dan JS kepada TB,” kata Qohar.
Perbuatan Personal dan Pemufakatan Jahat
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar dalam pernyataan terbarunya menegaskan bahwa perbuatan pidana yang disangkakan kepada Direktur Pemberitaan JAKTV, Tian Bahtiar, murni merupakan tindakan pribadi yang tidak berkaitan dengan aktivitas jurnalistik maupun institusi media tempatnya bekerja.
“Perbuatan yang dipersangkakan kepada yang bersangkutan itu adalah perbuatan personal, yang tidak terkait dengan media. Itu tegas,” ujar Harli di Kejagung Jakarta, Selasa.
Harli juga menegaskan bahwa yang menjadi perhatian Kejagung bukan soal pemberitaan, melainkan tindakan permufakatan jahat untuk merintangi proses hukum yang sedang berjalan.
“Yang dipersoalkan oleh Kejaksaan bukan soal pemberitaan, karena kita tidak anti kritik,” kata Harli.
“Tetapi yang dipersoalkan adalah tindak pidana permupatatan jahatnya antar pihak-pihak ini, sehingga melakukan perintangan terhadap proses hukum yang sedang berjalan,” ujarnya lagi.
Lebih lanjut, Harli memastikan bahwa Kejagung menghormati otoritas Dewan Pers dalam menilai dan menangani persoalan etik atau dugaan pelanggaran dalam karya jurnalistik.
“Ada rekayasa disitu, dan setelah mendapat penjelasan-penjelasan itu tentu terkait dengan penegakan hukum, Dewan Pers sangat menghormati itu,” katanya.
Tag: #direktur #dijerat #pasal #perintangan #penyidikan #kejagung #harus #buktikan #penegakan #hukum #terganggu