Menelusuri Sejarah Awal Kelompok Houthi di Yaman
KELOMPOK Houthi di Yaman kembali menjadi perhatian dunia setelah menjadi target serangan rudal Amerika Serikat (AS) dan Inggris serta delapan negara Barat lainnya pada 11 hingga 12 Januari 2024. Serangan itu bertujuan untuk menekan serangan drone dan rudal dari kelompok yang didukung Iran itu terhadap kapal-kapal kargo di Laut Merah.
Departemen Pertahanan AS menyatakan, target serangannya antara lain sistem radar, tempat penyimpanan dan peluncuran drone, fasilitas penyimpanan dan peluncuran rudal, serta pusat komando dan kendali Houthi. Serangan ditujukan ke Ibu Kota Yaman, Sana'a, yang dikuasai Houthi, serta pelabuhan Houthi di Hodeidah, Dhamar, dan markas kelompok tersebut di barat laut Saada.
Sementara Kementerian Pertahanan Inggris menyatakan, serangannya dilancarkan di Bani di barat laut Yaman, yang disebut sebagai lokasi peluncuran rudal dan drone.
BBC sebelumnya melaporkan bahwa kelompok Houthi menyerang sejumlah kapal komersial di Laut Merah dengan menggunakan drone dan rudal balistik sejak 3 Desember, tak lama setelah perang Israel dan Hamas pecah pada 7 Oktober. Mereka melancarkan serangan dari pantai Yaman. Houthi, yang telah menguasai sebagian besar wilayah Yaman, mengumumkan dukungannya terhadap Hamas dan mengatakan mereka akan menargetkan kapal apa pun yang berlayar menuju Israel. Mereka menyebut dirinya bagian dari "poros perlawanan" bersama Hamas dan Hizbullah, yang dipimpin Iran melawan Israel, AS, dan negara-negara Barat.
Serangan terhadap kapal-kapal kargo tersebut memicu kekhawatiran akan kenaikan harga bahan bakar naik dan kekacauan rantai pasokan. Menurut BBC, hampir 15 persen perdagangan global melalui laut melewati Laut Merah, yang terhubung ke Laut Tengah melalui terusan Suez dan merupakan rute pelayaran terpendek antara Eropa dan Asia.
Siapakah Kelompok Houthi?
Kelompok Houthi awalnya merupakan gerakan politik dan militer yang muncul di Yaman utara pada tahun 1990-an. Gerakan itu berakar pada komunitas Zaidi, sebuah cabang dari aliran Islam Syiah di negara itu. Perkembangan awal kelompok itu sangat terkait dengan pendiri mereka, Hussein Badreddin al-Houthi. Nama kelompok itu kini merujuk ke nama pendirinya.
Hussein Badreddin al-Houthi, yang berasal dari keluarga berpengaruh di Yaman utara, getol mengkritik pemerintah Yaman dan kebijakan asing, terutama kebijakan AS dan Israel. Ia juga menentang penyebaran Wahabisme yang didukung Arab Saudi. Pada awal 1990-an, sebagai mantan anggota parlemen, al-Houthi vokal dengan pandangannya yang kritis terhadap dampak kebijakan asing di Yaman.
Dia menggunakan tempat ibadah dan sekolah di Sa'dah, sebuah kota tua di Yaman dan pusat Zaidi, untuk menyebarkan pemikiran dan ajarannya, termasuk ajaran anti AS dan Israel.
Konflik antara kelompok Houthi dan pemerintah Yaman meletus sekitar tahun 2004, ketika pemerintah mencoba menekan gerakan ini. Hussein al-Houthi akhirnya tewas pada September 2004. Namun dia justru menjadi martir bagi pengikutnya, dan gerakannya terus berkembang di bawah kepemimpinan saudaranya, Abdul-Malik al-Houthi.
Kelompok itu semakin mendapatkan dukungan dari masyarakat, terutama di Yaman utara, karena kekecewaan mereka terhadap pemerintah yang korup. Dengan berkembangnya kekuatan mereka, Houthi mengambil alih wilayah yang lebih luas, termasuk Sana'a, ibu kota Yaman, tahun 2014, yang menandai perubahan besar dalam dinamika politik Yaman (International Journal of Middle East Studies).
Langkah itu memperkuat posisi mereka sebagai pemain utama dalam konflik Yaman, yang melibatkan berbagai pihak, termasuk koalisi militer yang dipimpin oleh Arab Saudi.
Sebagaimana disebutkan di atas, kelompok Houthi memiliki akar yang mendalam dalam tradisi Zaidi Syiah, sebuah cabang Islam yang memiliki keunikan tersendiri dan berpengaruh di Yaman. Latar belakang dan ideologi Zaidi memainkan peran penting dalam pemahaman dinamika kelompok Houthi.
Di Yaman, Zaidi telah lama menjadi komponen utama dari struktur sosial dan politik, terutama di wilayah utara. Mereka memiliki sejarah panjang dalam membentuk negara-negara dan dinasti-dinasti di wilayah tersebut, dan ini memberikan mereka posisi yang unik dalam sejarah Yaman. Tradisi Zaidi Syiah di Yaman berbeda dengan praktik Syiah di tempat lain, dengan penekanan pada aspek kebebasan dan pemberontakan terhadap penguasa yang tidak adil.
Meski berakar pada tradisi Zaidi, kelompok itu telah mengembangkan bentuk ideologi dan praktek yang unik. Mereka menggabungkan elemen-elemen tradisional Zaidi dengan pandangan kontemporer yang terkait dengan isu-isu nasionalisme, anti-imperialisme, dan oposisi terhadap intervensi asing. Hal itu menciptakan suatu bentuk resistensi yang berlandaskan pada identitas Zaidi tetapi juga merespons konteks politik dan sosial Yaman modern.
Sebuah pesawat lepas landas untuk melakukan serangan udara terhadap sasaran di Yaman, yang ditujukan pada milisi Houthi yang menargetkan pelayaran internasional di Laut Merah, 12 Januari 2024.Pemicu Konflik dengan Pemerintah Yaman
Hubungan antara kelompok Houthi dan pemerintah Yaman pada awalnya merupakan cerminan dari dinamika yang lebih luas antara pemerintah pusat dan komunitas Zaidi di utara Yaman. Pada awalnya, hubungan ini ditandai dengan ketegangan dan ketidakpercayaan, namun belum sepenuhnya bermusuhan.
Pada awal tahun 2000-an, hubungan itu mulai memburuk secara signifikan. Faktor utama yang memicu konflik termasuk kebijakan pemerintah Yaman yang dirasakan mendiskriminasi komunitas Zaidi, terutama dalam hal ekonomi dan politik.
Pemerintah, di bawah kepemimpinan Presiden Ali Abdullah Saleh, yang juga berasal dari latar belakang Zaidi, dituduh mengabaikan kebutuhan dan hak-hak komunitas Zaidi, sambil memperkuat aliansi dengan kelompok-kelompok Sunni dan dukungan dari negara-negara Teluk, terutama Arab Saudi(Sarah Phillips, "Yemen and the Politics of Permanent Crisis", 2012).
Perluasan pengaruh Wahabi, yang didukung Arab Saudi, di Yaman utara juga memicu ketegangan. Wahabisme, dengan ajaran Sunni yang ketat, dianggap sebagai ancaman terhadap tradisi Zaidi yang lebih moderat dan inklusif. Hal itu meningkatkan ketidakpuasan di kalangan komunitas Zaidi dan memperkuat dukungan bagi kelompok Houthi, yang menentang penyebaran Wahabisme (Fred Halliday, "Arabia without Sultans", 2002).
Konflik bersenjata pertama meletus tahun 2004, ketika pemerintah Yaman mencoba menangkap Hussein Badreddin al-Houthi, mengklaim bahwa ia menyebabkan ketidakstabilan dan pemberontakan. Hal itu mengawali serangkaian konfrontasi bersenjata yang berkelanjutan antara kelompok Houthi dan pemerintah Yaman. Pemerintah Yaman menuduh Houthi berupaya merongrong pemerintahan dan mendirikan sebuah negara Syiah di Yaman utara, sebuah tuduhan yang ditolak Houthi.
Keterlibatan kelompok Houthi dalam politik nasional, terutama setelah invasi Irak 2003 dan konflik Israel-Palestina, juga memainkan peran dalam meningkatkan ketegangan. Gerakan Houthi, yang mengkritik keras kebijakan pro-Barat pemerintah Yaman dan intervensi asing, terutama dari AS dan Israel, memperoleh dukungan luas dari berbagai kelompok di Yaman yang merasa terpinggirkan oleh pemerintah pusat (Marieke Brandt, "Tribes and Politics in Yemen: A History of the Houthi Conflict", 2017).
Faktor internal lain yang berkontribusi pada konflik ini termasuk ketidakpuasan ekonomi dan sosial di wilayah utara Yaman. Kekurangan sumber daya, marginalisasi politik, dan ketidakadilan sosial dianggap sebagai pemicu pemberontakan Houthi. Kelompok ini menarik dukungan dari mereka yang kecewa dengan pemerintah dan mencari perubahan politik dan ekonomi.
Jadi, hubungan awal antara kelompok Houthi dan pemerintah Yaman terbilang kompleks dan dipengaruhi berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Ketidakpuasan terhadap pemerintah, penyebaran Wahabisme, dan dinamika regional semuanya berperan dalam memicu konflik yang akhirnya melibatkan Houthi dalam konflik bersenjata dengan pemerintah Yaman.