Roma di Tengah Gempuran Wisata dan Luka Sejarah yang Belum Sembuh
Roma, ibu kota Italia yang kerap dijuluki The Eternal City, kini menghadapi dua tantangan besar, yakni meningkatnya tekanan pariwisata massal dan ancaman terhadap memori sejarah warganya. Dua peristiwa yang terjadi baru-baru ini menggambarkan dilema itu dengan jelas, vandalisme terhadap plakat memorial Holocaust dan meningkatnya kekhawatiran warga terhadap “disneylandisasi” kota mereka.
Menurut laporan AP News, sejumlah plakat kuningan kecil yang tertanam di trotoar Roma, termasuk di kawasan wisata populer seperti Trastevere, ditemukan rusak dan dicoret oleh pihak tak dikenal. Plakat-plakat tersebut merupakan bagian dari proyek Stumbling Stones (batu kenangan) yang dibuat untuk memperingati warga Yahudi Roma yang dideportasi ke kamp konsentrasi Nazi selama Perang Dunia II.
Tindakan vandalisme ini mengejutkan masyarakat lokal dan komunitas Yahudi di Italia. Mereka menilai insiden tersebut sebagai tanda bahwa sentimen antisemitisme belum sepenuhnya hilang dari ruang publik Roma. Pemerintah kota pun berjanji untuk memperkuat pengawasan di area publik serta memperbaiki monumen yang rusak.
“Memori sejarah adalah bagian dari jati diri kota ini. Ketika simbol-simbol itu dirusak, yang terluka bukan hanya komunitas Yahudi, tetapi seluruh warga Roma,” ujar perwakilan komunitas Yahudi Roma seperti dikutip AP News.
Sementara itu, di sisi lain kota, Roma juga tengah bergulat dengan persoalan lain yang tak kalah serius, dampak dari pariwisata massal yang kian tak terkendali. Dalam laporan Le Monde berjudul “La Disneylandisation de la Ville Éternelle”, banyak warga setempat yang mengeluhkan bahwa kota mereka kini lebih mirip taman hiburan dibanding tempat tinggal.
Laporan tersebut menggambarkan bagaimana lokasi-lokasi ikonik seperti Fontana di Trevi, Piazza Navona, dan Trastevere berubah menjadi lautan wisatawan setiap harinya. Pemerintah kota bahkan sempat memasang pagar pembatas di sekitar air mancur Trevi untuk mengatur antrean turis yang hendak berfoto, dan muncul wacana penerapan biaya masuk sebesar dua euro.
Langkah itu dianggap sebagian warga sebagai bentuk “komersialisasi ruang publik” yang mengancam kehidupan sosial warga lokal. Salah satu warga yang diwawancarai Le Monde mengaku bahwa “Roma kini bukan lagi rumah bagi orang Roma, melainkan panggung besar untuk selfie para turis.”
Fenomena ini, yang disebut disneylandisasi, mencerminkan kekhawatiran bahwa identitas budaya dan keseharian penduduk perlahan tergerus oleh industri pariwisata. Populasi di kawasan bersejarah seperti Trastevere dilaporkan menurun hampir 45 persen dalam satu dekade terakhir karena tingginya biaya hidup dan konversi rumah menjadi penginapan jangka pendek seperti Airbnb.
Kedua isu ini vandalisme memorial dan pariwisata berlebihan sama-sama memperlihatkan bahwa Roma kini berada di persimpangan antara menjaga warisan sejarah dan memenuhi tuntutan ekonomi modern. Di satu sisi, kota ini berusaha mempertahankan statusnya sebagai salah satu destinasi wisata paling populer di dunia. Namun disisi lain, masyarakat lokal menuntut agar Roma tetap menjadi tempat tinggal yang manusiawi dan berakar pada sejarahnya.
Seperti disimpulkan oleh Le Monde, jika kebijakan kota hanya menekankan keuntungan turisme tanpa memperhatikan keberlanjutan sosial, maka Roma berisiko kehilangan jiwanya sebagai “kota abadi”. Pemerintah setempat diharapkan mampu menemukan keseimbangan antara pelestarian budaya, penghormatan terhadap sejarah, dan pengelolaan wisata yang berkeadilan. (*)
Tag: #roma #tengah #gempuran #wisata #luka #sejarah #yang #belum #sembuh