



Fast Fashion, Industri yang Menjahit Ketidakadilan
- Industri fast fashion kembali menjadi sorotan setelah sejumlah investigasi internasional mengungkap praktik pelanggaran hak asasi manusia yang tersembunyi di balik produksi pakaian murah.
Laporan terbaru dari RTÉ Investigates, sebuah program investigasi asal Irlandia, mengungkap bahwa beberapa merek besar seperti Penneys, Dunnes Stores, dan Tesco diduga menggunakan kapas dari wilayah Xinjiang, Tiongkok, yang terkait dengan kerja paksa terhadap etnis minoritas Uyghur.
Dalam dokumenter berjudul Forced Fast Fashion, RTÉ menemukan bahwa dua perusahaan pemasok kapas, Esquel Group dan Jiangsu Lianfa Textiles, memiliki operasi besar di Xinjiang.
Wilayah Xinjiang sendiri dikenal sebagai pusat produksi kapas dunia, namun juga menjadi lokasi kamp kerja paksa yang telah dikritik oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
“Warga Uyghur mengalami pelanggaran HAM berat, termasuk penahanan sewenang-wenang, pemerkosaan, aborsi paksa, dan sterilisasi,” tulis laporan tersebut.
Meski beberapa merek telah menyatakan tidak lagi menggunakan kapas dari Xinjiang, sistem sertifikasi yang digunakan dinilai tidak mampu melacak asal-usul kapas secara akurat.
Patricia Carrier, pengacara HAM dari Koalisi untuk Mengakhiri Kerja Paksa di Wilayah Uyghur, mengatakan, “Kapas dari wilayah Uyghur bisa dicampur dengan kapas konvensional sejak awal rantai pasok, sehingga sulit untuk memastikan asalnya.”
Tak hanya soal kapas, laporan dari Business & Human Rights Resource Centre juga mencatat bahwa puluhan merek fast fashion dan mewah seperti H&M, ASOS, dan MANGO telah melakukan pemindahan pesanan ke negara-negara dengan upah lebih murah, termasuk Indonesia, Bangladesh, dan Filipina.
Praktik ini menyebabkan ribuan pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja secara mendadak, tanpa pesangon atau gaji yang layak. Di Filipina, misalnya, pabrik Luenthai dilaporkan merumahkan 2.000 pekerja akibat penurunan pesanan dari merek internasional.
Sementara itu, laporan dari EarthDay.org menyoroti bahwa hanya 2% dari 60 juta pekerja garmen di dunia yang menerima upah layak. Sebagian besar bekerja dalam kondisi berbahaya, dengan jam kerja panjang dan pelecehan berbasis gender.
Tragedi Rana Plaza di Bangladesh pada 2013 menjadi pengingat kelam akan risiko nyawa yang dihadapi para pekerja. Bangunan delapan lantai itu runtuh dan menewaskan lebih dari 1.100 orang, meski sehari sebelumnya sudah ditemukan retakan besar di struktur bangunan.
“Industri ini dibangun di atas efisiensi dan keuntungan maksimal, tapi dengan mengorbankan hak-hak dasar para pekerja,” tulis EarthDay.org dalam artikelnya Beneath the Seams.
Mereka menambahkan bahwa selama pandemi COVID-19, merek-merek besar membatalkan pesanan senilai USD 40 miliar, menyebabkan penutupan massal pabrik dan krisis ekonomi bagi para pekerja.
Fenomena ini menunjukkan bahwa di balik harga murah dan tren busana yang cepat berubah, terdapat rantai pasok yang penuh ketidakadilan. Konsumen, merek, dan pemerintah perlu mengambil langkah nyata untuk memastikan bahwa pakaian yang kita kenakan tidak dijahit dengan pelanggaran hak asasi manusia. (*)
Tag: #fast #fashion #industri #yang #menjahit #ketidakadilan