BPOM Ungkap Ada Penyimpangan Peredaran Ketamin di Fasilitas Distribusi dan Pelayanan Kefarmasian
Ilustrasi Ketamine - Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar ungkap adanya penyimpangan peredaran ketamin di fasilitas distribusi dan pelayanan kefarmasian di beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya ketamine 
01:10
8 Desember 2024

BPOM Ungkap Ada Penyimpangan Peredaran Ketamin di Fasilitas Distribusi dan Pelayanan Kefarmasian

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar ungkap adanya penyimpangan peredaran ketamin di fasilitas distribusi dan pelayanan kefarmasian di beberapa wilayah di Indonesia. 

Data ini merupakan hasil pengawasan proaktif BPOM melalui intensifikasi pengawasan terhadap peredaran ketamin yang dilakukan sepanjang Tahun 2024.

“BPOM melakukan pengawasan khusus atau intensifikasi terhadap peredaran ketamin ini karena BPOM melihat adanya pelanggaran dan penyimpangan peredaran ketamin, baik di fasilitas distribusi maupun pelayanan kefarmasian," ungkapnya dilansir dari website resmi, Sabtu (7/12/2024). 

Ketamin merupakan golongan obat keras yang penggunaannya harus berdasarkan resep dokter dan memerlukan pengawasan dari tenaga medis secara ketat. 

Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, bahwa penyerahan obat golongan keras harus berdasarkan resep dokter.

Intensifikasi pengawasan terhadap peredaran ketamin di tahun 2024 ini dilakukan langsung terhadap fasilitas distribusi dan pelayanan kefarmasian. 

Perhatian utama BPOM karena terjadinya peningkatan jumlah peredaran ketamin injeksi dari fasilitas distribusi ke fasilitas pelayanan kefarmasian (apotek, rumah sakit, dan klinik) pada tahun 2022—2023.

Kepala BPOM juga menyoroti maraknya informasi di media massa tentang penyalahgunaan dan produksi ilegal ketamin, serta penyelundupan bahan baku ketamin

Selain itu, adanya peningkatan putusan pengadilan mengenai ketamin ilegal setiap tahunnya juga memperkuat dasar dilakukannya intensifikasi pengawasan peredaran ketamin ini.

Peredaran ketamin injeksi ke fasilitas pelayanan kefarmasian pada tahun 2023 (235 ribu vial) meningkat 75 persen dibandingkan tahun 2002 (134 ribu vial).

Lalu pada tahun 2024 (440 ribu vial) meningkat sebanyak  87 persen dibandingkan tahun 2023.

Dari data peredaran tersebut, diketahui adanya peningkatan jumlah ketamin injeksi yang didistribusikan ke apotek yang merupakan bagian dari fasilitas pelayanan kefarmasian pada tahun 2024 sejumlah 152 ribu vial. 

Hal ini menunjukkan peningkatan sebesar 246 persen dibandingkan tahun 2023 yang hanya sejumlah 44 ribu vial.

Taruna menjelaskan lebih lanjut bahwa dari hasil intensifikasi pengawasan BPOM ditemukan banyak ketamin injeksi yang diperjualbelikan di fasilitas pelayanan kefarmasian terutama apotek di beberapa provinsi. 

Penjualan ketamin di apotek tidak sesuai dengan ketentuan.

Karena, apotek menyerahkan obat secara langsung kepada masyarakat dan digunakan tanpa pengawasan tenaga medis. 

Penyerahan obat keras harus berdasarkan resep dokter sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Penyimpangan peredaran ketamin injeksi sepanjang tahun 2024 ini terjadi di 7 provinsi, yaitu Lampung, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Barat. 

BPOM menyebutkan, penyimpangan peredaran tertinggi terjadi di Provinsi Lampung dengan jumlah 5.840 vial ketamin

Sedangkan di 3 provinsi lain yang juga tinggi adalah Bali (4.074 vial), Jawa Timur (3.338 vial), dan Jawa Barat (1.865 vial).

Berdasarkan data hasil pengawasan BPOM pada 2022—2024, BPOM telah memetakan profil peredaran ketamin injeksi. 

Dari data tersebut Bali merupakan wilayah peredaran dengan kategori sangat tinggi (di atas 100 ribu vial). 

Jawa Timur dan Jawa Barat masuk dalam kategori tinggi peredaran ketamin injeksi (50 ribu—100 ribu vial). 

Provinsi lain di Indonesia masuk dalam kategori sedang dan rendah yaitu di bawah 50 ribu vial.

Selama Oktober 2023–Oktober 2024, BPOM menemukan 71 fasilitas distribusi obat yang melakukan pelanggaran terhadap pemenuhan standar CDOB terkait pengelolaan ketamin atau 3,7 persen dari 1.914 fasilitas distribusi yang diperiksa.

Dari temuan tersebut, 6 fasilitas melakukan pelanggaran yang bersifat kritikal dan telah diberikan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan (PSK). 

Kemudian terhadap fasilitas pelayanan kefarmasian, BPOM menemukan 65 fasilitas pelayanan kefarmasian yang melakukan pelanggaran pengelolaan ketamin.

Sebanyak 17 diantaranya melakukan pelanggaran yang bersifat kritikal dan telah diberikan sanksi penghentian sementara kegiatan. 

Terhadap 48 fasilitas pelayanan kefarmasian lainnya, BPOM telah memberikan tindak lanjut berupa pembinaan kepada 11 fasilitas pelayanan kefarmasian.

Memberikan sanksi peringatan kepada 19 fasilitas pelayanan kefarmasian serta sanksi peringatan keras kepada 18 fasilitas pelayanan kefarmasian. 

Pemberian sanksi di atas sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan BPOM Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif.

BPOM mengimbau masyarakat untuk tidak menyalahgunakan ketamin karena dapat menyebabkan dampak buruk yang serius bagi kesehatan hingga berujung kematian. 

Penyalahgunaan ketamin dapat berdampak buruk pada psikologis, fisik, sistem syaraf, dan gangguan kesehatan mental dalam jangka panjang. 

Dampak buruk psikologis dapat berupa halusinasi, gangguan kognitif, dan memori, serta kecemasan hingga depresi. 

Tidak hanya itu, dampak buruk fisik antara lain kerusakan pada sistem saluran kemih, masalah pernapasan, kerusakan ginjal dan hati. 

Sedangkan dampak buruk pada sistem syaraf antara lain disfungsi kognitif, risiko kejang, dan kecanduan psikologis.

Dari sisi kesehatan mental dalam jangka panjang bisa menyebabkan antara lain psikosis, skizofrenia, dan risiko bunuh diri.

Editor: Eko Sutriyanto

Tag:  #bpom #ungkap #penyimpangan #peredaran #ketamin #fasilitas #distribusi #pelayanan #kefarmasian

KOMENTAR