52,3 Persen Anak SD Sulit Beraktivitas karena Gangguan Penglihatan
Ilustrasi(FREEPIK)
14:06
12 Oktober 2025

52,3 Persen Anak SD Sulit Beraktivitas karena Gangguan Penglihatan

- Kesehatan mata merupakan fondasi penting dalam proses tumbuh kembang anak. Penglihatan yang baik tidak hanya memengaruhi kemampuan anak untuk belajar dan mengeksplorasi lingkungan, tetapi juga berdampak signifikan pada interaksi sosial serta kepercayaan dirinya.

Sayangnya, masalah penglihatan pada anak seringkali tidak terdeteksi karena si kecil belum mampu mengungkapkan keluhannya secara jelas.

Banyaknya masalah penglihatan anak yang tidak terdeteksi juga muncul dalam temuan yang dilakukan oleh Cermata, situs web untuk skrining kesehatan mata bagi anak-anak.

Temuan survey PedEyeQ

Hasil temuan dari PedEyeQ mengungkapkan, 52,3 persen anak menganggap dirinya mengalami kesulitan dalam aktivitas yang memerlukan penglihatan, seperti membaca, melihat jauh, atau melihat dekat.

Project Leader sekaligus peneliti utama Cermata dr. Kianti Raisa Darusman, SpM(K), yang berpraktik di Siloam Hospitals Menteng, dalam konferensi pers peluncuran Cermata di Jakarta Selatan, Kamis (9/10/2025).Kompas.com / Nabilla Ramadhian Project Leader sekaligus peneliti utama Cermata dr. Kianti Raisa Darusman, SpM(K), yang berpraktik di Siloam Hospitals Menteng, dalam konferensi pers peluncuran Cermata di Jakarta Selatan, Kamis (9/10/2025).

Kemudian, 48,9 persen anak mengeluhkan keluhan seperti matanya cepat lelah, pegal, dan terkadang pandangannya kabur, yang mana ini berpengaruh pada fokus saat belajar.

Sebanyak  21,5 persen anak merasa bahwa masalah kesehatan mata memengaruhi cara mereka berinteraksi karena penglihatan yang kurang.

Selanjutnya, 30,3 persen anak memiliki tingkat frustrasi atau kekhawatiran terkait penglihatan atau merasa berbeda dari teman-temannya.

Anak perempuan lebih rentan gangguan mata

Temuan lainnya adalah pelajar perempuan berisiko dua kali lebih besar mengalami gangguan fungsi mata, 1,7 kali lebih besar mengalami keterbatasan pada penglihatan, dan lebih rendah dalam hal fungsi sosial.

“Karena biasanya anak perempuan jarang mau main ke luar, mainnya di dalam ruangan saja. Kalau di luar ruangan, itu kan faktor protektif untuk tidak terjadinya mata minus,” terang  Project Leader sekaligus peneliti utama Cermata, dr. Kianti Raisa Darusman, SpM(K), dalam konferensi pers peluncuran Cermata di Jakarta Selatan, Kamis (9/10/2025).

Selanjutnya, 63 persen menggunakan gawai dengan intensitas tinggi, 55 persen beraktivitas luar ruangan di sekolah dengan intensitas rendah, 34 persen mengalami mata cepat lelah, 28 persen mengalami keluhan mata berair, dan 23 persen mengalami keluhan mata silau.

Terkait aktivitas luar ruangan, Menteri Kesehatan Republik Indonesia periode 2014-2019 Prof. Nila F Moeloek, penasihat utama pengembangan Cermata, mengatakan bahwa otot mata saat berada di luar ruangan, cenderung lebih sering melihat obyek yang jaraknya jauh.

“Jadi, otot mata tidak melihat obyek secara dekat lagi (seperti di dalam ruangan). Kami menganjurkan untuk di sekolah, pada waktu istirahat, harus keluar ruangan supaya anak bisa melihat jauh, ‘mengistirahatkan’ mata, melatih otot mata (melihat jarak jauh),” ujar Prof. Nila yang turut hadir dalam acara tersebut.

Kurang percaya diri karena gangguan penglihatan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia periode 2014-2019 sekaligus penasihat utama pengembangan Cermata, Prof. Nila F Moeloek, dalam konferensi pers peluncuran Cermata di Jakarta Selatan, Kamis (9/10/2025).Kompas.com / Nabilla Ramadhian Menteri Kesehatan Republik Indonesia periode 2014-2019 sekaligus penasihat utama pengembangan Cermata, Prof. Nila F Moeloek, dalam konferensi pers peluncuran Cermata di Jakarta Selatan, Kamis (9/10/2025).

Hasil penelitian juga mengungkap gangguan penglihatan berpengaruh pada kondisi emosional anak seperti gangguan perilaku hiperaktivitas.

Kemudian, dalam wawancara bersama 40 anak yang sudah memakai kacamata, ditemukan bahwa 50 persen anak mengaku pernah diejek, bahkan ditertawakan, karena menggunakan kacamata.

“Kemudian juga 57 persen anak mengalami gejala ansietas berat dan 67 persen anak mengalami gejala depresi. Ini menunjukkan bahwa stigma terhadap penggunaan kacamata masih nyata di lingkungan sekolah,” ungkap dr. Kianti.

Terkait gejala emosional tersebut, anak-anak tersebut mengalami berbagai macam emosi, termasuk perasaan sedih dan cemas, karena memiliki penglihatan yang terganggu yang dapat memengaruhi cara mereka belajar dan bersosialisasi.

“Indikasi bermasalah dalam perilaku ini kadang-kadang mereka dibilangnya mungkin nakal, tidak mau menurut dengan apa yang guru bilang, tapi sebetulnya mereka memang karena ada masalah penglihatan,” jelas dr. Kianti.

Prof. Nila menambahkan, anak menjadi agak ribut di kelas karena penglihatan yang terbatas saat proses pembelajaran.

“Gurunya kadang-kadang enggak sadar bahwa sebenarnya karena anak enggak bisa lihat, atau disangka menyontek karena anak ngelihat ke kiri dan kanan,” ucap Prof. Nila.

Temuan dilakukan berdasarkan studi pendahuluan saat proses pengembangan Cermata, dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC), Laulima Eye Health Initiative, dan Indonesian Health Development Center (IHDC) pada awal tahun 2025.

“Studi pendahuluan melibatkan 1.254 pelajar SD dan SLB (di Jakarta) menggunakan PedEyeQ, yang merupakan instrumen penelitian yang sudah divalidasi, untuk menilai dampak kondisi mata terhadap kualitas hidup anak usia 5-11 tahun,” jelas dr.Kianti.

Tag:  #persen #anak #sulit #beraktivitas #karena #gangguan #penglihatan

KOMENTAR