![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/view.png)
![Malnutrisi Ganda: Saat Stunting dan Obesitas Berjalan Beriringan](https://jakarta365.net/uploads/2025/02/14/kompas/malnutrisi-ganda-saat-stunting-dan-obesitas-berjalan-beriringan-1266810.jpg)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/clock-d.png)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/calendar-d.png)
Malnutrisi Ganda: Saat Stunting dan Obesitas Berjalan Beriringan
INDONESIA masih berjuang melawan stunting, kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis di masa kanak-kanak.
Di sisi lain, angka obesitas terus meningkat, mengancam kesehatan masyarakat di usia produktif.
Dua kondisi ini mungkin terdengar berlawanan, tetapi keduanya adalah bagian dari masalah yang sama: malnutrisi ganda.
Stunting dan obesitas sering dianggap sebagai masalah yang berdiri sendiri. Stunting identik dengan ketidakcukupan gizi dan kemiskinan.
Sedangkan obesitas diasosiasikan dengan konsumsi berlebihan dan gaya hidup tidak sehat. Namun, kenyataannya lebih kompleks.
Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan bahwa 21,6 persen anak di Indonesia masih mengalami stunting. Sementara angka obesitas pada orang dewasa meningkat menjadi 35,4 persen.
Ini bukan sekadar anomali, melainkan gejala dari sistem pangan dan pola konsumsi yang bermasalah.
Faktor utama di balik malnutrisi ganda ini melibatkan pola makan berbasis makanan ultra proses, kesenjangan ekonomi, serta minimnya edukasi gizi.
Keluarga yang mengalami keterbatasan ekonomi sering kali memilih makanan murah dengan kandungan kalori tinggi, tetapi miskin zat gizi, seperti mie instan, gorengan, dan minuman manis.
Hasilnya, anak-anak kekurangan nutrisi esensial di usia emas. Sementara orang dewasa mengalami kelebihan kalori yang tidak seimbang dengan aktivitas fisik.
Salah satu paradoks terbesar dalam krisis ini adalah harga makanan sehat yang tidak terjangkau dibandingkan makanan cepat saji dan olahan.
Harga protein berkualitas seperti ikan, daging, atau susu lebih mahal dibandingkan dengan camilan manis atau minuman tinggi gula.
Paket makanan cepat saji Rp 25.000 memberikan 600-800 kalori, tetapi hampir tanpa serat atau vitamin. Sementara seporsi ikan, sayur, dan nasi merah yang lebih seimbang bisa dua kali lipat lebih mahal.
Ketika akses terhadap makanan sehat terbatas, banyak keluarga akhirnya memilih makanan yang "mengenyangkan", bukan bernutrisi.
Ini menjelaskan mengapa Indonesia memiliki anak-anak yang bertubuh pendek akibat kurang gizi, tetapi juga orangtua yang mengalami obesitas dengan risiko diabetes dan penyakit jantung.
Konsekuensi dari malnutrisi ganda lebih dari sekadar angka di timbangan. Stunting berdampak pada perkembangan kognitif yang lebih rendah, berujung pada produktivitas kerja yang lebih rendah di masa depan.
Sementara obesitas meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, dan stroke, membebani sistem kesehatan dan ekonomi negara.
Dua masalah ini menciptakan lingkaran setan: anak yang tumbuh dengan gizi buruk memiliki risiko lebih besar mengalami obesitas saat dewasa, terutama jika terbiasa dengan pola makan tinggi gula dan lemak sejak dini.
Menghentikan siklus malnutrisi ganda
Mengatasi malnutrisi ganda bukan sekadar meningkatkan akses terhadap makanan sehat, tetapi juga mengubah kebiasaan konsumsi masyarakat.
Beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan:
Pertama, subsidi makanan bergizi. Jika makanan olahan murah karena produksi massal, makanan sehat juga harus didukung dengan kebijakan harga yang kompetitif.
Subsidi untuk protein hewani, sayur, dan buah lebih strategis dibanding sekadar menekan harga beras.
Kedua, regulasi industri pangan. Batasi kandungan gula, garam, dan lemak trans pada produk makanan olahan, serta berlakukan label gizi yang lebih transparan.
Jika rokok memiliki peringatan kesehatan, makanan tinggi gula dan lemak seharusnya diperlakukan sama.
Ketiga, edukasi gizi yang masif. Pendidikan gizi harus dimulai sejak dini, termasuk dalam kurikulum sekolah. Kesadaran terhadap pola makan sehat harus ditanamkan sejak kecil agar tidak terbawa hingga dewasa.
Keempat, revitalisasi program pangan lokal. Ketahanan pangan berbasis produksi lokal bisa menjadi solusi, memastikan akses terhadap makanan bergizi tanpa bergantung pada produk olahan impor.
Jika kita tidak segera mengambil langkah nyata, Indonesia bisa menghadapi generasi yang tidak kompetitif akibat kombinasi defisit kognitif dari stunting dan tingginya beban penyakit akibat obesitas.
Ini bukan sekadar isu kesehatan, tetapi juga tantangan ekonomi dan ketahanan nasional.
Perbaikan pola makan dan kebijakan pangan yang lebih berpihak pada kesehatan masyarakat adalah kunci untuk keluar dari jebakan malnutrisi ganda.
Kita tidak bisa membiarkan satu generasi tersandera oleh makanan murah yang mahal akibat dampak jangka panjangnya.
Negara dengan generasi sehat dan produktif adalah negara yang siap menghadapi persaingan global. Saatnya memperlakukan kesehatan sebagai investasi, bukan sekadar biaya.
Tag: #malnutrisi #ganda #saat #stunting #obesitas #berjalan #beriringan